Rica Kusmirawaty, Jalan bagi yang Berjuang
Rica Kusmirawaty, perempuan peladang dari Kalimantan Tengah, melawan keterbatasan setelah kebakaran hutan dan lahan.
Rica Kusmirawaty (41), perempuan peladang dari Desa Kalumpang, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah, melawan keterbatasan. Dengan keahlian membuat kriya rotan, dia mencoba membantu perempuan peladang lainnya meniti kembali jalan sejahtera.
Sabtu (13/1/2024) siang, kesibukan Rica, ibu dari dua anak ini, kembali terlihat di kediamannya di Kalumpang. Setelah menyiapkan seragam untuk anaknya yang akan ikut kegiatan pramuka, dia lalu menanak untuk makan malam.
Semua itu dilakukan di rumah panggung di atas rawa gambut berlumpur. Rumah kayunya itu agak miring ke kiri. Kayu penopang di bagian kiri tampak lebih dalam dibandingkan dengan yang bagian kanan.
”Dulu, (bagian kiri) itu lumbung padi kami. Saking banyaknya padi, rumah ini sampai miring. Sekarang sudah tidak ada lagi (tumpukan padi),” kata Rica. Ia menunjuk ke ujung kiri rumahnya yang sekarang hanya menyisakan tumpukan karung-karung beras.
Hari itu, sebagai buktinya, hanya ada sedikit beras di kaleng bekas biskuit. Rica mengambil sejumput lalu memasaknya.
”Dulu, beras kami melimpah. Sekali panen, kami bisa makan nasi sampai tahun depan. Bahkan, ada sisa beras yang bisa dijual,” kata Rica mengingat kenangan delapan tahun silam.
Baca juga: Sirun Herman Manan, Menjaga Apotek Hutan
Tidak menyerah
Tahun 2015 adalah awal masa petaka itu bermula. Saat itu, cerita Rica, kebakaran hutan dan lahan melanda seluruh Kalteng, termasuk desanya. Kebun karet dan kebun kelapa sawit ludes dilahap api. Untuk bernapas pun, sulit. Asap tebal menembus celah-celah di antara dinding kayu rumahnya.
Pemerintah lantas mengeluarkan kebijakan larangan membakar atau mengolah lahan dengan cara membakar. Rica dan peladang lainnya yang biasa menggunakan metode itu lantas terdampak. Kebiasaan lama hilang. Pengetahuan baru belum didapat.
Ujungnya, sejak itu, Rica harus meninggalkan ladangnya. Tidak ada lagi yang bisa menanam padi. Ujungnya, ia dan suaminya hanya berharap pada getah karet yang hasilnya sulit memenuhi kebutuhan hidup keluarga.
Akibatnya tidak sederhana. Tidak bisa menanam tanaman pangan, semuanya harus dibeli. Tidak hanya beras, sayur pun baru bisa didapat setelah ditukar rupiah. Tanpa ladang, Rica dan warga lain bergantung hidup pada ”paman” sayur, sebutan penjual sayur keliling.
Rica yang sebelumnya selalu beraktivitas di ladang, kini menghabiskan waktu di rumah dan di TK, tempatnya mengajar selama belasan tahun. Baginya, mengajar adalah saat menyegarkan pikiran. Meski upahnya yang setara beberapa kilogram beras untuk persediaan seminggu kerap tidak cair, ia tetap saja mengajar.
Sebagai guru TK, Rica mendapatkan upah Rp 1,5 juta per tahun yang dibagi dalam tiga kali pembayaran. Anggaran itu dari dana desa, sedangkan dari pemerintah kabupaten ia hanya mendapatkan Rp 200.000 per bulan, tetapi tidak setiap tahun.
Selain untuk memenuhi keperluan sekolah anak-anaknya, uang itu juga untuk membuat dapur mengepul. Ia hanya bisa membeli 15 kilogram beras yang habis untuk satu minggu.
”Pernah setahun tidak dibayar karena enggak ada programnya dari pemerintah kabupaten, tapi ya enggak apa-apa,” kata Rica. Meski coba berlapang dada, semua jelas tidak mudah. Bobby, suami Rica, hanya bekerja serabutan setelah tidak bisa menanam.
Di sini (kriya) rotan itu budaya. Perempuan Dayak di sini biasanya bisa membuat kerajinan rotan. Itu aktivitas kami hampir setiap waktu senggang.
Akan tetapi, Rica tidak mau berteman dengan kata menyerah. Semangatnya hidup lagi saat bergabung dengan Komunitas Solidaritas Perempuan Mamut Menteng (SP Menteng) Kalteng sejak 2021.
Di situ, ia banyak belajar tentang pentingnya kreativitas hingga akhirnya membentuk kelompok peladang perempuan yang diberi nama Hurung Hapakat. Punya arti kerja bersama, kelompok itu juga dibentuk tahun 2021.
