Ketika senja tiba, meriam itu akhirnya meletus. Suaranya menggelegar. Orang-orang pun bergegas buka puasa.
Oleh
BUDI SUWARNA
·5 menit baca
Sore terasa teduh di Dubai, Uni Emirat Arab, Kamis (21/3/2024). Suhu udara berkisar 29 derajat celsius dengan angin yang bertiup sepoi-sepoi. Cuaca yang cocok untuk ngabuburit sambil menunggu waktu berbuka puasa tiba di tengah kota kosmopolitan yang terletak di sepanjang pantai sebelah tenggara Jazirah Arab ini.
Saya dan beberapa wartawan Indonesia yang diundang oleh Dubai Economy and Tourism diajak ngabuburit di Mal Dubai, mal terbesar di dunia yang berada di sebelah Burj Khalifa, gedung pencakar langit tertinggi di dunia. Dua bangunan mewah yang mencerminkan obsesi Dubai sebagai kota yang memiliki ikon-ikon serba ”ter”; terbesar, tertinggi, termewah, terluas, dan sebagainya.
Mal Dubai berdiri di atas area tanah seluas sekitar 1,1 juta meter persegi, setara dengan 200an kali luas lapangan sepak bola. Total area lantai gedungnya 548.000 meter persegi dan ruang yang disewakan sekitar 350.000 meter persegi. Luas gedungnya hampir tiga kali lipat dari Mal Pakuwon Surabaya yang disebut-sebut sebagai mal terluas di Indonesia.
Tidak mengherankan, begitu memasuki mal raksasa ini, saya seperti diajak menjelajah rimba raya. Jika rimba raya gelap, Mal Dubai terang benderang, gemerlap, dan mewah. Tetapi, saking luasnya, mal ini mudah saja membuat pengunjung yang baru pertama kali datang seperti saya tersesat. Bagaimana tidak, ada 1.200an gerai di mal ini yang tampangnya nyaris serupa. Area untuk berjalan pengunjung panjang-panjang dan bercabang-cabang di setiap lantainya. Ada banyak pintu masuk dan keluar.
Saya sempat bertanya kepada Sania, perempuan cantik asal Pakistan yang menjadi pemandu kami sore itu, apakah dia pernah tersesat di mal ini?
”Tentu saja pernah. Tapi dulu. Sekarang tidak lagi,” jawabanya.
Lantas saya bertanya lagi, untuk apa Dubai membangun mal sebesar ini? Mengapa pula banyak sekali mal dibangun di kota kota Dubai yang tidak seberapa luas?
Ia menjawab, orang-orang Dubai umumnya memang senang jalan-jalan ke mal, apalagi saat musim panas yang terik. Bulan Maret seperti sekarang, lanjut Sania, suhu udara memang enak, berkisar 22-30an derajat celsius. Tapi, saat musim panas sekitar Juni hingga Agustus nanti, suhu lebih dari 40 derajat.
”Panasnya seperti neraka, ha-ha-ha. Kalau beraktivitas di luar rumah, kita bisa kena heatstroke. Saya pernah mengalaminya dua kali. Nah, saat musim panas terik, salah satu tempat yang nyaman dan terbuka bagi setiap orang adalah mal. Kami bisa ngadem di sini sepanjang hari di mal,” tutur Sania.
Saat Ramadhan seperti sekarang, lanjut Sania, orang Dubai juga senang ke restoran yang ada di mal dan hotel untuk berbuka puasa bersama keluarga. Makanya, satu-dua jam sebelum dan setelah waktu berbuka, jalan-jalan di sekitar mal akan macet oleh kendaraan pengunjung mal.
Setelah menyusuri beberapa blok Mal Dubai, kami diajak mampir di Arte Museum, sebuah galeri seni kontemporer berbasis teknologi citra tiga dimensi yang canggih. Tiket masuk Arte Museum yang dibangun perusahaan desain Korea Selatan itu adalah 149 dirham untuk pengunjung dewasa atau sekitar Rp 650.000.
Dari pintu masuk, saya berjalan melalui sebuah lorong gelap dengan dinding serba hitam. Hanya ada beberapa titik lampu yang membimbing langkah kita. Lorong itu berujung pada sebuah ruang galeri yang indah. Ada citra pepohonan hijau kecoklatan dengan bunga dan buah berwarna merah nan lebat.
