Juma’ali dan Pesan Melalui Wayang Wolak-walik
Di tengah hiruk-pikuk kondisi yang ada, Juma’ali tetap memainkan wayang wolak-walik buatannya.
Juma’ali (57) dan wayang wolak-walik seakan menjadi dua hal yang sulit dipisahkan. Melalui wayang yang tak mengenal pakem, baik alur cerita maupun penokohan, lelaki yang akrab disapa Lek Jum atau Juma’ali Dharmakanda itu menyapa banyak orang, utamanya anak-anak, guna menyebarkan pesan kebajikan.
”…Indonesia, Nusantara adalah milik bersama. Bukan hanya milik partai politik, bukan hanya milik penguasa, bukan hanya milik pengusaha. Tetapi adalah milik bersama. Poro (para) tani, poro ulama, poro guru, kiai, tentara, polisi, dan semua profesi….”
Begitu bunyi petikan kata yang disampaikan secara monolog oleh Juma’ali. Diiringi suara seruling dan tetabuhan terbang dan ketuk kenong oleh dua rekannya, pria paruh baya itu mengisi acara Wayang Wolak-walik Nyadran Nusantara di Goa Sorowiti, Panceng, Gresik, Jawa Timur, 7 Maret 2024.
Sorowiti diyakini sebagai lokasi lelaku ketika Sunan Kalijaga menyebarkan Islam di kawasan itu. Selain di Gresik, pada bulan yang sama, Juma’ali juga ”safari” ke sejumlah sumber air dan punden di Jatim, seperti di Bukit Walikukun (Tulungagung), Garum (Blitar), Derajat (Lamongan), dan tentu saja di tanah kelahirannya, Malang.
Baca juga: Jalan Oscar Motuloh Memperpanjang Ingatan
Di tempat itu dia mementaskan cerita sekaligus selamatan nyadran dan doa. Tak jarang, melalui obrolan santai dengan warga sekitar ketika berada di lokasi, Juma’ali coba membantu meluruskan masalah yang terjadi. Di Blitar, misalnya, dia coba menjadi penengah ketika ada orang yang ingin menguasai sumber air setempat.
”Di sana ada kelompok masyarakat yang ingin membuka tempat yang dikeramatkan, saya bongkar. Hanya persoalannya ada orang ingin menguasai air di sana. Saya sampaikan air ini bagus jika dimanfaatkan oleh banyak orang. Jika air mengalir, rezeki juga akan mengalir. Sumber air harus dijaga,” kata Juma’ali saat ditemui di rumahnya, di Desa Ngadilangkung, Kecamatan Kepanjen, Kabupaten Malang, Senin (25/3/2024).
Selama ini Juma’ali dikenal kerap pentas di depan anak-anak. Bagaimana mereka diajak berinteraksi dengan main bersama. Temanya pun bebas, masalah-masalah ringan dan erat kaitannya dengan keseharian, mulai dari lingkungan, kebersamaan, tolong-menolong, hingga toleransi.
Bersama wayang kreasinya yang terbuat dari plastik bekas, Juma’ali pernah beberapa kali menghibur anak-anak korban bencana erupsi Gunung Semeru di Lumajang dalam rangka trauma healing. Juga terhadap anak korban gempa di Mataram, Nusa Tenggara Barat.
Para penyintas itu diajak pentas bersama. Mereka juga dilibatkan sebagai dalang. Dengan ikut bermain, anak-anak itu akan merasakan langsung emosi dari cerita yang dibawakan sehingga pada akhirnya menjadi terhibur.
”Anak-anak itu jujur, apa adanya. Dengan bermain bersama mereka, ada nilai-nilai moral yang bisa saya sampaikan. Sekarang ruang bermain anak kian menyempit akibat adanya perkembangan teknologi. Di mana-mana anak selalu berkutat dengan gadget. Ini tentu kurang baik,” ujarnya.
Saya sampaikan air ini bagus jika dimanfaatkan oleh banyak orang. Jika air mengalir, rezeki juga akan mengalir. Sumber air harus dijaga.
Dengan memberikan ruang lebih kepada mereka, Juma’ali berharap anak-anak bisa tumbuh sebagaimana mestinya, memiliki ruang kreasi, dialog, komunikatif sehingga kehidupan sosial mereka terjaga. Adapun ketika bermain dengan anak saat trauma healing, harapannya mereka bisa melupakan tekanan yang dihadapi.
