”Women from Rote Island”: Korban yang Dijadikan Korban
Isu kekerasan seksual, perdagangan orang, hingga pemasungan yang marak di Rote, Nusa Tenggara Timur menjadi kekuatan cerita "Women from Rote Island". Betapa perempuan berulang kali jadi korban karena membela harkatnya.
Siapa yang tidak takjub dengan keindahan alam di Rote, Nusa Tenggara Timur? Langitnya yang biru, perbukitan hijau, hingga pantai pasir putih dengan karang-karang besar dan air biru hijau jernih memukau mata. Ironisnya, nasib para perempuan di sana tak seindah itu.
Kondisi yang sangat kontras ini ditampilkan terang-terangan melalui konflik intens dalam film Women from Rote Island (2023) yang ditayangkan di Jogja-Netpac Asian Film Festival di Yogyakarta, Rabu (29/11/2023).
Layar dibuka dengan deburan ombak dan pantai berpasir putih dengan karang-karang disusul kemunculan Martha (Irma Rihi) yang telanjang berjalan gontai menuju ke tengah laut.
Adegan pun berpindah pada birunya langit dan bukit yang hijau dengan sebuah rumah sederhana. Namun, di dalamnya, orang-orang tengah berduka. Salah satunya Orpa (Linda Adoe) yang kehilangan suaminya dan harus menghadapi tekanan keluarga dan para tetua untuk segera melakukan pemakaman.
Akan tetapi, Orpa bersikeras menunggu kehadiran anak sulungnya, Martha, yang menjadi buruh migran di Malaysia. Ia hendak memenuhi keinginan terakhir sang suami sebelum meninggal. Polemik kepulangan Martha ini mengupas satu per satu persoalan dan derita yang kelak bertubi-tubi dihadapi Orpa, Martha, dan si bungsu, Bertha (Sallum Ratu Ke).
Dari perbincangan yang mengalir di rumah duka, terungkap Martha berangkat secara ilegal sebagai buruh migran. Karena itu, upaya kepulangan Martha memakan waktu lama dan rumit. Meski berhasil kembali ke kampung halamannya, Martha mengalami depresi akibat kekerasan seksual yang menimpanya ketika bekerja di Malaysia.
Kondisi depresi ini berujung pada pemerkosaan berulang dari orang-orang di sekitarnya. Refleksnya untuk melawan dan mempertahankan diri malah membuatnya berakhir dalam pemasungan.
Orpa yang tengah memproses duka sembari harus bergerak menyambung hidup justru dibebani tanggung jawab ganti rugi oleh tetangga yang tak terima atas tindakan Martha, padahal putrinya yang menjadi korban.
Ia merasa bersalah dan gagal menjadi ibu karena kejadian beruntun yang menimpa anak sulungnya. Belum selesai ia mengurai deritanya, si bungsu Bertha mendadak hilang. Padaha,l Bertha-lah yang selalu membantu Orpa mencari uang dan lantang membela kakaknya yang dilecehkan. Bertha sesungguhnya juga korban pelecehan verbal dari tetangganya.
Di tengah berbagai kemalangannya, ada saja yang berkomentar bahwa tiap kejadian dan kekerasan ini adalah dampak melanggar adat karena tetap keluar rumah ketika mendiang suami belum dimakamkan.
Baca juga : Film ”Women from Rote Island” Menjadi Kuda Hitam di FFI 2023
Kelindan masalah yang disuguhkan sutradara Jeremias Nyangoen ini menggandeng para pemeran asli Rote yang baru pertama kali bermain film. ”Bahasa dan dialek di Indonesia timur itu berbeda-beda. Ada Rote, Sumba, Flores, bahkan Papua. Jangan cerita Sumba, dialek Papua. Nah, ini di Rote, saya pilih saja orang Rote langsung,” ungkap Jeremias seusai pemutaran.
Adapun film peraih Piala Citra Festival Film Indonesia 2023 yang berdurasi 106 menit ini bermula dari peristiwa yang benar terjadi di Rote dan banyak daerah di NTT. Ia meracik dua kisah dalam satu film yang penulisan naskahnya memakan waktu hampir dua tahun.
”Saya enggak berani bilang true story karena ada pertanggungjawabannya, kan. Tapi, pernah terjadi atau enggak? Pernah, bahkan sesungguhnya lebih mengerikan lagi. Setelah kami selesai shooting saja di sana ada berita anak SLB diperkosa oleh gurunya. Tingkat pembunuhan dan pelecehan seksual sangat tinggi di sana,” ujar Jeremias yang memenangi Sutradara Terbaik dalam FFI 2023.
