Udau Kedung, Penutur Ulung dari Long Peleban
Udau Kedung mendedikasikan hidupnya untuk menuturkan kisah dan sejarah kampungnya. Ingatan pria 89 tahun itu masih baik.
’
Di usianya yang ke-89 tahun, Udau Kedung kerap meminta lawan bicaranya untuk mengeraskan suara saat berbicara kepadanya. Kemampuan mendengarnya memang menurun. Namun, kemampuannya bertutur tentang sukunya, Dayak Uma’ Kulit, tak banyak berubah: tetap memukau, naratif, dan sukarela.
Hal itu kami rasakan pada Senin (23/10/2023) sekitar pukul 20.00 Wita. Saat kami berkunjung ke rumahnya di Desa Long Peleban, Kecamatan Peso, Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara, Udau sudah tidur. Anaknya membangunkannya dan menanyakan apakah ia ingin melanjutkan istirahat. Udau memilih untuk menemui tamunya ketimbang melanjutkan tidur atau meminta tamunya datang kembali di keesokan hari.
Kulit Udau sudah mengendur, tetapi tatapannya masih tajam. Rambut pendeknya terlihat memutih dan suaranya sedikit bergetar. Sebagai salah satu sesepuh di desanya, ia fasih bertutur mengenai sejarah kampung yang diwariskan turun-temurun.
”Cerita ini juga saya dapat dari orangtua dulu. Kalau ada cerita yang meleset atau bohong, saya juga ikut mewariskan,” katanya tertawa dengan sejumlah gigi yang sudah tanggal.
Kisah mengenai sejarah kampungnya itu memang tak pernah tertulis. Udau menjadi salah satu yang fasih bercerita dan mengumpulkan cerita itu di kepalanya. Dengan kemampuan itu, kerap kali Udau dikunjungi orang.
Orang-orang itu berasal dari perangkat desa, pemerintah daerah, organisasi nonpemerintah, atau peneliti yang sedang bertugas di kampungnya. Mereka mendengar kisah Udau untuk mengetahui sejarah kampung secara singkat.
Dari ingatan Udau, suku Dayak Uma’ Kulit di Desa Long Peleban punya sejarah panjang kehidupan sampai akhirnya menetap di wilayah saat ini, di pedalaman hulu Sungai Kayan, di antara hutan belantara yang tak tersambung jalur darat dan tak tersambung internet.
Baca juga: Demi Petani Padi Kaltara Tak Lagi Beli Beras
Udau bercerita, leluhur Dayak Uma’ Kulit berasal dari Apau Daah, sebuah wilayah yang Udau pun tak pernah tahu lokasi pastinya. Ia memperkirakan, lokasinya berada di paling hulu Sungai Kayan yang berbatasan dengan Malaysia, dekat dengan Apau Kayan.
Di sana terdapat sosok pimpinan warga bernama Bilung Lung. Dengan berbagai kondisi alam, sumber makanan, dan serangan penyakit, beberapa kelompok akhirnya bermigrasi. Salah satu kelompok itu adalah Dayak Lebu’ Kulit yang juga disebut Uma’ Kulit.
Setelah perjalanan panjang, pada tahun 1905, kelompok tersebut mendiami wilayah di tepi Sungai Kayan yang kini secara administratif bernama Desa Long Peleban. Udau bercerita, dari sejarah panjang itu, terselip kisah seorang anak warga yang dibuang akibat mimpi buruk orangtuanya.
”Pada 1922, orang Long Peleban jadi orang Kristen. Ada perubahan. Meniru perbuatan yang buruk saat dulu tidak bisa. Dalam kitab disebutkan, kasihilah sesamamu manusia, seperti dirimu sendiri,” kata Udau.
Yang baik yang dilestarikan
Sejak saat itu, orang Long Peleban bertemu lebih banyak hal baru. Selain agama, mereka bersentuhan dengan teknologi modern, seperti radio, televisi, hingga sistem kerja di luar berladang yang selama ini mereka lakukan. Pada 1970-an, pemerintah memberi izin hak penguasaan hutan atau HPH kepada perusahaan di dekat tempat tinggal mereka.