Wayang wolak-walik bisa dimaknai dua hal. Pertama soal fisik pertunjukan, wayang wolak-walik sama dengan wayang kulit pada umumnya. Bedanya, jika wayang kulit biasanya hanya ada satu orang dalang yang memainkan wayang dari satu sisi layar, pada wolak-walik, layar yang ada bisa digunakan oleh dua dalang dari setiap sisi.
Satu dalang lainnya juga bisa digantikan siapa saja yang ingin terlibat langsung dalam pertunjukan itu. Keberadaan mereka juga bisa diganti dengan kesenian lain yang mendukung tema pentas, seperti tarian dan seni yang lain.
Kedua, dari sisi filosofis, wolak-walik menggambarkan kondisi yang terjadi saat ini. Bagaimana manusia yang memiliki kekuasaan dan harta bisa membolak-balikkan keadaan. Sebaliknya, mereka yang lempeng, jujur, tidak bisa berbuat apa-apa.
”Secara fisolofis, wolak-walik, kan, sekarang siapa yang punya kuasa bisa membuat hal benar jadi salah dan sebaliknya. Sementara orang lurus tak ada tempat. Jadi, secara fisosofis, apa saja bisa dibuat baik atau buruk oleh siapa pun yang berkuasa, yang punya uang. Siapa punya power bisa menindas orang,” ujar lulusan Institut Seni Indonesia Yogyakarta Jurusan Teater Drama Turgi tahun 1998 itu.
Begitu pula dari isi cerita. Jika pada pertunjukan wayang pada umumnya mengadopsi cerita Ramayana dan Mahabharata, maka tidak dengan wolak-walik. Tokoh-tokoh wayang bebas sesuai tema yang diangkat. Karena itu, jangan heran ada tokoh seperti Gus Dur, petani, kiai, hingga pejabat negara. Bentuk wayang tidak spesifik seperti halnya wayang kulit.
Baca juga: Ainun Murwani, Angkat Perkampungan Bantaran Sungai Yogyakarta
Terus bergulir
Keterlibatan bapak satu anak dengan wayang wolak-walik terjadi sekitar tahun 2012. Saat itu usahanya di bidang kuliner di daerah Bogor, Jawa Barat, meredup. Agar roda ekonomi terus berputar, tebersit ide di benak Juma’ali untuk mencari botol plastik bekas air mineral guna membuat sosok wayang.
”Botol-botol plastik bekas itu saya setrika agar lurus dan bisa dibuat tokoh wayang,” ujar pria yang pernah tergabung dalam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama itu.
Sosok pertama yang dia buat adalah petani. Kebetulan, ada relasi dari salah satu lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang pertanian. Wayang itu pun dipentaskan pada kegiatan LSM bersangkutan.
Dari situ, kegiatan Juma’ali terus bergulir dengan pentas-pentas ke daerah, pesantren, hingga komunitas anak jalanan. Lokasinya pun tidak hanya di sekitar Depok, tetapi juga di kota-kota lain di Pulau Jawa, seperti Sukabumi, Surabaya, dan kota lainnya di mana ada relasi. Kegiatan itu berlangsung hingga dia dan keluarga pindah ke Malang tahun 2016.
Namun, keterlibatan Juma’ali dengan dunia ”pewayangan” sebenarnya telah berlangsung sejak dia kuliah. Sekitar tahun 1991, bersama seorang kawan asal Belgia, Rudy Corens, dia membuat wayang golek dengan cerita ”Si Kabayan”.
Bersama teman-teman pedalangan di Yogyakarta, Jumali—yang pernah menjadi guru tidak tetap di beberapa sekolah di Surabaya dan Sidoarjo serta sejumlah kegiatan freelance—juga terlibat dalam pembuatan wayang kulit transparan. Kala itu tahun 1996 ceritanya legenda Batak Si Tungkot Tunggal Panaluan.
Kini, di tengah hiruk-pikuk kondisi yang ada, Juma’ali tetap memainkan wayang wolak-walik buatannya. Lakon demi lakon dia gelar sesuai konteks yang ada. Tidak pakem, tetapi tetap mengena di hati setiap orang yang menjadi audiensnya.
Baca juga: Sepotong Afrika Selatan dalam Musik Tyla
Juma’ali
Lahir : Malang, 12 Oktober 1967
Istri: Ariyani Pratiwi
Anak: 1 orang
Pendidikan:
- SD Ngadilangkung/SD Dilem
- SMPN 1 Kepanjen
- SMAN Kepanjen
- ISI Yogyakarta