Saya enggak berani bilang ’true story’ karena ada pertanggungjawabannya, kan. Tapi pernah terjadi atau enggak? Pernah, bahkan sesungguhnya lebih mengerikan lagi.
Perihal kekerasan seksual memang marak terjadi di NTT, termasuk Rote. Dari Yayasan Sanggar Suara Perempuan (YSSP) di NTT, 128 kasus tindak kekerasan seksual terhadap perempuan, baik anak maupun dewasa, ditangani sepanjang Januari-September 2023.
YSSP meyakini jumlah kasus bisa lebih banyak, tapi tidak dilaporkan karena kekerasan seksual masih dianggap sebagai aib dan bisa diselesaikan secara kekeluargaan. Terlebih, YSSP juga menemukan pelaku kerapnya berasal dari kerabat. Korbannya sendiri sering adalah anak atau perempuan dengan retardasi mental.
Dalam film ini, Orpa yang didukung oleh ibu mertuanya tetap ingin kasus pemerkosaan terhadap Martha dilanjutkan secara hukum. Dari keluarga, kami sudah maafkan. Tapi hukum tetap bicara. Sudah,” ujar Orpa di hadapan keluarga pemerkosa Martha yang masih saudara dekat.
Korban berulang
Lewat Women from Rote Island ini, perempuan ditunjukkan berulang kali menjadi korban. Stigmatisasi terhadap perkara kekerasan seksual membuat korban dan keluarga memilih diam dan berdamai. Pelakunya bebas berkeliaran dan mengulangi perbuatannya, baik terhadap orang yang sama maupun korban lain. Impunitas pelaku kekerasan.
Sementara itu, trauma korban yang memantik depresi malah dihadapkan pada perkara baru, seperti pemasungan, karena dianggap gila dan meresahkan. Perempuan seakan tak diberi ruang untuk mencerna luka dan dukanya. Rasa sedih, takut, dan kalutnya seakan tidak valid dan harus buru-buru sembuh, lalu melanjutkan hidup. Upaya pemulihan korban yang nihil.
Situasi korban berulang yang dialami Martha dan Orpa ini tak bisa dilepaskan dari tekanan adat yang patriarkal. Dalam film, digambarkan para tetua semuanya laki-laki. Sementara itu, para perempuan hanya bisa pasrah pada apa pun keputusan tetua adat. Umumnya, para perempuan ini berpendidikan akhir SD atau SMP. Adapun yang berpendidikan SMA ke atas dan berani bersuara bisa jadi dibungkam atau hilang seperti Bertha.
Padahal, penyelesaian secara adat ini tidak pernah membahas tanggung jawab pelaku, termasuk ketika korban sampai hamil dan memiliki anak.
Padahal, penyelesaian secara adat ini tidak pernah membahas tanggung jawab pelaku, termasuk ketika korban sampai hamil dan memiliki anak. Lagi-lagi, perempuan korban pemerkosaan terpaksa mencari nafkah dan menghidupi bayinya dengan segala trauma yang urung tervalidasi. Jatuh lagi menjadi korban.
Bell Hooks dalam bukunya, Feminism is for Everybody: Passionate Politics, menjelaskan, kekerasan seksual terjadi karena kentalnya budaya patriarki. Budaya ini menasbihkan laki-laki superior ketimbang perempuan sehingga cenderung menindas perempuan. Terciptalah relasi kuasa yang makin mendorong terjadinya kekerasan seksual
Hal ini direpresentasikan Martha yang semula merupakan asisten rumah tangga, lalu diperkosa majikannya. Selanjutnya, dalam kondisi depresi dan terpasung, ia harus mengalami hal serupa karena dianggap lemah. Sama sekali tak ada kaitannya dengan adat, apalagi kutukan.
Baca juga : Perlawanan Seorang Gadis lewat Kretek
Selain itu, regulasi penanganan kasus kekerasan seksual belum dipahami sepenuhnya oleh penegak hukum. Akibatnya, para aparat masih berperilaku menyalahkan korban dengan alibi tak bisa menjaga diri atau memberi peluang pada pelaku.
Tak hanya korban, keluarga korban, terutama ibu, sering juga disalahkan atas kejadian yang menimpa anak perempuannnya. Sebab itu, Orpa merasa semua adalah kegagalannya menjadi ibu.
”Rote sangat indah, tapi dalam keindahan itu penuh dengan persoalan,” ungkap Jeremias.