Suster Margaretha Ada SSpS, Pengabdian di Bukit Pada
Pengalaman hidup yang penuh perjuangan membawanya siap berbagi hidup di mana pun, Saat ini, ia berbagi hidup mendampingi anak-anak muda dan keluarga muda di Pulau Lembata.
Mentari pagi menyengat hamparan bukit berbatu Bukit Pada, Lembata, Nusa Tenggara Timur, Rabu (13/12/2023). Sejumlah orang berkumpul dengan kain adat, buah pinang, dan sambutan berbahasa lokal dalam seremoni kecil.
”Selamat datang di BLK kami. Terima kasih,” kata Suster Margaretha Ada, SSpS, pendiri Balai Latihan Kerja (BLK) Susteran Lembata yang juga Ketua Yayasan Gunthild Karitas Peduli, di antara para suster kongregasi SSpS (Misi Abdi Roh Kudus) Flores bagian Timur. Lalu, belasan peserta didik jurusan Teknik Informatika BLK itu menari tradisional. Sungguh semarak.
Baca juga: Membangun Harga Diri di Bukit Pada, Lembata
Suster Margaretha (54) melangkah disangga tongkat bersama rombongan Yayasan Dana Kemanusiaan Kompas (DKK) yang menyalurkan bantuan pembaca Kompas (Kompas.id) untuk membangun gedung belajar seluas sekitar 300 meter persegi. Dua bulan lalu, tiga pelat platina ditanamkan di kaki kanannya, setelah dia terguling mengendarai ”oto” saat menanjak masuk susteran sepulang dari gereja.
Namun, tak ada kata menyerah dalam dirinya. Proses penyembuhan tetap diiringi aktivitas pagi sampai malam, dari urusan memasak, mengajar, menerima tamu, rapat-rapat, hingga mengawasi tukang. ”Biasa sudah,” katanya seusai peletakan batu pertama pembangunan gedung.
Lokasi BLK itu di lereng bukit berbatu, langsung menghadap Gunung Ile Boleng di Pulau Adonara di sisi kiri dan Gunung Ile Lewotolok di sisi kanan. Keduanya dipisahkan selat yang terhubung Laut Flores.
Tiada keakuan di sana. Dari semua, untuk semua, untuk membangun harga diri sesama.
Semua bermula tahun 2019 ketika karya pengabdian yayasan pengembangan masyarakat itu mulai dirintis di Lembata. Saat itu, Margaretha baru pulang menyelesaikan program Master of Science di Bidang Sumber Daya Manusia di Universitas DePaul, Chicago, Amerika Serikat, dengan gelar summa cum laude dan Indeks Prestasi 3,867.
Kaget dengan penugasan baru? ”Tidak mengejutkan. Niatnya mau segera bekerja dan melayani,” katanya mantap. Maka, berangkatlah ia bersama dua suster lain ke Lembata, lalu tinggal di rumah pinjaman yang masih mereka digunakan hingga hari ini untuk kelas Tata Busana, Tata Boga, dan Bahasa Inggris.
Di sanalah semua karya pengabdian dimulai, benar-benar dari nol. ”Sempat bingung, harus ngapain dengan yayasan baru ini,” kenang dia. Ia memilih nama yayasan, merumuskan visi dan misi, menyusun program, hingga merancang cara menghimpun dana untuk memulai kegiatan.
Keprihatinan khusus pada anak muda, keluarga muda, dan anak-anak di Pulau Lembata, pulau dengan jumlah kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO) tidak sedikit. Banyak muda-mudi pergi merantau ke Malaysia secara ilegal, tanpa bekal keterampilan, dan berujung keprihatinan. Bekal keterampilan ini, sedikit banyak merupakan upaya membangun harga diri individu.
Tonton juga: Menyusuri Jalur Selatan Pulau Lembata
Berbekal doa dan visi untuk Lembata, BLK kala itu merintis kelas perdana Tata Boga, Tata Busana, dan Bahasa Inggris. Materi disampaikan di rumah yang atapnya bocor dengan meja kursi seadanya, juga di bawah pohon di halaman. Yayasan meminjam kursi dan kelas dari sekolah terdekat, mengajukan bantuan beras ke pemerintah daerah untuk dikonsumsi dan dibagikan.