Sejumlah warga bekerja di sana. Ada yang menjadi motoris perahu cepat, penebang kayu, hingga penyuplai kebutuhan pokok pekerja. Perlahan, kata Udau, masyarakat Dayak Uma’ Kulit meninggalkan sejumlah kebiasaan lama dan menyesuaikan dengan perubahan zaman.
”Tapi, banyak hal baik yang masih kita pegang. Cara bermasyarakat, cara berkampung, itu yang kita pertahankan dan kembangkan. Cerita leluhur mengajarkan, jangan pandang diri sendiri, tetapi juga saudara dan tetangga,” kata Udau.
Hal itu termanifestasi dalam sejumlah kegiatan di kampung. Ada istilah ave yang bermakna gotong royong. Saat ada salah satu warga kampung yang membangun rumah, seluruh warga kampung yang mampu mesti membantu dengan hal yang bisa dilakukan. Bisa menyumbang tenaga, menyumbang makanan, menyumbang bahan baku, atau meminjamkan perkakas.
Hal lain yang masih dilestarikan dan disesuaikan dengan zaman adalah tradisi nyamat. Ia adalah istilah untuk kegiatan mencari dan mengumpulkan sayur bersama-sama secara sukarela oleh warga kampung. Kegiatan itu dilakukan di hari-hari penting, seperti pernikahan, upacara orang meninggal, hingga pesta usai panen.
Ada pula ramai oasau, pernyataan sukacita dan bersyukur kepada Tuhan setelah masa panen. Di saat itu, semua warga akan berkumpul untuk makan, berdoa, dan mengobrol. Dari kegiatan itu, warga bisa bertemu sesama warga yang biasanya jarang bertemu lantaran sibuk mengurus ladang.
Baca juga: Ironi di Hulu Sungai Kayan: Menara BTS Berdiri, tapi Tak Berfungsi
Di masa itu pula pengetahuan baru dan pengalaman baik mengenai berladang bisa tersebar. Transfer informasi itu bisa bermanfaat dan diterapkan warga lain yang mengalami gagal panen atau ingin menanam komoditas baru di ladangnya.
”Saat ada orang meninggal, warga kampung mesti membantu warga yang ditinggalkan. Jangan sampai keluarganya semakin susah. Warga yang masih hidup mesti meringankan bebannya,” ujar Udau.
Tradisi-tradisi itu, kata Udau, ialah hal-hal baik dari masa silam yang terus dikembangkan saat ini oleh warga Uma’ Kulit di Long Peleban. Udau punya andil untuk menceritakan berbagai kisah yang eksis di sukunya sepanjang ia hidup. Hal-hal itu yang kemudian menjadi opsi bagi generasi yang lebih muda atau penghuni baru di kampungnya.
Kendati mereka berada di pedalaman Sungai Kayan—yang hanya bisa dijangkau menggunakan perahu cepat sekitar lima jam dari Tanjung Selor, pusat pemerintahan Kalimantan Utara—mereka bisa menjalani hidup dari nilai-nilai yang disepakati dan disesuaikan dengan zaman. Mereka punya Udau yang dengan sukarela bercerita dan memberi semacam pertimbangan untuk didiskusikan dan kemudian dilaksanakan.
Dengan dedikasi dan kemampuan bertuturnya, Udau dipercaya menjadi Penasihat Lembaga Adat Long Peleban. Di sisa kemampuan dan usianya, ia dedikasikan ingatan dan kemahiran bertuturnya sebagai kisah yang bisa digunakan untuk kemajuan kampung. Ia berharap, itu bisa menjadi warisan, bisa diteliti, dikembangkan sesuai dengan zaman, dan menjadi laku bagi generasi yang lebih muda.
Udau Kedung
Lahir: Long Lejuh, Kecamatan Peso, Kabupaten Bulungan, 4 Juni 1934
Posisi: Penasihat Lembaga Adat Long Peleban