LEMBATA, KOMPAS — Beragam ekspresi budaya lahir di desa. Produknya bukan sebatas seni pertunjukan, melainkan juga cara hidup masyarakat lintas generasi. Melalui festival budaya yang melibatkan peran aktif warga, desa diharapkan menjadi garda terdepan dalam pemajuan kebudayaan.
Sejak tiga tahun terakhir, Direktorat Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) menjalankan program pemajuan kebudayaan di lebih dari 200 desa di Tanah Air. Salah satu tujuannya agar pembangunan desa berbasis kebudayaan dengan memanfaatkan kearifan lokal.
Desa Lamalera A, Kecamatan Wulandoni, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur (NTT), menjadi salah satu desa yang menjalankan program pemajuan kebudayaan dalam tiga tahun terakhir. Beragam bentuk kebudayaan, antara lain tenun, pangan lokal, tradisi barter, dan cerita rakyat, ditampilkan dalam festival budaya Tani Tenane Fule Penete yang berlangsung pada 20-25 November 2023 di pelataran Gereja Lama Santo Petrus dan Paulus Lamalera.
Pamong Budaya Balai Pelestarian Kebudayaan NTT I Putu Putra Kusuma Yudha mengatakan, masyarakat sering melupakan potensi budaya di desa. Festival itu diharapkan mengingatkan kembali kekayaan ekspresi budaya yang bisa dimanfaatkan oleh warga.
”Saat ini masyarakat menghadapi persoalan sosial, ekonomi, politik, dan juga kebudayaan. Desa merupakan garda terdepan pemajuan kebudayaan,” ujarnya dalam pembukaan festival budaya Tani Tenane Fule Penete, Senin (20/11/2023) sore.
Menurut Yudha, desa menjadi hulu dalam pelestarian kebudayaan. Sebab, mayoritas obyek pemajuan kebudayaan berada di desa-desa.
”Selama ini kita sangat lemah dalam data potensi budaya yang ada di desa. Dokumen-dokumen pendukung secara tertulis sedikit, meskipun dalam tradisi lisan sangat kaya,” katanya.
Yudha menambahkan, program pemajuan kebudayaan terdiri dari tiga tahap. Tahun pertama fokus pada menemukan dan mengenali potensi budaya desa. Untuk tahun kedua, fokus mengembangkan budaya desa. Sementara di tahun ketiga bergerak memanfaatkan budaya desa.
Daya Desa Lamalera A Feliks Muko Keraf mengatakan, festival itu juga bertujuan untuk menarik minat generasi muda terhadap budaya lokal. Dengan begitu, mereka diharapkan tertarik dan berperan aktif untuk melestarikannya.
”Mungkin saat ini budaya-budaya lokal masih dijalankan di desa-desa. Tetapi, kalau tidak sering ditampilkan dan dikemas dalam sesuatu yang menarik, budaya ini lama-kelamaan rawan dilupakan,” katanya.
Perjuangan warga
Festival budaya Tani Tenane Fule Penete dibuka dengan tari-tarian oleh puluhan anak dan upacara adat penerimaan tamu. Terdapat iring-iringan yang dipimpin oleh sepasang suami istri dengan pakaian khas Lamalera.
Sang suami membawa alat tangkap ikan berupa tombak yang disebut tempuling, sedangkan sang istri memanggul keranjang anyaman di atas kepalanya. Saat sang istri menangis, ibu-ibu yang menonton di depan panggung pun ikut menangis.
Paulina Witin (48), warga Lamalera, mengungkapkan, iring-iringan itu mengingatkan mereka akan perjuangan warga di Lamalera yang mampu berkembang hanya dengan mengandalkan hasil laut. Meski tak bisa menanam jagung dan padi, mereka masih bisa makan beras dan menikmati jagung titi, makanan tradisional dari jagung, karena hasil laut.
Desa menjadi hulu dalam pelestarian kebudayaan. Sebab, mayoritas obyek pemajuan kebudayaan berada di desa-desa.
”Di laut itu tidak seperti di darat yang punya pohon. Jadi, kalau berteduh bisa ke bawah pohon. Di laut matahari seperti bakar kita punya kulit. Kami bertaruh nyawa di laut mencari paus, dari situ kami bisa hidup,” katanya.
Festival itu, bagi Paulina, merupakan harapan. Harapan agar budaya mereka tidak dilupakan generasi selanjutnya dan bisa dikenal orang banyak.
Hal yang sama juga dirasakan Fik Keraf (40). Fik yang sehari-harinya bekerja mencari ikan mengalami keganasan laut, dari menerjang ombak hingga disengat sinar matahari.
”Kami cari ikan, nanti istri saya jalan ke kampung-kampung jual atau pergi tukar dengan jagung atau beras,” ujarnya.
Pastor Paroki Gereja Santo Petrus dan Paulus Lamalera, Arnoldus Guna, menjelaskan, Lamalera sudah dikenal dunia, bahkan sebelum Indonesia merdeka, karena tradisi mereka di laut. Hal itu dibuktikan dengan begitu banyaknya referensi literatur yang ia dapat dari luar negeri, terutama di Belanda dan Roma, Italia.
Festival tersebut, lanjut Arnoldus, juga mengambil tema pangan lokal. Menurut dia, cukup aneh memilih tema itu di Desa Lamalera karena sebagian besar masyarakatnya tidak memiliki kebun atau bahkan berkebun di tanah penuh batu.
”Militansi orang Lamalera untuk bisa mencapai ketahanan pangan itu luar biasa dan patut menjadi contoh,” kata Arnoldus.
Militansi yang dimaksud, kata Arnoldus, merupakan upaya laki-laki Lamalera yang mengejar paus di lautan lepas dan upaya perempuan Lamalera yang menjual hasil laut itu dari kampung ke kampung untuk bisa menikmati hasil bumi, dari padi, jagung, hingga sayur-mayur.
”Kami di sini juga makan nasi meski tak punya kebun. Jadi, ada banyak manfaat dan nilai yang harus digali lagi dalam budaya orang Lamalera, mimpi kami itu berikutnya Lamalera bisa hidup dari budaya,” ujarnya.
Sekretaris Camat Wulandoni Petrus Laurentius Kodi Muran Gowing mengklaim bahwa tradisi mencari ikan paus dan barter atau tukar-menukar itu hanya ada di Lamalera. Festival ini menguatkan kembali pengetahuan masyarakat akan budaya orang Lamalera.
”Jadi, harapannya bukan hanya agar orang dari luar tahu. Tetapi, juga menguatkan kembali pengetahuan orang Lamalera tentang budayanya supaya tidak lupa dan dijalankan dalam kehidupan,” ungkap Petrus.
Petrus menjelaskan, dari empat dusun di Lamalera, hanya ada satu dusun yang tinggal di atas bukit dengan aktivitas pertanian, yakni Dusun Lamamanu. Sisanya merupakan nelayan pencari paus dan ikan lainnya.
”Orang bingung mengapa orang Lamalera bisa hidup di batu cadas seperti ini. Itu semua karena paus sehingga mereka bisa menjual dagingnya dan merasakan makanan nasi, jagung, dan makanan lainnya,” katanya.