Nishtha Jain dan Cerita Orang Biasa
Nishtha Jain (58) tak ingin masuk Bollywood dan memilih jadi pembuat film independen. Ia kini tenar dengan film-film dokumenter yang menyentil nurani.
Nishtha Jain (58) ingin merdeka dari industri film yang lekat dengan patriarki. Ia ingin lingkungan kerjanya setara, aman, dan kritis menyoal nurani publik yang kadang mati. Mimpi yang sekilas terdengar utopis itu berhasil diwujudkan. Sebab, dialah bosnya.
Lega rasanya saat Jain bersedia meluangkan waktu sejenak untuk berbincang. Maklum, dia tengah banyak agenda pada Jumat (8/12/2023) di Yogyakarta. Setelah jadi pembicara diskusi, ia mesti pergi lagi ke lokasi lain untuk menghadiri pemutaran filmnya di Festival Film Dokumenter (FFD) 2023.
Tahun ini Jain menjadi sorotan dalam program Retrospektif di FFD 2023. Tak hanya rekam jejaknya di dunia film dokumenter yang panjang, narasi-narasinya pun menarik. Nalar yang rusak ditampar. Dia menggugat kepatutan bertingkah laku sebagai manusia (yang seharusnya adalah common sense).
Jain tumbuh di Delhi, India. Ia menggambarkan kota itu sebagai tempat yang tak ramah perempuan. Budaya patriarkinya kuat. Tak aman bagi perempuan untuk bepergian sendiri karena banyak kejahatan di jalan, mulai dari pelecehan verbal hingga diikuti penguntit.
Kondisi itu berat buatnya. Belum lagi, sebagai pembuat film, Jain sering bepergian hingga malam. Ia tak punya jam kerja yang pasti dan tak pernah bisa menentukan kapan pulang.
”Dulu, saya bukan perempuan yang akan pulang pukul lima atau sembilan malam. Saya pasti pulang larut malam. Jadi, bepergian sendiri setiap hari, termasuk dengan transportasi umum, itu sangat menantang,” ucap Jain.
Ia lantas pindah 1.400 kilometer ke selatan dari Delhi ke Mumbai. Kota itu terkenal sebagai salah satu pusat industri film di India. Bisa dibilang Mumbai lebih moderat soal patriarki dibandingkan dengan Delhi. Jain mendapati dirinya bebas bepergian ke mana pun dan kapan pun tanpa kekhawatiran berlebih.
”Mumbai adalah tempat yang lebih mudah (ditinggali) bagi perempuan. Ini kota yang lebih aman,” tuturnya yang sudah 23 tahun tinggal di Mumbai.
Jain kini aman dan mapan di Mumbai. Tapi, ia ingat masih ada orang yang untuk merasa aman pun mesti bertaruh nyawa dulu. Tak sedikit yang kalah, lalu mati secara tak adil. Dan, orang lain pura-pura tak tahu.
Baca juga: ”Women from Rote Island”: Korban yang Dijadikan Korban
Masih jelas ingatan Jain soal jasad perempuan muda yang hangus terbakar saat menggarap film Gulabi Gang (2012). Tubuh tak bernyawa itu kaku, telentang di lantai tanah dengan tangan dan kaki terangkat. Sulit melupakannya meski jasad itu hanya lewat sedetik di film. Itu pun seperti tak sengaja terekam.
Korban sudah bersuami dan tinggal bersama keluarga suaminya. Korban disebut meninggal karena terbakar saat memasak. Kecelakaan, katanya. Tapi, kesaksian keluarga—termasuk suaminya—tak logis dan seperti dibuat-buat.
Seorang perempuan aktivis di India sekaligus motor Gulabi Gang, Sampat Pal Devi, meradang. Ia tak suka dicekoki omong kosong, apalagi menyangkut nyawa orang. Sampat Pal membawa kasus ini ke polisi, tetapi buktinya masih lemah. Keluarga korban pun seakan permisif terhadap kematian putrinya. Sampat Pal mengira mereka sudah diberi uang damai oleh pihak keluarga lelaki.
Jain merekam semua drama ini. Hatinya campur aduk. Ada jasad yang mati entah kenapa dan keluarga korban banyak alasan. Kematian ini seakan cuma kentut lewat.
Ada jasad yang mati entah kenapa dan keluarga korban banyak alasan. Kematian ini seakan cuma kentut lewat.
Jain sangat emosional, tapi untunglah videografernya sigap merekam momen dengan kepala dingin. Jain bersyukur benar punya rekan kerja seperti itu.
Sehari setelahnya, Jain ingin kembali ke lokasi kejadian, tapi dilarang karena dikhawatirkan di sana tak aman. Jain bersikeras pergi sehingga Sampat Pal setuju menemaninya.
Lokasi kejadian rupanya sudah dimodifikasi. Ada barang yang dipindahkan dan ada lubang baru di ruangan. Ini sama saja mengaburkan kebenaran. Walakin, ini juga yang membuat polisi turun tangan. Kasus akhirnya diselidiki. Film Gulabi Gang bisa dibilang ikut andil dalam pembukaan kasus ini.