Lima tahun berjalan, secara perlahan BLK itu berbenah. Kelas Tata Boga mengajukan sertifikasi pangan olahan abon tuna, bakso tuna, dan perkedel tuna. Namun, ketika tim sertifikasi mengunjungi dapur produksi, semua rencana buyar. Kejadian tak terduga saat inspeksi tim, seekor tikus melintas di dapur. ”Aduhh… malu betul saya. Itu membuat kami sadar diri untuk menunda dulu semua prosesnya,” kisah Margaretha.
Hingga kini ada 276 lulusan peserta didik BLK, termasuk 12 angkatan jurusan Teknik Informatika. Sebagian mereka sudah bekerja berbekal keterampilan komputer, membuka jasa menjahit, serta menerima pesanan aneka kue dan kudapan berbahan ikan. Bahkan, di antara para peserta didik yang lulus, tujuh di antaranya sarjana. Mereka mencari bekal keterampilan tambahan di bidang teknik komputer.
Baca juga: Desa Garda Terdepan Pemajuan Kebudayaan
Pada pekembangannya, yayasan itu mendapat hibah tanah 18.000 meter persegi di Bukit Pada itu. Secara bertahap, bantuan yang datang diwujudkan dua bangunan: kelas Teknik Komputer sekaligus kantor dan rumah susteran enam kamar. Lima suster tinggal di sana tanpa satu pun tenaga awam yang membantu karena keterbatasan dana.
Setiap hari, sejak subuh hingga petang, para suster memasak, bersih-bersih, mengajar, dan mengurus administrasi secara mandiri. Ada juga beberapa instruktur di BLK satu-satunya di pulau berpenduduk sekitar 140.000 jiwa (2022) itu.
Dari semua perjuangan itu, kata Margaretha, salah satunya mengubah pola pikir warga bahwa untuk terampil dan kompeten perlu waktu dan ketekunan. Berlawanan dengan mental instan dan cepat pegang uang. ”Bangun pagi keliling jual ikan atau ojek antar penumpang memang langsung pegang uang kendati uang tak bertahan lama. Akan tetapi, keterampilan yang diperoleh pasti akan bertahan lama karena menjadi milik. Susah payah kami memberi penyadaran untuk mengubah mindset,” katanya.
Masa kecil dan membiara
Karakter kreatif, disiplin, tahan uji, dan tahan banting Margaretha terbentuk sejak kanak-kanak di keluarga petani miskin. Orangtuanya meninggal saat ia masih berusia 4 tahun. Ia bungsu dari lima bersaudara.
Masa kecil di Desa Wekaseko, Nagekeo, Flores Tengah, itu, tidak akan terlupakan. Hari-hari mereka terbiasa menahan lapar, mencari umbi-umbian ke hutan jika tiada bantuan. Bahkan, pernah tidak ada makanan sama sekali hampir seminggu. Perut mereka diisi daun pepaya rebus.
Ujian hidup seperti tak jera menghampiri Margaretha kecil. Pada usia 10 tahun, kakak sulungnya meninggal. Sejak saat itu, ia tinggal bersama keluarga Om dan tantenya, yang membuat ia semakin jauh berjalan kaki jika hendak bersekolah.
Jalan hidupnya mulai berubah setelah Margaretha kecil bertemu dengan pastor misionaris SVD dari Jerman, yang adalah pastor paroki tempat kakak-kakaknya biasa membantu. Pastor itu pula yang membiayai jenjang SMP di Nagekeo dan SMA di Ende, yang Margaretha sebut kesempatan langka karena banyak temannya lulus SD, lalu terpaksa menikah. ”Saya sempat tak berpikir bakal lanjut SMP. Saya lalu belajar all out,” katanya.
Saat duduk di kelas III SMA Jurusan Bahasa, ia menerima tawaran bekerja mengedit buku dan mengoreksi naskah di penerbit buku Nusa Indah. Tiga tahun bekerja di sana, Margaretha memutuskan masuk biara, meninggalkan pekerjaan dan gaji sebagai editor buku.
