JAKARTA, KOMPAS — Kekerasan terhadap perempuan dan anak sudah dalam kondisi darurat sehingga diperlukan kampanye dan sosialisasi perlindungan secara masif dari berbagai kalangan. Karena itu, gerakan bersama pemerintah ataupun organisasi-organisasi nonpemerintah yang peduli terhadap perlindungan perempuan dan anak harus terus berlanjut. Gerakan bersama ini sangat penting agar kekerasan terhadap perempuan dan anak bisa dicegah sehingga korban tidak bertambah.
Sosialisasi yang masif juga diharapkan akan mendorong masyarakat yang menjadi korban kekerasan fisik, psikis, seksual, eksploitasi, serta persekusi akan berani bersuara. Terkait dengan maraknya aksi persekusi yang menimpa sejumlah warga, perlu ada perhatian khusus baik dari pemerintah maupun masyarakat. Masyarakat tidak boleh main hakim sendiri terhadap perempuan dan anak. Segala sesuatu harus diselesaikan sesuai hukum yang berlaku.
Sejalan dengan hal itu, perlu ada penguatan dalam pendidikan, baik di lingkungan pendidikan formal maupun pendidikan nonformal. Nilai-nilai budi pekerti dan kebangsaan harus terus ditanamkan kepada masyarakat, terutama generasi muda, agar mereka bisa menerima perbedaan.
Demikian rangkuman dalam Bincang-bincang dan Deklarasi Stop Kekerasan, Eksploitasi, dan Persekusi terhadap Perempuan dan Anak, Rabu (21/6) petang, di Jakarta.
Dialog yang dipandu Jeffry Waworuntu itu menghadirkan pembicara Vennetia R Danes (Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak), Arist Merdeka Sirait (Ketua Umum Komnas Perlindungan Anak), Ratih Ibrahim (psikolog), Dhea G Rizkita (Puteri Indonesia Perdamaian 2017), dan Ajun Komisaris Endang Sri Lestari (Kepala Unit Pelayanan Perempuan dan Anak Subdit Renakta Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya).
Acara yang digelar Yayasan Torang Samua Basudara (YTSB), Komunitas Rarampa, serta organisasi perempuan dan anak Sulawesi Utara ini diakhiri dengan pembacaan deklarasi dari perwakilan tokoh. Mereka menyatakan menolak segala bentuk kekerasan terhadap anak dan perempuan.
Vennetia R Danes memberikan apresiasi kepada organisasi perempuan dan anak di luar pemerintah yang bersama pemerintah gencar menyosialisasi penolakan kekerasan terhadap perempuan dan anak. ”Pemerintah tidak bisa jalan sendiri, masyarakat harus ikut bersama-sama memerangi segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak,” katanya.
Tanamkan nilai kebangsaan
Ratih dan Arist mengungkapkan, pendidikan berperan penting dalam kehidupan sehari-hari. Karena itu, pendidikan formal, yakni sekolah-sekolah, hendaknya menanamkan nilai-nilai budi pekerja kepada anak-anak didik, termasuk nilai-nilai kebangsaan. Keluarga juga berperan penting menanamkan nilai-nilai moral dalam kehidupan sehari-hari.
Menurut Ratih, perbedaan di tengah masyarakat jangan ditutup. Biarkan setiap anggota masyarakat saling terbuka dan mengetahui satu sama lain mengenai perbedaan itu sehingga terbiasa menghadapi keberagaman.
Arist menegaskan perlunya penyempurnaan pendidikan keagamaan dalam keluarga untuk menanamkan nilai-nilai kebersamaan yang melahirkan toleransi di tengah masyarakat. ”Deklarasi menolak kekerasan terhadap perempuan dan anak sangat penting supaya makin banyak orang tahu,” ujarnya.
Arist menyatakan sangat prihatin karena banyak anak di sekolah negeri ataupun sekolah internasional tidak lagi menyanyikan ”Indonesia Raya” dan ”Garuda Pancasila”. ”Kalau guru-guru di sekolah negeri sudah tidak mengajarkan Pancasila, siapa lagi yang mengajarkan Pancasila kepada anak-anak,” katanya.
Bincang-bincang dan deklarasi diramaikan dengan persembahan lagu-lagu nasional dari artis Ruth Sahanaya. Hadir juga Kezia Warouw, Puteri Indonesia 2016, dan Lois Tangel, Puteri Pariwisata 2017, yang siap menyosialisasikan kepada masyarakat pentingnya perlindungan perempuan dan anak.
Ketua Umum YSTB Coreta Kapoyos, ketika membuka acara tersebut, menyatakan, kegiatan tersebut mengajak seluruh elemen masyarakat tidak takut menyuarakan antikekerasan terhadap perempuan dan anak.
”Kami meminta masyarakat, perempuan, dan anak agar tidak boleh diam, jangan takut bersuara jika ada kekerasan terjadi di lingkungan sekitar kita,” tutur Coreta, yang juga istri dari Kabarhakam Polri Komisaris Jenderal Putut Eko Bayu Seno.