Kristine Hara Tola, Melawan Ketidakadilan dengan Kain Sumba
Bagi Kristine, kain tenun adalah simbol perlawanan atas sengkarut masalah agraria di atas keindahan sabana Sumba Timur.
Oleh
STEPHANUS ARANDITIO
·4 menit baca
Orang awam mungkin melihat selembar kain tenun sumba hanya sebagai kain khas tradisional suku Sumba, Nusa Tenggara Timur. Namun, tidak bagi Kristine Hara Tola yang menjadikan kain tenun sebagai simbol perlawanan atas sengkarut masalah agraria di atas hamparan keindahan hamparan sabana Sumba Timur.
Puluhan kain tenun warna-warni Kristine bentangkan di teras rumah panggungnya yang menjadi etalase dadakan dengan harapan orang akan mampir membeli. Motifnya beragam, mulai dari motif hewan seperti kuda, buaya, burung, hingga ayam. Ada pula motif mamuli khas tenun sumba yang melambangkan kesuburan perempuan.
Di antara sederet motif itu, perempuan 29 tahun dari Kampung Patanning, Desa Rindi, Sumba Timur, ini berapi-api saat menjelaskan satu motif yang paling disukainya, yaitu motif manusia. Sebab, motif ini mengandung makna spiritualitas yang mendalam warisan dari leluruhnya.
Dahulu kala, saat perang suku masih terjadi di Sumba, Kampung Patanning dikenal sebagai kampung pemenang. Setiap perang suku, leluhur mereka selalu membawa jasad lawan ke warga kampung. Jasad lawan itu kemudian dikubur di dekat rumah mereka sebagai penanda kemenangan. Maka, muncullah nama Kampung Pattaning yang dalam bahasa Sumba berarti ”yang dikuburkan”.
Cerita leluhur ini, menurut dia, masih sangat relevan dengan kondisi kampungnya masa kini. Selama 10 tahun mereka hidup dengan bayang-bayang ekspansi perkebunan tebu oleh perusahaan gula yang mengancam kelestarian tenun Sumba di kampungnya.
Keresahan pada kampung halaman yang tengah ditindas membuatnya kembali dari perantauan studi di Malang, Jawa Timur, sekitar lima tahun lalu. Ia rela melepas statusnya sebagai sarjana dengan tidak menjadi guru untuk kembali menggerakkan budaya menenun kain Sumba.
”Setiap perempuan Sumba sekarang harus bisa menenun, saya ingin meneruskan ini untuk anak sekolah. Tenun di Rindi itu cukup susah karena dia ada perhitungannya untuk membuat motif, salah sekali ulang dari awal, apalagi metode tenun ikat,” kata Kristine.
Ekspansi perkebunan tebu menjadi pembicaraan sehari-sehari warga Pattaning, setiap informasi pergerakan pegawai perusahaan gula menjadi kabar buruk bagi warga. Tak jarang mereka terlibat konflik fisik dengan pegawai atau aparat pelindung investor.
Kristine khawatir, jika kebun tebu semakin meluas, tumbuhan yang digunakan untuk bahan baku pewarna kain tenun akan musnah. Warna kuning didapatkan dari kayu kuning, merah dari akar pohon mengkudu, coklat dari pohon mahoni, biru dari tumbuhan nila, dan tinta cumi-cumi untuk warna abu-abu, serta lumpur untuk warna hitam. Baru-baru ini, dia bereksperimen dan menemukan warna merah muda dari kutu lak.
Kalau lahan ini sudah diambil, kami sudah tidak ada akses untuk mencari bahan baku lagi, hilang sudah tenun kami.
Kayu kuning dan pohon mahoni didapat dari dalam hutan di tengah sabana dan tinta cumi-cumi diambil dari tangkapan warga yang melaut. Keduanya biasanya dicari oleh laki-laki. Sementara warga perempuan mengumpulkan bahan warna lainnya dari tumbuhan di sekitar pekarangan rumah.
”Kalau lahan ini sudah diambil, kami sudah tidak ada akses untuk mencari bahan baku lagi, hilang sudah tenun kami,” ucapnya.
Maka dari itu, dia mengumpulkan semua penenun di Desa Rindi, yang kini berjumlah sebanyak 32 perempuan, 7 di antaranya masih berusia belia yang diharapkan menjadi generasi penerus tenun Sumba. Mereka saling menguatkan demi membuktikan bahwa perempuan juga bisa terlibat dalam perlawanan.
Mereka berbagi tugas, mulai dari meramu warna, membentuk pola, menenun benang, dan membatik tenun atau mendata kain tenun dalam bahasa Sumba. Proses pengerjaannya minimal satu bulan untuk kain tenun seukuran syal kecil. Maka, tak heran, dengan mutu dan nilai budayanya yang tinggi, kain tenun sumba menjadi sangat bernilai.
Dengan menenun dan menjualnya untuk membantu menghidupi kebutuhan rumah tangga, mereka ingin membuktikan bahwa masyarakat adat bisa berdaya tanpa investasi perkebunan tebu. Ini juga sekaligus bentuk kesetaraan bahwa perempuan juga bisa berperan besar menghidupi rumah tangga.
Masalah pemasaran
Kampung Patanning ditempuh sekitar 1,5 jam dari Kota Waingapu yang membuatnya jarang dikunjungi turis, galeri kecil di teras rumah Kristine pun lebih sering sepi. Namun, Kristine terus belajar memasarkan kain tenunnya.
Media sosial pun menjadi medium pemasarannya. Kristine kemudian membuat sejumlah akun media sosial dan membuka peluang bagi reseller untuk menjual kain-kain tenun dari Desa Rindi. Dengan begitu, kain tenun dari Rindi saat ini sudah terjual hingga luar negeri, mulai dari Australia hingga Amerika Serikat.
”Jadi, kalau pemerintah mau memakmurkan kami, berdayakan kami, bantu pemasaran tenun, bukan kirim tebu,” ujar Kristine.
Selain itu, dia juga sering membawa kain-kain tenun mama-mama Sumba ke pameran-pameran mode di sejumlah daerah di Indonesia. Selain berjualan, tujuannya untuk mengenalkan bahwa dari tenun ini ada sebuah perjuangan warga yang sangat berarti.
Melalui kain tenun, mereka juga mengingatkan bahwa masalah klasik tentang hak wilayah adat tak kunjung berpihak kepada mereka. Undang-Undang Masyarakat Adat yang sejak 2003 masih berupa rancangan belum diketahui ujung perjalanannya.
Hanya satu yang Kristine dan semua warga Sumba Timur percaya, siapa pun yang merusak alam pasti akan mendapatkan pelajaran setimpal oleh alam. Kearifan lokal itulah yang menjadikan alam Sumba selaras hingga saat ini.