Basuki Budi Santoso, ”Gila” Menanam Pohon
Kalian tenang saja. Kalau saya mati dan jadi hantu, saya akan tetap menanam pohon. Jadi, kalian bisa diam saja di rumah.
Basuki Budi Santoso (50) sudah pernah jadi perusak hutan, bekerja di perusahaan yang memangkas hutan hingga menghancurkannya demi mengais batubara. Kini, pengalaman itu ia kubur dalam-dalam berganti dengan menanam pohon tanpa henti.
”Kalian tenang saja. Kalau saya mati dan jadi hantu, saya akan tetap menanam pohon. Jadi, kalian bisa diam saja di rumah, bangun pagi sudah ada hutan,” kelakar Oom Bas, sapaan akrab Basuki, kepada teman-temannya, Jumat (23/2/2024) pagi.
Pagi itu, ia bersama kawan-kawannya dari Friends of The National Parks Foundation (FNPF) sudah menyiapkan 100 bibit pohon, mulai dari ulin (Eusideroxylon zwageri), belangeran (Shorea balangeran), nyatoh atau nagasari (Palaquium rostratum), gaharu (Aquilaria malaccensis), ubar (Eugenia cymosa), dan berbagai pohon endemik lainnya.
Bibit itu rencananya akan ditanam oleh sejumlah mahasiswa dari Universitas Antakusuma yang sedang belajar bersama Basuki dan FNPF tentang Hutan Jerumbun. Hutan itu adalah kawasan hijau dengan kanopi rapat di wilayah Kumai, Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, yang dulunya rusak karena aktivitas ilegal.
”Lihat baik-baik cara tanamnya ya. Jangan bikin capek diri. Kalau salah, soalnya gagal total,” ungkap Basuki. Tangannya dengan ulet meletakkan polybag ke kedua telapak tangan sehingga bagian tubuh mungil pohon terkulai di pundaknya. Ia lalu merobek dengan perlahan plastik hitam itu hingga muncul tanah dengan beragam akar mencuat di sana-sini.
Cara menghormati tanaman yang kita tanam, paling pertama itu mengenal namanya.
Diletakkannya tanaman itu pada lubang yang sudah ia gali sendiri. Lalu ditutup tanah dari kanan-kiri lubang. Selesai. ”Itu plastik jangan ikut ditanam,” ujar Basuki mengingatkan.
”Plastiknya dibawa, jangan dibuang sembarangan,” katanya.
Begitu banyak teriakan keluar siang itu melihat kelakuan para mahasiswa yang datang belajar. Setelah semua selesai, sembari jalan pulang ia melontarkan pertanyaan ke salah satu pesertanya, ”Apa nama tumbuhan yang kamu tanam?” Mahasiswa itu hanya mengangguk lalu menggeleng.
”Cara menghormati tanaman yang kita tanam, paling pertama itu mengenal namanya,” kata Basuki.
Kelakar Basuki tak ada habisnya. Namun, raut mukanya berubah seketika saat ada yang bertanya berapa banyak pohon yang sudah ditanamnya. ”Jutaan, tetapi saya tak sendiri. Banyak teman yang saya paksa ikut menanam,” ujarnya.
Baca juga: Isam, Dulu Menjarah Kini Menjaga
Titik balik
Basuki tak serta-merta jadi penanam pohon. Ia sudah menggeluti banyak pekerjaan. Sekitar 27 tahun yang lalu ia bekerja di sebuah perusahaan kayu wilayah Kalimantan Timur. Tugasnya tak hanya memotong kayu, tetapi juga mencari lahan untuk memperluas wilayah perusahaannya.
Setahun lebih bekerja itu, ia tak betah dan pindah tempat kerja ke perusahan tambang batubara. Lagi-lagi tugasnya mencari lahan untuk digali untuk mencari ”emas hitam” jauh di bawah tanah.
Pekerjaan itu membosankan untuk Basuki. Ia kemudian melihat ada pembukaan menjadi sukarelawan di FNPF pada 2004 dan mencobanya. Di FNPF, pekerjaan yang dilakoninya berubah dari yang biasa mencari lahan untuk menebang pohon dan menggali tambang menjadi mengurus orangutan di wilayah kerja FNPF di kawasan penyangga Taman Nasional Tanjung Puting, Kotawaringin Barat.
Meski berubah drastis, pekerjaan di FNPF membuatnya kembali menjadi rimbawan sesuai jurusan yang ia ambil saat kuliah, yakni Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman Samarinda, Kalimantan Timur. Setelah masa menjadi sukarelawan di FNPF berakhir, ia kembali ke Kalimantan Timur.
