Tanah milik gereja diubah menjadi bermanfaat. Mengikat persaudaraan dan toleransi hingga perbaikan gizi dan lingkungan.
Oleh
DAHLIA IRAWATI
·5 menit baca
Awalnya Nila Sari dan teman-temannya tak berniat muluk-muluk saat mengelola lahan kosong di Gereja Santo Andreas Kim Tae-gon, Kelapa Gading, Jakarta Utara. Luas lahan itu 800 meter persegi. Kondisinya tidak terawat, hanya menjadi lokasi pembuangan material, tempat tumbuh semak belukar, dan sarang nyamuk.
Tahun 2018, Nila Sari dan teman-temannya mulai mengolah lahan itu. Dengan bantuan banyak pihak, mereka mulai menyingkirkan tumpukan sisa material bangunan. Menggantinya dengan tanah uruk, memberikan kompos dan pupuk, hingga akhirnya lahan siap ditanami setelah diolah lebih kurang selama tiga bulan.
Pada awalnya Nila menanam sayur kangkung. Sebab, kangkung dinilai paling kuat di berbagai medan. Ternyata, kangkung tumbuh lebat. Kemudian, secara bertahap, ibu-ibu kebun (ibun) di Gereja Santo Andreas Kim Tae-gon menanam berbagai sayuran dan buah-buahan.
Saat ini, di kebun yang berada di belakang gedung karya pastoral Santo Andreas Kim Tae-gon tersebut tumbuh aneka sayuran, di antaranya kacang panjang, mentimun, terung, sawi, pakcoi, kangkung, bayam, kemangi, dan labu.
Adapun tanaman buah antara lain anggur, kedondong, melon, nangka, cempedak, jambu bol, sukun, dan pepaya. Mereka juga sedang menanam cabai dan singkong.
”Hasil kebun sebagian kami sumbangkan ke warteg dan ibu tukang jual pecel. Kami bagikan cuma-cuma. Buah dan sayur juga kami peruntukan ke pastoran. Biar romo-romo di sini makan sayur dan tambah sehat. Untuk umat yang mampu, kami minta untuk membeli. Harganya murah, seikat Rp 5.000,” kata Nila sembari tersenyum.
Hasil panen sayur dan buah pun digunakan untuk menjamu para warga lansia di gereja tersebut. Para warga lansia datang setiap Senin dan Kamis dalam kegiatan Gelora atau Gerakan Layani Orang Tua.
”Oma-opa lansia ini akan berkegiatan pukul 08.00-12.00. Biasanya acara ditutup dengan makan siang bersama dari hasil kebun kami ini. Oma-opa itu juga biasanya membeli produk kami karena yakin sehat dan segar. Fresh karena baru dipetik dan dirawat tanpa pupuk kimia alias organik,” kata ibu tiga anak itu.
Selain menanam buah dan sayur, di kebun gereja itu Nila Sari dan teman-temannya juga beternak ayam, ikan nila, dan lele. Saat semua hasil yang ditanam dan dirawat itu dipanen, sebagian hasilnya disumbangkan ke Kelurahan Pegangsaan Dua untuk diolah oleh ibu-ibu PKK.
Seusai diolah, makanannya dibagikan sebagai makanan tambahan bagi anak balita penderita tengkes. Karena itu, hubungan baik antara gereja dan masyarakat sekitar terus terjaga, tanpa melihat suku, ras, dan agama.
Lurah Pegangsaan Dua Vera Fitria membenarkan bahwa ikan hasil panen gereja dibagikan kepada warga Kelurahan Pegangsaan Dua. ”Benar, jika gereja panen, ikan akan diberikan kepada kami untuk penanganan anak balita stunting yang ada di Kelurahan Pegangsaan Dua. Dan, untuk lelenya, diolah warga menjadi abon dan nuget lele,” kata Vera.
Menurut Vera, hubungan baik gereja dengan warganya selalu dijaga dan dirawat.
Ekoenzim
Selain urusan kebun sayuran, di lahan itu Nila Sari juga membuat ekoenzim dari sampah organik kulit buah dan sayuran. Ia memulai tahun 2020 seusai mengikuti sebuah webinar.
Nila dan teman-temannya pun mulai membuat ekoenzim dengan mencari sampah organik dari sisa-sisa dapur anggota. Berikutnya, ia pun ”memulung” sampah organik ke penjual sayur, buah, rujak buah, atau warung makan.
”Ekoenzim kami manfaatkan untuk pestisida dan ampasnya untuk pupuk di kebun kami. Hasilnya membuat tanaman di kebun jadi lebih subur,” kata Nila Sari.
Selain itu, ekoenzim tersebut juga bisa dijadikan sampo alami, penyerap udara kotor, penyegar ruangan, obat oles untuk gatal/eksim kulit, atau untuk disinfektan.
Sejak itu Nila terus menjadi bagian dari kampanye memilah dan mengolah sampah sendiri dari rumah, lalu mengubahnya menjadi cairan ekoenzim.
Ia menularkan ilmu bukan hanya di sekitar paroki Kelapa Gading, melainkan juga kepada komunitas di berbagai penjuru DKI Jakarta.
Ekoenzim buatan komunitas Nila Sari juga disumbangkan untuk kepentingan kemanusiaan, misalnya untuk penanganan Covid-19 pada 2021 dan menolong korban banjir besar di Samarinda, Kalimantan Timur, tahun 2021. Cairan ekoenzim digunakan menjadi semacam disinfektan.
”Jika setiap kita bisa memilah dan mengolah sampah, minimal dari keluarga sendiri, mungkin persoalan sampah di muka bumi ini akan terkurangi. Kita bisa jadi bagian untuk mencegah pendidihan global ini terus terjadi,” kata Nila Sari.
Nila Sari tak punya latar belakang pendidikan lingkungan. Ia hanya ibu rumah tangga yang ingin bertanggung jawab dengan tugasnya sebagai seksi lingkungan di gereja. Tugasnya itu ternyata berdampak bagi hidup banyak orang.
Atas aksinya, Nila pernah dianugerahi gelar Ibu Ibukota Awards tahun 2021 bidang lingkungan. Penghargaan ini terselenggara dan diinisiasi oleh Tim Penggerak Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) DKI Jakarta yang bekerja sama dengan berbagai pihak.
Nila pun berharap pemerintah serius menangani sampah dengan membuat aturan mewajibkan memilah dan mengolah sampah sejak dari rumah.
”Ini adalah bumi kita bersama. Jika kita tak mau menjaganya, mau siapa lagi? Dengan cara-cara kecil yang kita lakukan, namun kalau dilakukan bersama-sama, pasti bisa memberi dampak besar,” ujarnya.
Menjaga alam lingkungan bukan semata tanggung jawab mereka yang bekerja di bidang lingkungan. Setiap kita, makhluk yang berjalan di muka bumi ini, punya tanggung jawab sama untuk menjaganya.
Kalau tidak menjaganya, kita mau hidup di mana?
Jika setiap kita bisa memilah dan mengolah sampah, minimal dari keluarga sendiri, mungkin persoalan sampah di muka bumi ini akan terkurangi. Kita bisa jadi bagian untuk mencegah pendidihan global ini terus terjadi.
Nila Sari
Lahir : Bandung, 21 Desember 1972
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Suami : Ignatius Hendra Ariawan
Penghargaan : Ibu Ibukota Awards 2021 (bidang lingkungan)