Kota, yang Dicinta yang Patut Diperjuangkan (2)
Bicara soal kota terasa tiada habisnya. Selalu menarik dan juga sering menjadi membosankan. Namun, memahami kota memang tidak mudah. Dari artikel sebelumnya, ”Aku dan Kotaku: yang Dicinta yang Patut Diperjuangkan (1)”, pesan kuat yang ingin disampaikan adalah kota dan manusia penghuninya adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan. Manusialah penentu muncul dan berkembang serta matinya kota.
Coba yuk menelisik lagi apa itu kota. Lewis Mumford dalam artikelnya, ”What is a City”, menegaskan bahwa manusia sebagai elemen utama pembentuk kota. Yang paling mendasar, ia menyatakan, kota tidak bisa didefinisikan hanya berdasarkan wujud fisik bangunan-bangunan di dalamnya.
Secara fisik, kata Mumford, eksistensi kota berarti suatu situs tetap, tempat berlindung kelompok-kelompok manusia dalam jumlah besar yang bertahan lama, dengan beberapa fasilitas permanen untuk berkumpul, bertukar, dan penyimpanan. Secara sosial, eksistensi kota berarti ada pembagian kelas sosial seperti pekerja yang tidak hanya berjasa dalam memutar roda ekonomi tetapi turut berperan dalam proses berbudaya atau pembentukan budaya-budaya baru.
Kota dilihat secara utuh, tulis Mumford, adalah sebuah organisasi ekonomi, sebuah proses institusional, teater aksi sosial, dan simbol estetis kesatuan kolektif yang diotaki dan dikerjakan oleh manusia-manusia pembentuknya. Segala kegiatan manusia di dalamnya terfokus pada hal-hal tertentu, dengan individu-individu yang saling bertikai ataupun bekerja sama dalam grup-grup yang menyelenggarakan berbagai peristiwa, hingga mencapai kulminasi yang signifikan.
Disharmoni dan konflik, menurut penulis buku The City ini, selalu mewarnai drama sebuah kota. Orang-orang penghuni kota berbeda-beda sifat, sikap, dan latar belakang ekonomi, suku, agama, serta ras. Di desa, penghuninya cenderung berlatar belakang sama.
Ia juga mengajak orang lebih jeli melihat kota dari beberapa aspek. Kota dilihat dari aspek sosial, misalnya, yaitu kerangka kerja khusus yang ditujukan untuk memenuhi berbagai kebutuhan kehidupan biasa atau normal dan kebutuhan kolektif yang signifikan. Bagi Mumford, dalam konsep kota, aspek sosial adalah yang utama. Aspek organisasi fisik kota, yaitu industri, pasar, sistem komunikasi, termasuk lalu lintas, harus menyokong aspek sosialnya.
Mumford menegaskan, pembangunan fisik kota yang terencana dan perlu pembatasan-pembatasan tertentu harus dilakukan untuk tetap mengefektifkan fungsi sosial sebuah kota. Aspek fisik kota jelas ada dan aspek ini menjadi penyokong aspek sosial yang menjadi ciri sebuah kota.
Aspek fisik sebagai penyokong aspek sosial ini diperkuat dan dijelaskan lebih lanjut dan detail oleh Jane Jacobs. Jacobs dalam artikelnya, ”The Uses of Sidewalks: Safety”, mengambil contoh pembangunan fisik yang tidak berdasarkan kebutuhan riil warga kota akan berbuah sia-sia. Di New York, Amerika Serikat, Jacobs di tahun 1960-an-1970-an melihat ada beberapa pembangunan fisik yang menurutnya keliru.
Jacobs, perempuan kelahiran tahun 1916 di Pennsylvania, AS, awalnya berprofesi sebagai jurnalis. Namun, ia prihatin terhadap pengelolaan kota yang dirasakannya tidak melindungi perempuan dan anak-anak. Dengan kekuatan tulisannya dan pengetahuan luas langsung dari lapangan, mengubahnya menjadi aktivis urban akar rumput.
Ia memelopori gerakan warga menggugat para perencana kota yang menurutnya hanya sekadar mempercantik kota secara fisik. Trotoar serta taman-taman, misalnya, hanya dibangun dengan pertimbangan teknis dan estetis saja. Bukan untuk memenuhi kebutuhan dasar warga akan rasa aman dan nyaman dengan kotanya.
Trotoar salah satu fasilitas publik yang harus ada dengan fungsi utama menghubungkan orang dari satu titik ke titik lain dengan aman dan nyaman. Misalnya dari rumah dan kantor ke halte, stasiun, tempat parkir untuk kemudian bermobilitas dengan aman menggunakan transportasi publik atau kendaraan pribadi. Di satu lingkungan area yang lebih kecil, trotoar menghubungkan ke antara perumahan warga ke pasar, sekolah, juga taman. Bagaimana jika trotoar yang ada ternyata tidak menjawab fungsi dasar itu?
Trotoar hanya satu contoh dari banyak fasilitas fisik kota. Fasilitas kota lain itu, misalnya, jaringan angkutan publik, jaringan jalan, juga pendidikan dan kesehatan.