Terkesan dengan kerjanya menangani orangutan, Basuki mendapat tawaran pekerjaan tetap di FNPF. Awalnya ia menolak, berpikir panjang bahkan sempat drama. ”Saya minta diongkosi, ongkosnya saya habiskan. Saya diteleponi, teleponnya saya matikan. Bikin pusing,” katanya sambil terkekeh mengenang masa itu.
Karena ongkos sudah habis, Basuki menunda perjalanan ke FNPF di Kalimantan Tengah. Lambat laun uangnya habis, ia harus cari kerja. Akhirnya, FNPF memberikan kesempatan kedua untuk Basuki.
”Saya akhirnya berangkat, tetapi naik kapal. Uangnya pas-pasan lagi,” kenang Basuki. Ia bahkan harus menumpang di rumah teman saat tiba di Palangkaraya, ibu kota Provinsi Kalteng. Ia kemudian meminta ongkos karena harus menempuh perjalanan 12 jam lagi untuk bisa tiba di Pangkalan Bun, letak kantor FNPF.
Sejak saat itu, tugasnya berganti menjadi menanam pohon. Jadi, ia tak hanya mengurus orangutan, tetapi juga rumahnya.
Pekerjaan itu tadinya ia anggap sekadarnya untuk pemasukan tiap bulan. Namun, pekerjaan berubah jadi panggilan hidup. Ia pernah menanam 600.000 bibit pohon lalu sebagian besar mati terbakar oleh kebakaran hutan dan lahan. Ia tak mau berhenti. Ia terus menanam.
Uang yayasan tempat ia bekerja ludes sehingga program tidak jalan, tetapi ia tetap menanam. ”Jadi kayak kerbau. Gaji dan tidak digaji ya menanam terus,” ungkapnya.
Menanamlah terus sampai jadi hutan karena hutan itu rumah untuk semua makhluk, termasuk makhluk halus.
Tak sampai di situ, pria berambut gondrong itu juga dikenal ngeyel. Ngeyel untuk tetap menanam. Di luar rencana yayasan, ia menanam di tempat yang tidak seharusnya, di dalam kawasan hutan, di dalam kawasan konservasi, di luar kawasan hutan, pokoknya di mana saja wilayah yang rusak ia tanami.
Dari data FNPF, Basuki dan teman-temannya menanam setidaknya 4 juta pohon mulai dari Hutan Jerumbun, Pesalat, Beguruh, Natai Kapuk, Sungai Buluh Besar, Natai Tengah, Kubung, Masorayan, dan beberapa wilayah hutan lain yang dalam beberapa tahun ke depan mereka sasar untuk ditanami 10 juta pohon. Semua itu dilakukan di dalam dan di luar program, gaji atau tidak digaji.
Soal bibit ia tak pernah risau. Melintas di hutan sehari saja ia bisa membawa banyak bibit, lalu disemainya dalam polybag. Tak sedikit yang menyebut dirinya gila menanam.
Banyak hal yang mengubah hidup Basuki, salah satunya adalah Ledan yang merupakan guru dan dikenal sebagai penjaga hutan Pesalat. Dari Ledan, Basuki belajar keteguhan dan komitmen tanpa batas. Ledan berhasil mengubah wajah Pesalat yang dulunya hanya semak belukar, berpasir karena habis ditambang dan ditebang, menjadi hutan yang asri. Ledan meninggal di usia lanjut pada 2023.
Jalan Ledan diikuti Basuki di Jerumbun. Ia menginisiasi banyak pemuda yang dulunya merupakan pembalak dan petambang liar menjadi penanam pohon. Jerumbun yang tadinya gersang kini menjadi hutan konservasi dan pendidikan yang mendunia.
Tak hanya itu, Jerumbun juga berubah menjadi rumah bagi para satwa. Setidaknya hidup 52 jenis burung khas Kalimantan, bekantan, orangutan, kelasi, owa, hingga lutung di Jerumbun. ”Menanamlah terus sampai jadi hutan karena hutan itu rumah untuk semua makhluk, termasuk makhluk halus,” ungkap Basuki, kali ini agak serius.
Baca juga: Achmad Farmis dan Diah Agustini, Merawat Tari Tradisi Sunda
Basuki Budi Santoso
Lahir: Gunungkidul, 18 Desember 1973
Pendidikan: S-1 Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman, Samarinda, Kalimantan Timur, lulus 1999