Berangkat dari masalah yang dihadapi Rica di dapurnya yang jarang mengepul, Rica berinisiatif membuat kegiatan kebun kolektif. Kebun itu dibuat di pekarangan rumah dengan jenis tanaman sayur-sayuran bersama 15 anggota kelompoknya. ”Tapi, setiap tahun sayurnya rusak karena banjir,” kata Rica.
Kondisi itu membuatnya harus memutar otak. Kerugian akibat banjir tidak bisa terus jadi pikiran. Hingga akhirnya Rica melihat kriya rotan berpotensi jadi jalan keluarnya.
”Di sini (kriya) rotan itu budaya. Perempuan Dayak di sini biasanya bisa membuat kerajinan rotan. Itu aktivitas kami hampir setiap waktu senggang,” ungkap Rica.
Baca juga: Jeruji hingga Nyawa Melayang demi Hutan Adat di Kalteng
Solusi rotan
Rotan lantas dicoba jadi solusi. Dari pemetaannya, keahlian teknis bukan kendala. Sebanyak 30 orang anggota Hurung Hapakat piawai membuatnya. Masalahnya ada di penjualan. Hampir semuanya bingung memasarkan kriya rotan. Kalumpang berjarak 200 kilometer dari Palangkaraya, ibu kota Kalteng.
Sebagai tahap awal, Rica menawarkan kriya itu kepada jaringannya di SP Menteng Kalteng. Gayung bersambut pada 2022, SP Mamut Menteng mengadakan kongres di Lampung. Sebagai cendera mata, disepakati pembelian 400 tas anyaman rotan karya ibu-ibu Hurung Hapakat. Harga tas beragam, berkisar Rp 60.000-Rp 100.000 per tas. Sementara tikar dihargai Rp 500.000-Rp 1 juta per lembar. Ukuran tikar biasanya 2 meter x 3 meter, tetapi ada juga yang dibuat hingga berukuran 5 meter x 5 meter.
”Jumlah 400 itu enggak masalah, seribu pun bisa. Tapi, jangan dadakan. Saat itu kami hanya dikasih waktu satu bulan. Tapi, untung saja bisa dipenuhi,” kata Rica.
Dari situ, jaringannya berkembang. Ia juga mencari pembeli ke desa-desa tetangga, seperti di Pulau Telo yang kerajinan rotannya lebih maju dibandingkan dengan Kalumpang. Di Pulau Telo, ribuan tas tiap tahun dikirim ke Bali. Ia pun meminta para pengumpul untuk membeli dari kelompoknya.
Satu hal yang menarik dari Rica, ia tak mengambil untung sepeser pun dari tas yang berhasil ia jual, semuanya diberikan kepada perajin. Kalaupun ada lebih, itu diberikan kepada bendahara kelompoknya untuk uang kas kelompok.
Anggota kelompoknya. Rusidah (43), mengungkapkan, Rica adalah sosok penting. Tidak hanya mengoordinasi, Rica juga selalu bisa diandalkan dalam banyak situasi.
”Kami, kan, hanya bikin (tas rotan). Nanti kalau sudah menumpuk dan enggak ada yang beli, mengeluhnya di Bu Rica. Nanti, dia mulai cari-cari pembeli,” katanya.
Investasi hijau
Pernyataan Rusidah terbukti benar. Setelah nasi dan lauk pauk matang, Rica bergegas ke Palangkaraya bersama tiga pengurus Hurung Hapakat. Ada kegiatan yang hendak digelar bersama Pantau Gambut, sebuah organisasi non pemerintah yang fokus pada lahan gambut.
Salah satu agendanya adalah duduk bersama dengan pejabat Pemerintah Provinsi Kalteng untuk meningkatkan kualitas kriya sekaligus pemasarannya. Bakal ada juga kerja bersama menyiapkan wadah juga platform dengan kelompok Hurung Hapakat yang ia pimpin.
Platform ini nantinya akan menghubungkan langsung penganyam rotan di Kalumpang dengan pembeli. Pantau Gambut juga mencari investor ”hijau” untuk mengembangkan Kriya Rotan di Kalumpang.
”Saya seperti punya beban kalau ibu-ibu sudah menganyam rotan, tapi belum ada pembelinya. Semoga (kerja bersama) ini bisa bawa harapan baru,” kata Rica.
Dari pelosok Kalteng, Rica dan warga Kalumpang melawan keterbatasan. Mereka membuktikan bahwa selalu ada jalan bagi yang berjuang.
Baca juga: Wisdariman, Seniman Dayak Pelestari Keberagaman
Rica Kusmirawaty (41)
Lahir: Kalumpang, 12 Juli 1983
Suami: Bobby (42)
Anak:
- Jhon Terry (16)
- Juan Tristan (11)
Pekerjaan: Guru TK Pelita Hati Kalumpang (2005-sekarang)
Pendidikan: Diploma I PGTK