Gulabi Gang pula yang membuat nama Jain tenar di industri film dokumenter. Jain mendapat penghargaan dari Presiden India melalui film ini serta menang Best Director Award di program International Competition pada Mumbai International Film Festival 2014. Film ini juga menerima sejumlah penghargaan nasional dan internasional.
Adapun Gulabi Gang adalah kelompok perempuan di India yang mengadvokasi kesetaraan jender dan pemberdayaan perempuan serta campur tangan membela korban kekerasan seksual, kekerasan dalam rumah tangga, dan penindasan. Mereka ikonik dengan sari merah jambu.
Terus bertanya
Jain banyak membuat film dokumenter bertema sosial dengan isu yang dekat dengan keseharian. Film Lakshmi and Me (2007), misalnya, mengisahkan pekerja rumah tangga muda bernama Lakshmi. Ia bekerja sejak muda karena impitan ekonomi. Ia tak sekolah tinggi dan tak bisa berbahasa Inggris. Saat tuannya mengobrol dengan Jain dalam bahasa Inggris, Lakshmi tak paham.
”Bahasa Inggris adalah privilese. Banyak orang yang tak mampu pergi ke sekolah sehingga tak memiliki privilese itu,” ucap Jain. ”Bahkan, bahasa adalah privilese. Informasi adalah privilese.”
Di mata Jain, banyak orang tak menyadari privilese yang dimilikinya. Ia ingin filmnya merefleksikan hal itu. ”Tujuan saya adalah membuat orang-orang mempertanyakan dunia yang kita tinggali. Ketika Anda berhenti dan mengamati sekitar, ada banyak privilese yang tak disadari,” tuturnya.
Sikap ini dibawa selama berkarya selama tiga dekade, termasuk saat membuat Farming the Revolution. Film terbaru Jain ini berkisah soal protes massa petani India selama lebih dari setahun. Protes ini dipicu kebijakan soal reformasi pertanian.
”Saya selalu melakukannya di film saya: menanyakan tentang bagaimana, apa, dan kenapa,” katanya.
Berinteraksi dengan narasumber serta mengikuti keseharian mereka juga membuka mata Jain. Ia belajar soal kearifan berbagai versi kehidupan tanpa mesti menjalaninya sendiri. Pengalaman hidup Jain kaya.
”Anda juga akan menyadari bahwa ide Anda sangat dangkal. Terkadang, ide yang kita miliki itu berbeda dengan kenyataan yang ada. Realitas itu lebih kompleks,” tutur perempuan yang mengaku kikuk di hadapan kamera ini.
Baca juga: Petani India Akhirnya Gapai Puncak Piramida Perjuangan
Bollywood
Sebelum menjadi pembuat film dokumenter, Jain sempat berkarier sebagai pengasuh tayangan dokumenter di stasiun televisi pada 1989-1992. Ia juga pernah belajar di Film and Television Institute of India. Ketika memutuskan membuat film, Jain tahu ia tak mau masuk ke Bollywood yang ibarat Hollywood-nya India.
”Saya tidak tertarik dengan narasi Bollywood. Saya lebih tertarik dengan cerita orang biasa, cerita marjinal. Bollywood tak lagi membuat cerita soal orang biasa,” tutur Jain.
Orang biasa, walaupun biasa, tetap saja menarik buat Jain. Mereka yang berjuang menghadapi kemalangan dianggap kuat. Mereka yang mampu bertahan hidup di tengah keterbatasan dianggap kreatif. Ia ingin filmnya berkisah soal resiliensi orang biasa.
”Tapi, saya tak membuat film soal korban, lho. Saya tak mau menjadikan mereka korban lagi,” katanya. ”Saya bukan hanya ingin menampilkan pergumulan mereka, melainkan juga keindahan di baliknya. Keindahan dari perjuangan.”
Ia pun turut berjuang di perfilman dokumenter. Jalannya panjang. Ia baru membuat film dokumenter independen pertamanya pada 2002 yang lantas berjudul City of Photos (2004). Saat itu umurnya sekitar 37 tahun, cukup terlambat untuk memulai karier film, menurut Jain.
Tapi, toh ia tetap menjalani kariernya dan berhasil di bidangnya. Ia bahkan kini menjadi anggota Academy of Motion Pictures Arts and Sciences. Artinya, ia punya andil dalam memilih nomine dan pemenang Piala Oscar dalam Academy Awards, penghargaan tertinggi perfilman dunia.
Saat berganti karier, Jain pun dengan sadar memilih menjadi pembuat film independen. Selain bebas membuat film, ia juga tak ingin ambil bagian dalam sistem perfilman yang, menurut dia, masih terpengaruh budaya patriarki.
Masih ada misogini di industri film. Perempuan masih diperlakukan dan dipandang sebagai subyek sekunder alias tak penting-penting amat. Jain tak mau ada di sana.
”I am the boss of my own films. Saya mempekerjakan orang dan itu jadi lingkungan yang lebih aman dan lebih independen. Saya tidak menerima perintah dari siapa pun,” tutur Jain.
Nishtha Jain
Lahir: 21 Juni 1965
Pendidikan: Film and Television Institute of India