Jacobs merupakan pembaharu di masanya. Dari dia pula dikenal konsep kota sebagai satu kesatuan ekosistem dan arah pembangunan kota yang bottom-up atau berbasis komunitas. Ia juga menyadari bahwa kota itu kawasan dengan kepadatan tinggi sehingga agar efektif serta keseimbangan ekosistem terjaga. Untuk itu, pembangunan fisik kota dengan konsep mixed-use atau campuran diyakini paling tepat, efektif. Dengan konsep ini, si kaya dan si miskin juga sisi terang dan gelap kota bisa dijembatani.
Runyam jika salah urus
Memperjelas pendapat Jacobs, kota yang tidak diurus baik dengan memperhatikan keseluruhan kebutuhan tiap warganya akan berujung buruk. Sisi kelam kota karena salah urus digambarkan gamblang oleh Elijah Anderson dalam artikel ”The Code of the Street” and ”Decent and Street Families”.
Sosiolog yang juga etnografer di Universitas Yale, AS, ini memaparkan kehidupan warga kulit hitam miskin di kota-kota di AS yang sarat kekerasan. Warga kota memiliki masalah akut dan tidak tersentuh tangan pemerintah. Mereka terjerat perdagangan dan penggunaan narkoba sehingga kehidupan mereka pun bergantung kepada para bandar narkoba.
Warga di komunitas yang dipelajari Anderson beradaptasi dengan kondisi buruk dengan, antara lain, memiliki sistem keamanan sendiri. Mereka yang lemah bergantung kepada para bandar yang rata-rata bersenjata api untuk menunjukkan eksistensinya. Siapa pun yang dinilai tidak menunjukkan rasa hormatnya akan berhadapan dengan moncong senjata api atau babak belur dihajar anggota geng si bandar. Kekerasan menjadi budaya baru yang muncul dan terpelihara.
Selain kekerasan, komunitas-komunitas minoritas seperti ini melahirkan banyak budaya baru. Muncul dan berkembanglah, misalnya, musik rap dengan lirik bercerita tentang kehidupan mereka, kata-kata kasar, kemarahan, dan keputusasaan. Juga ada grafiti dan mural yang awalnya adalah wujud upaya eksistensi geng dan ekspresi seni serta pemberontakan kelompok minoritas.
Dari artikel Anderson itu, tertangkap pesan bahwa pembiaran terhadap komunitas warga bermasalah menyebabkan rasa tidak aman menular. Rasa tidak aman itu tidak hanya pada mereka yang tinggal atau berdekatan dengan kelompok tersebut, tetapi menjadi cacat bagi keseluruhan kota. Penyakit kekerasan menurun ke setiap generasi yang dilahirkan di lingkungan tersebut. Kualitas dan kuantitas kekerasan pun meningkat.
Membantu menyembuhkan komunitas yang sakit tidak mudah. Pemerintah yang hadir dengan program-program fisik saja tanpa mengetahui akar masalah warganya justru akan memperburuk situasi. Sesama warga kota pun tidak bisa langsung ikut campur karena kehadiran orang luar biasanya amat ditentang di komunitas seperti ini dan bisa memicu konflik baru.
Masih ingatkah dengan tawuran berulang di kawasan Manggarai, perbatasan antara Jakarta Pusat dan Jakarta Selatan? Area itu dihuni oleh masyarakat dengan kelas ekonomi menengah ke bawah, kawasan padat. Mereka yang terlibat tawuran kadang hanya terpisah batas administrasi, beda kelurahan yang dibatasi jalan kecil atau sungai.
Sampai saat ini, tawuran masih terus terjadi. Penyebabnya tidak pernah jelas. Kesepakatan antartokoh warga tidak pernah membuahkan hasil signifikan. Kebedaraan taman kota baru di lokasi tersebut juga tidak serta-merta mendinginkan suasana. Adanya taman dengan fasilitas olahraga ataupun tempat bersantai dan berkumpul yang dimaksudkan menjadi wadah penyaluran energi ternyata tidak mengurai masalah di sana.
Selidik punya selidik, solusi yang ditawarkan untuk mengurai tawuran itu memang baru sebatas program fisik. Penelitian mendalam dengan pendekatan sosiologis untuk mengungkap penyebab tawuran sehingga bisa memetakan masalah dengan tepat agar dapat menentukan solusi yang tepat belum pernah dilakukan. Akibatnya, tawuran di kawasan ini akan seperti bom waktu yang terus menanti kapan meledak.
Tak pernah mudah
Mencari solusi atas masalah kota memang tidak mudah. Dengan merujuk pada pendekatan Louis Wirth seperti dijabarkan dalam artikelnya, ”Urbanism as A Way of Life”, mungkin ada solusi mendasar memecahkan masalah pelik kota.
Wirth mengatakan bahwa memahami sebuah kota bisa dilakukan dengan mencermati dan memahami tiga hal, yaitu populasi, kepadatan penduduk, dan keheterogenan warganya. Kepadatan penduduk juga menjadi faktor penting yang diusung O\'Sullivan saat mendefinisikan kota.