Di lantai ruangan, citra berwarna merah bertebaran seperti kelopak-kelopak bunga yang berguguran dan jatuh ke tanah. Atap ruangan yang gelap dan dihiasai lampu yang berkelap-kelip, seperti langit malam bertabur bintang. Telinga saya mendengar suara alam. Kicau burung, angin yang bergerak perlahan, dan sebagainya. Hidung mencium bau tanah dan buah-buahan. Sensasi-sensasi itu hadir pada kelima pancaindra dan membawa kita larut pada di hutan fantasi. Artifisial tapi terasa nyata.
Ini adalah satu dari 14 zona di Arte Museum. Setiap zona memberikan sensasi indrawi yang berbeda-beda. Coba saja satu waktu jika mampir ke Dubai.
Di kaki Burj Khalifa
Mendekati waktu Maghrib, saya dan rombongan bergerak ke pelataran Dubai Mal. Kami sudah memesan tempat di WAFI Gourmet, restoran Lebanon yang juga menyediakan menu-menu Asia, termasuk nasi goreng. Kami mendapat tempat duduk di beranda luar WAFI Gourmet di pangkal pelataran Mal Dubai yang langsung menghadap Burj Khalifah di bagian kanan, Souk Al Bahar—pasar tradisional dengan bangunan bergaya Timur Tengah—di bagian kiri, dan telaga buatan berwarna kehijauan di bagian tengah.
Sore itu, sekitar satu jam sebelum waktu berbuka, pelataran Mal Dubai telah dipenuhi ribuan orang—sebagian besar turis dari berbagai negara. Hampir semuanya sibuk berswafoto dengan latar belakang Burj Khalifa yang menjulang atau bangunan Souk Al Bahar yang eksotik. Mungkin saat itu juga mereka memamerkan foto-foto itu di media sosial masing-masing.
Semakin mendekati waktu Maghrib, semakin banyak orang yang berkumpul. Sebagian dari mereka menunggu satu momen penting: letusan meriam yang menandai waktu berbuka puasa telah tiba. Inilah salah satu pengalaman baru yang saya temui selama menjalani puasa di Dubai. Di Indonesia, waktu berbuka puasa biasanya ditandai dengan suara beduk atau sirine, lalu diikuti azan Maghrib.
Ketika senja tiba, meriam itu akhirnya meletus. Satu kali saja, tetapi suaranya cukup menggelegar. Orang-orang yang berpuasa saat itu tersenyum lega dan segera membatalkan puasa. Saya berbuka dengan beberapa butir kurma dan teh hangat. Setelah itu, saya menyantap semangkuk pho vietnam bukan menu Timur Tengah. Hanya beberapa hari di Dubai, lidah saya ternyata sudah meronta-ronta untuk mencicipi menu Asia Tenggara.
Beberapa menit setelah waktu berbuka tiba, atraksi air mancur menari dimainkan di telaga buatan di hadapan saya. Gerakannya indah seiring musik klasik yang mengiringinya. Kadang menyembur, kadang meliuk, kadang tenggelam.
Burj Khalifa tidak mau kalah. Sekujur gedung jangkung setinggi 828 meter itu gemerlap oleh permainan cahaya yang entah ditembakkan dari mana. Ribuan orang berseru kagum sambil mengacungkan gawai mereka untuk mengabadikan kemegahan Burj Khalifa.
Esok harinya, saya dan rombongan kembali ngabuburit lagi di kawasan ini. Sore itu, kami mendapat kesempatan berbuka puasa di Restoran Armani, tepat di bawah kaki Burj Khalifa. Saya mendongakkan kepala untuk melihat lebih detail lantai demi lantai Burj Khalifa. Tetapi, sia-sia saja. Dari bawah kaki Burj Khalifa, bahkan saya tidak bisa melihat puncaknya. Gedung setinggi ini memang terlihat sempurna bentuknya jika dilihat dari jarak agak jauh.
Langit sudah memerah. Pengunjung Restoran Armani sudah hilir mudik ke meja-meja prasmanan yang menyajikan makanan dan minimuman Mediteranian, Timur Tengah, Eropa, dan Asia. Semua menggugah selera.
Dua hari ngabuburit di bawah Burj Khalifa terasa sempurna.