Baca juga: Produksi Baik, Harga Sejumlah Komoditas di Nagekeo Tak Setinggi di Jawa
Panggilan membiaranya berawal dari intensitas membaca dan mengedit naskah rohani. Lewat tulisan-tulisan itu, ia selalu merasa berkontemplasi. Berita-berita kisah kemiskinan di Etiopia yang ia tonton di televisi hitam putih kala itu juga menguatkan panggilannya. Ia ingin terus berdoa bagi mereka yang kekurangan agar mendapat perhatian siapa saja.
”Melalui Doa Novena sembilan hari, saya mendapat keberanian mengambil keputusan masuk biara,” ucapnya. Di biara itu, ia kembali mendapat tugas mengurus berita karya misi suster-suster selama beberapa tahun hingga ditugaskan belajar ke Universitas Sanata Dharma (USD), Yogyakarta, tahun 1999.
Kami misionaris, siap ditugaskan ke mana pun pimpinan menugaskan.
Mematangkan diri
Masa kuliah di USD juga mengasah keuletan dan kegigihan Margaretha. Tidak hanya terkait akademis, ia pun mengasah kemampuan berorganisasi, termasuk menjadi ketua kelompok studi yang menggelar berbagai kegiatan, seperti diskusi lintas iman di UIN Sunan Kalijaga.
Saat menjalani masa KKN di Desa Argomulyo, Cangkringan, Sleman, bersama tujuh mahasiswa lain, mereka menggalang dana membangun jalan dusun dan membantu fasilitas perpustakaan desa. ”Saya yang ketik proposalnya,” katanya.
Karakter kompetitifnya pun menonjol. Skripsinya tentang lintas disiplin ilmu psikologi dan linguistik lolos seleksi Konferensi Linguistik Atmajaya (Kolita) dan diundang presentasi di hadapan ahli bahasa yang juga Guru Besar Bahasa Indonesia dan Linguistik Anton Moeljono di Jakarta. Itu pertama kalinya ia menginjakkan kaki di Ibu Kota.
Menuntaskan kuliah dalam tujuh semester dengan pencapaian akademis yang menonjol membuat Margaretha masuk nominasi lulusan terbaik. ”Semua karya Tuhan semata,” katanya.
Baca juga: Pastor Amans Laka SVD, Jejak Jasa Putra NTT di Argentina
Bagi dia, seluruh pencapaian itu merupakan tanggung jawab. Jerih payah merintis BLK hingga harus menanggung luka fisik karena insiden takkan dia klaim sebagai karya pribadinya. Tiada keakuan di sana. Dari semua, untuk semua, untuk membangun harga diri sesama.
Panggilannya sebagai rohaniwan akan terus dipanggulnya, termasuk meneladani para senior dan kolega SSpS lain yang berbagi hidup di banyak tempat, termasuk di Afrika, seperti Sr Ildeponsa Conterius SSpS, yang 30 tahun melayani di Ghana (kini di Larantuka) dan Sr Maria Mathilda Watu SSpS, yang beberapa tahun di Brasil dan Afrika sebelum kembali ke Boto, Lembata. ”Kami misionaris, siap ditugaskan ke mana pun pimpinan menugaskan,” tutup Margaretha.
Margaretha Ada
Lahir: Maret 1969
Pendidikan dan pengabdian:
- SDK Wolowajo, Nagekeo
- SMPK Manungae Ndora, Nagekeo
- SMAK Syuradikara di Ende
- Editor Penerbit Buku Nusa Indah di Ende (1989-1992)
- Formasi Hidup Membiara SSpS (dimulai 1992)
- S-1 FKIP Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Sanata Dharma Yogyakarta (1999-2003)
- Guru di SMP-SMAK Santa Agnes dan SMK Mater Amabilis di Surabaya (2004-2009)
- Kepala SMAK Bhaktyarsa di Maumere (2009-2014)
- S-2 Program Master of Science in Human Resources Universitas DePaul, Chicago, AS (2015-2018)
- Ketua Yayasan Gunthild Karitas Peduli dan Kepala BLK Susteran Lembata (2019-sekarang)