Ini adalah sudut Dubai yang penghuninya amat beragam. Kultur dan tradisinya juga beragam, tetapi kami hidup bersama.
Oleh
BUDI SUWARNA
·4 menit baca
Lebih dari satu dekade, Arva Saleem Ahmed menunjukkan sisi lain Dubai yang jarang terlihat. Kota ini bukan melulu berisi gedung pencakar langit nan mewah tapi tampak angkuh. Di sela-selanya, ada kehidupan yang berwarna, hangat, dan sarat cerita manusia.
Di muka Gold Souk, pasar emas tradisional raksasa yang ada di jantung kota lama Dubai, Arva Saleem Ahmed (40) mulai membuka mata kami, wartawan Indonesia yang diundang Dubai Economy and Tourism, tentang sisi lain di kota Dubai. Sore itu, Rabu (20/3/2024), dalam suasana Ramadhan, ia mengajak kami membelah keramaian Gold Souk, kemudian masuk ke lorong-lorong Deira Souk dan Spice Souk (pasar rempah) yang lokasinya berdampingan dengan Gold Souk.
Segera saja, bayangan tentang kota Dubai yang serba modern, tertata, dan mewah sedikit berubah. Sebagaimana pasar tradisional pada umumnya, ketiga pasar itu ramai, meriah, dan di beberapa sudut bisa dikatakan berantakan. Arva tidak menutupi hal itu, ia justru memperlihatkan kepada tetamunya. Pasalnya, kota Dubai bukan hanya tentang Burj Khalifa dan gedung-gedung pencakar langit mewah lainnya. Ada sudut lain yang tidak mewah, tetapi tidak kalah menarik.
Sambil berjalan, ia antusias mengisahkan hal-hal menarik tentang ketiga pasar itu berikut cerita tentang para penghuninya: para pendatang dari berbagai bangsa, seperti India, Pakistan, Bangladesh, Sri Lanka, Afghanistan, Iran, dan Afrika. ”Ini adalah sudut Dubai yang penghuninya amat beragam. Kultur dan tradisinya juga beragam. Kami berbicara dengan bahasa yang berbeda, tetapi kami hidup bersama,” ujarnya.
Menjelang waktu maghrib dan berbuka puasa, Arva menunjukkan buktinya. Saat itu, hampir semua lorong pasar penuh manusia dari berbagai bangsa yang duduk bersila di atas tikar dan terpal untuk berbuka puasa bersama. Setiap hari, selama Ramadhan, jelas Arva, ada sekitar 5.000 orang yang mengikuti acara ini.
Ia menceritakan, acara buka puasa digelar selama Ramadhan sejak 1976 hingga tahun ini. Penyelenggaranya adalah Iman, asosiasi komunitas Muslim dari Tamil. ”Pesertanya siapa saja, belum tentu juga semuanya penganut Islam. Mungkin ada yang Hindu dan lainnya. Tetapi, tak akan ada yang bertanya apa agama dan asal-usul Anda. Pokoknya siapa saja yang datang akan dilayani dan mendapat makanan yang sama,” tutur Arva.
Setelah itu, Arva mengajak tetamu mencoba kuliner dari berbagai bangsa dan menyelami kultur di baliknya. Ia bercerita tentang chai, teh susu yang populer di India selatan; roti-roti lezat buatan orang Afghanistan; aneka rempah yang dijual orang-orang Iran; dan sirop Vimto yang berasal dari Inggris lantas mampir ke India dan akhirnya tersebar ke Jazirah Arab. ”Semua menu ini punya kisahnya sendiri,” ujar Arva, pemilik sekaligus pengelola program tur Frying Pan Adventures.
Lewat program tur yang telah ia jalankan selama 12 tahun itu, Arva ingin membawa orang-orang keluar dari pusat kota yang mencolok ke tempat-tempat yang menunjukkan budaya kuliner yang beragam. ”Saya ingin memperlihatkan berbagai sisi lain dari Dubai di mana berbagai jenis dan tradisi makanan berbaur menjadi satu, tanpa membuatnya menjadi terlalu mewah atau rumit,” ujarnya.
Dari situ, Arva percaya, para peserta Frying Pan Adventures akan mendapat pengalaman unik. Setidaknya mereka tidak hanya berkutat di hotel dan mendapat pengalaman wisata yang biasa-biasa saja, sambil melewatkan sisi asli Dubai yang otentik.
Nilai di balik bisnis
Arva lahir di Hyderabad, India, pada 1983. Pada usia tiga bulan, ia dibawa orangtuanya ke Sharjah. Setelah enam tahun tinggal di sana, mereka lalu pindah ke Dubai pada 1989. Sejak kecil, Arya merasakan limpahan kasih sayang dan perhatian dari orangtuanya. Namun, orangtuanya tidak juga memanjakan anak-anak mereka. Sebaliknya, mereka mengajarkan kesederhanaan, kerja keras, dedikasi, kejujuran, ketulusan, dan sikap tidak mementingkan diri sendiri.
Arva terjun ke dunia bisnis karena terinspirasi ayahnya yang berbisnis suku cadang mesin. Namun, alih-alih meneruskan bisnis ayahnya, Arva memilih bisnis yang ia suka terkait kuliner dan budaya yang berada di baliknya. Ia tinggalkan karier sebagai konsultan di New York, Amerika Serikat, demi mendirikan Frying Pan Adventures pada 2012 bersama kakaknya.
Meski bidang bisnisnya berbeda dengan bisnis sang ayah, Arva merancang bisnis ini sebagai cerminan dari nilai-nilai yang diajarkan kedua orangtuanya, antara lain kesederhanaan, ketulusan, sikap rendah hati yang diramu dengan etos kerja keras, integritas, dan dedikasi.
Untuk itu, lanjut Arva, sejak awal membangun bisnis, ia merangkul komunitas-komunitas lokal yang beragam di Dubai. Bersama mereka di sisi Arva, ia menawarkan pengalaman yang hangat dan perhatian di mana para tamu merasa dihargai dan diperhatikan, sama seperti suasana yang diciptakan orangtua Arva dulu. ”Bagi kami, ini bukan sekadar perkara uang, tetapi kami mengerjakan sesuatu yang kami pedulikan,” katanya.
Dengan pendekatan itu, Frying Pan Adventures disambut pasar. Turis dari banyak negara menggunakan jasa Arva untuk mengalami sisi lain Dubai yang jarang terlihat. Namun, bisnis sering kali mengalami masa surut. Musim surut yang parah terjadi ketika pandemi Covid-19 melanda dunia. Arva terpaksa menghentikan program itu sementara waktu.
Namun, bukan berarti Arva sama sekali tidak bergerak. Bersama komunitas lokal, ia mengerjakan proyek sosial, antara lain mengumpulkan dana dari komunitas pelanggan dan pengikut Arva. Uangnya dipakai untuk menyediakan makanan bagi orang-orang yang kehilangan pekerjaan atau cuti tanpa bayaran akibat pandemi. Makanan juga dibeli dari rumah-rumah makan yang terdampak pandemi.
Kini, Frying Pan Adventures bergeliat lagi. Arva mengatakan, fokusnya sekarang adalah bagaimana ia bisa memperdalam hubungan dengan komunitas-komunitas lokal. Selain itu, menjangkau dan melayani orang-orang dari daerah yang belum banyak mereka jelajahi. Semua dilakukan agar orang melihat Dubai yang sejati.