Namun, dengan pendekatan ilmu sosial, Wirth lebih menekankan korelasi kepadatan penduduk dengan populasi dan keheterogenan warganya. Ketiga hal itu saling berkorelasi dan membentuk sifat atau karakter kota. Bisa jadi ada kemiripan karakter di tiap kota, tetapi bisa pula ada perbedaan-perbedaan signifikan.
Hal pertama, yaitu populasi atau lebih dipahami di sini sebagai penambahan jumlah penduduk, menurut Wirth, akan berpengaruh pada hubungan antarwarga dan karakter kota. Semakin besar populasi, semakin besar variasi individu di dalamnya. Kondisi ini menyebabkan keterikatan budaya dan sosial semakin renggang. Dalam situasi seperti ini, kompetisi dan mekanisme kontrol formal akan menggantikan ikatan tradisional untuk mengendalikan kota.
Hal kedua, kata Wirth, yaitu ketika penduduk bertambah dan lahan tetap maka perkembangan kota menjadi terbatas dan tingkat kepadatan bertambah. Akan tetapi, dengan kerenggangan sosial yang terjadi, warga kota secara fisik dekat tetapi secara personal amat berjarak. Minimnya ikatan emosi menyebabkan orang cenderung kompetitif, saling memanfaatkan. Peluang terjadi friksi dan iritasi besar, rasa frustasi makin membebani.
Hal ketiga, keheterogenan, dijelaskan Wirth, dari komposisi penduduk kota yang beragam, dari bermacam suku, ras, agama, tingkat ekonomi, pendidikan, dan lain-lain. Mereka cenderung membuat kelompok-kelompok atas dasar kesamaan di antara mereka. Grup-grup ini cenderung eksklusif. Banyak isu muncul, diiringi perilaku kolektif yang susah diprediksi dan sangat bermasalah.
Menurut Wirth, tiga hal di atas menjadi karakter pembeda lainnya antara desa dan kota. Di desa, kehidupan penghuninya jauh lebih sederhana, lebih homogen dari kota. Di kota, tekanan pada tiap individu makin kuat ketika fasilitas kota lebih diperuntukkan bagi kebutuhan rata-rata yang muncul bukan pada kebutuhan per orang.
Jika seseorang ingin terlibat dalam kehidupan sosial, politis, dan ekonomi di kota, jelas Wirth, dia harus menjadi bagian dari komunitas yang lebih besar dan ini berarti menjadikannya bagian dari pergerakan massa besar. Intinya adaptasi oleh tiap individu sudah pasti diperlukan dalam hidup berkota.
Peran pemerintah sebagai pengelola kota dibutuhkan dalam memahami karakter kotanya itu. Selanjutnya, dibutuhkan kecerdasan dan kekreativan pengelola kota sehingga mampu menentukan kebijakan yang mampu mengakomodasi semua karakter itu.
Menjadi warga kota yang baik
Para peneliti di atas barulah sedikit dari mereka yang tak kenal lelah mengelola rasa ingin tahu menjadi amunisi untuk terus meneliti kota. Akan selalu ada pembuktian baru, teori baru tentang kota, dan tawaran solusi-solusi anyar agar kota lestari yang berarti kehidupan manusia-manusia di dalamnya makin baik.
Semoga tidak terlalu pusing lagi memahami arti kota yang memang tidak sederhana. Lebih penting untuk menyadari diri sebagai warga kota dan menjalani kewajiban sebagai penduduk kota seperti kata filsuf Aristoteles yang hidup di Athena, Yunani.
Dalam karyanya, Politics, sekitar 4 abad sebelum Masehi yang sebagian di antaranya bisa dibaca ulang di The City Reader, Aristoteles menegaskan, penduduk kota hanyalah mereka yang patuh hukum, yang memiliki kewajiban juga hak-hak tertentu, termasuk dalam berpolitik.
Hak itu diantaranya adalah menyalurkan aspirasi. Apalagi di era kecanggihan teknologi serta keterbukaan seperti saat ini, tak perlu sungkan menyuarakan fakta lapangan, kebutuhan riil warga di lingkungan-lingkungan yang berbeda, ide cemerlang yang tepat bagi solusi-solusi atas masalah di lingkungan sekitar atau bahkan untuk keseluruhan kota. Banyak sekali kanal tersedia, belajarlah menjadi santun dan arif saat menyampaikan pendapat.
Paling tidak itu menjadi persiapan yang baik untuk menjawab tantangan ke depan yang tidak dapat dihindari. Tantangan itu adalah akan makin banyak penduduk tinggal di kota yang memacu pertumbuhan dan perkembangan kota-kota di dunia. Laporan PBB menyebutkan bahwa pada tahun 2050, diperkirakan bumi akan dihuni 9,7 miliar jiwa penduduk dan sekitar 66 persennya hidup di kawasan perkotaan.
Kondisi itu bisa terjadi karena daya tarik kota memang susah dilawan. Seperti kata Arthur O’Sullivan penulis buck Urban Economics, di kotalah semua fasilitas itu ada, semua jasa yang diperlukan tersedia. Jadi, agar semua penghuni terlayani, pengelolaan kota yang manusiawi jelas tidak dapat ditawar lagi.