UU Pemilu Harus Bersifat Jangka Panjang
Pemilu
JAKARTA, KOMPAS — Kualitas penyelenggaraan pemilihan umum sejak era reformasi dinilai tidak membaik, bahkan cenderung menurun. Perubahan UU Pemilu yang terjadi setiap menjelang pemilu dipandang menjadi salah satu penyebabnya. Idealnya, UU Pemilu dapat digunakan untuk beberapa kali penyelenggaraan pemilu.
Pakar hukum tata negara Refly Harun mengatakan, UU Pemilu yang dibuat setiap menjelang pemilu cenderung didasarkan oleh kepentingan politik jangka pendek. Hal itu dikatakannya saat menjadi pembicara dalam acara Sutan Takdir Alisjahbana Memorial Lecture 2017 dengan tajuk ”Dalam Jebakan Politik Elektoral”.
Acara yang diselenggarakan oleh Akademi Jakarta di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, ini juga dihadiri oleh Ketua Akademi Jakarta Taufiq Abdullah, Ketua Komisi Pemilihan Umum Arief Budiman, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Agus Rahardjo, dan Deputi Bidang Budaya Gubernur DKI Jakarta Usmayadi.
”Perubahan UU setiap menjelang pemilu niatnya tentu agar pemilu semakin berkualitas, jauh dari kurang, terlebih curang. Faktanya jauh panggang dari api. Kekurangan dan kecurangan terus bertambah,” ujar Refly, Rabu.
Refly menyampaikan, aturan yang tumpul juga berkontribusi terhadap rendahnya kualitas pemilu. ”Praktik politik uang terus terjadi. Namun, pelakunya, para politisi, kita tidak pernah melihat mereka diadili. Tak heran, banyak politisi yang melakukan praktik korupsi,” tutur Refly.
Refly berharap, ke depan UU Pemilu bisa dibuat dengan didasarkan kepentingan politik jangka panjang sehingga peraturan tersebut dapat meningkatkan kualitas pemilu.
”UU pemilu harus memiliki daya tahan agar tidak diganti terus setiap menjelang pemilu. Bisa saja ke depan UU Pemilu pembuatannya diserahkan kepada para profesional. DPR dan pemerintah nantinya hanya memeriksa dan menyesuaikan dari segi formalnya. Agar perumusan UU Pemilu tidak dipenuhi tarik-menarik kepentingan politik jangka pendek, politisi agar terpilih lagi di periode berikutnya,” kata Refly.
Ditemui seusai acara, Ketua KPU Arief Budiman berharap UU Pemilu yang baru bisa segera diundangkan pemerintah supaya pihaknya bisa bekerja secara optimal.
”Saya dapat informasi, UU Pemilu terbaru yang kemarin sedang diperbaiki DPR karena ada salah ketik, salah kalimat, dan kesalahan lainnya sudah diperbaiki dan sekarang sudah diserahkan ke pemerintah kembali. Saya inginnya UU ini bisa segera diundangkan,” kata Arief.
Arief juga tidak menampik bahwa UU Pemilu seharusnya bersifat jangka panjang. ”Idealnya memang UU Pemilu itu, kan, bisa dipakai dua sampai tiga kali penyelenggaraan. Namun, implementasi di lapangan, setiap penyelenggaraan berubah UU-nya,” tutur Arief.
Masa jabatan
Dalam acara tersebut, Refly juga menyoroti masa jabatan presiden dan kepala daerah yang dinilainya memengaruhi kinerja pemenuhan janji politik. ”Dalam masa jabatan lima tahun, presiden atau kepala daerah terpilih hanya dapat efektif bekerja memenuhi janji politiknya selama tiga tahun. Enam bulan pertama dihabiskan untuk penyesuaian, tiga tahun berikutnya bekerja, kemudian sisanya mereka sibuk mempersiapkan dirinya yang akan mengikuti pemilu kembali sebagai petahana. Atau kalau dia sudah tidak bisa dipilih lagi, ia sibuk mempersiapkan putra mahkotanya,” ujarnya.
Refly menyampaikan perlunya meninjau masa jabatan presiden dan kepala daerah. Dia mengatakan, terdapat tiga konsep pembatasan masa jabatan, yaitu tidak ada masa jabatan kedua (no re-election), tidak boleh ada masa jabatan yang berlanjut (no immediate re-election), dan maksimal dua kali masa jabatan (only one re-election).
”Saya lebih memilih pembatasan masa jabatan dalam kurun waktu enam tahun, tetapi hanya diperkenankan untuk satu periode masa jabatan. Kalaupun ada kesempatan kedua, tidak boleh ada masa jabatan yang berlanjut. Itu agar mereka bisa fokus kerja memenuhi janji politiknya,” kata Refly. (DD14)