Ironi di Hulu Sungai Kayan: Menara BTS Tak Berfungsi
Menara BTS di hulu Sungai Kayan, Kalimantan Utara, yang dibangun oleh Kementerian Kominfo, tak berfungsi. Hal ini membuat beragam masalah muncul lantas merugikan warga.
Imbas korupsi pengadaan menara base transceiver station di Kementerian Komunikasi dan Informatika sepertinya berdampak hingga ke pedalaman di hulu Sungai Kayan, Kalimantan Utara. Perangkat desa, anak sekolah, hingga guru mesti berperahu lima jam untuk dapat jaringan internet.
Julia Yati (38) memandu anak didiknya mengangkat kursi dari rumah warga ke gedung baru sekolah mereka, SMP Negeri 01 Satu Atap Peso. Pagi itu, Senin (23/10/2023), Julia dan tiga anak didiknya di kelas VII akan menempati gedung baru yang dibangun Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat di Desa Long Peleban, Kecamatan Peso, Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara.
Tidak banyak siswa yang diajar Julia, hanya tiga orang. Siswa-siswa itu adalah Yoseph (13), Jansen (12), dan Sapri (14). Hanya ada mereka yang berusia sekolah di tingkat itu di sana.
Isi kelas mereka juga minimalis, hanya berisi kursi dan meja. Di ruangan lain, tak ada komputer, internet, atau laptop. Semua seperti menggambarkan keras dan sulitnya tinggal di daerah itu. Bahkan, hanya untuk sekadar datang ke sana saja rumitnya luar biasa.
Hingga kini, tidak ada jalur darat ke desa tersebut. Dari Tanjung Selor, pusat pemerintahan Provinsi Kaltara, desa itu hanya bisa ditempuh dengan perahu cepat bermesin 40 kali tenaga kuda.
Perjalanan dari Tanjung Selor menuju Desa Long Peleban kurang lebih 5 jam dengan menyusuri Sungai Kayan. Biaya paling murah menggunakan perahu cepat itu Rp 500.000 di akhir Oktober 2023.
Di tengah segala keterbatasan, Julia dirundung banyak kendala. Sekadar mengenalkan komputer dan internet saja, ia tidak leluasa.
Baca juga : Cari Cara agar Kaltara Lepas dari Kebergantungan pada Tambang
Pesatnya perkembangan digital di dunia ini tidak terasa sampai ke sana gara-gara tidak ada sinyal internet yang menjembataninya. Jangankan internet, untuk menelepon atau mengirim pesan singkat menggunakan GSM saja tak bisa.
Satu-satunya peranti elektronik yang bisa digunakan di sana adalah televisi, itu pun masih harus menggunakan parabola. Tanpa listrik negara, sumber energi didapat dari genset kampung yang hanya menyala delapan jam dalam sehari.
Harapan sebenarnya datang saat Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) membangun menara base transceiver station atau BTS di Desa Long Peleban. Menara BTS itu dibangun di belakang gedung SD.
Warga keranjingan menggunakan gawai untuk berselancar dengan jaringan 4G. Mereka menelepon, menonton video di internet, dan berkomunikasi dengan keluarga yang tinggal di luar desa. Tapi itu cuma bertahan dua hari. Sesudahnya, tak ada lagi sinyal internet
Julia bercerita, menara itu dikerjakan sepanjang 2022. Di awal 2023, infrastruktur telekomunikasi itu diaktifkan. Selama dua hari, warga keranjingan menggunakan gawai untuk berselancar dengan jaringan 4G. Mereka menelepon, menonton video di internet, dan berkomunikasi dengan keluarga yang tinggal di luar desa.
”Tapi itu cuma bertahan dua hari. Sesudahnya, tak ada lagi sinyal internet,” kata Julia mengeluhkan.
Selain mengajar, Julia juga terkendala membuat laporan administrasi. Sebagai guru berstatus pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK), Julia mesti membuat laporan kinerja harian atau LKH setiap bulan. LKH harus dilaporkan ke sebuah sistem yang membutuhkan jaringan internet bagus.
Fatalnya, jika LKH tak dilaporkan, Julia terancam tidak bisa mendapat tambahan penghasilan pegawai (TPP) Rp 3,5 juta per bulan. Untuk itu, mau tak mau Julia harus berperahu pergi-pulang ke Tanjung Selor setiap bulan untuk mengunggah LKH dengan jaringan internet yang bagus.
”Pakai ongkos pribadi. Karena di sini tidak ada perahu rutin, jadi ongkos bervariasi. Kalau ramai penumpang, bisa Rp 400.000 sekali berangkat. Tapi, kalau cuma saya sendiri yang berangkat, bisa Rp 600.000 bahkan lebih sekali berangkat dari Long Peleban ke Tanjung Selor,” kata Julia sambil menutup wajah dengan kedua tangannya.
Baca juga : Demi Petani Padi Kaltara Tak Lagi Beli Beras
Dengan demikian, setiap bulan Julia harus menyisihkan setidaknya Rp 1 juta untuk ongkos membuat laporan. Akibatnya, uang TPP yang ia terima bersih hanya Rp 2,5 juta per bulan karena harus dikurangi ongkos berperahu dan ongkos transportasi darat.
Setali tiga uang, siswa pun tidak leluasa saat harus setara dengan anak sekolah di daerah yang lebih ideal. Siswa SMP 01 Satu Atap Peso mesti bersusah payah mengikuti Asesmen Nasional Berbasis Komputer atau ANBK, program evaluasi yang diselenggarakan oleh Kemendikbudristek.
Siswa yang mengikuti ANBK harus menuju pusat kecamatan, yakni Desa Peso, sekitar satu jam perjalanan berperahu. Di sana, siswa menumpang internet dan komputer sekolah lain yang sudah terkoneksi internet.
Tidak sampai
Long Peleban sebagai desa yang blank spot juga bikin sulit perangkat desa. Lawing Pu’un (43), anggota Badan Pemusyawaratan Desa Long Pelaban, mengatakan, informasi mengenai penyuluhan dan kunjungan ke desa mereka tak pernah jelas. Biasanya, surat dari Pemkab Bulungan disampaikan dari mulut ke mulut baru sampai Desa Long Peleban.
Saat ada perangkat desa yang berkunjung ke Tanjung Selor, misalnya, mereka memotret surat mengenai pemberitahuan akan ada kunjungan penyuluhan dari Pemprov Kaltara atau Pemkab Bulungan. Surat itu kemudian dikirim ke Desa Peso yang sudah tersedia jaringan internet, meski lambat.
Dari Desa Peso, surat itu akan disampaikan jika ada warga yang berkunjung ke Desa Long Peleban. Jaraknya kurang lebih satu jam berperahu dengan biaya Rp 150.000 sekali jalan. Dengan kondisi tersebut, surat kerap kali tak sampai.
”Sering sekali ada kunjungan untuk penyuluhan atau apa, tapi di desa sepi. Kami ini peladang, setiap hari ke ladang,” kata Lawing tertawa.
Ladang masyarakat dayak di Long Peleban berbeda dengan masyarakat di Pulau Jawa. Ladang mereka jauh dari rumah. Bahkan, untuk menempuhnya harus berperahu.
Ladang Lawing sendiri mesti berperahu sekitar satu jam dari kampung. Desa Long Peleban yang dihuni 260 jiwa itu hanya ramai ketika hari Minggu. Seluruh warga ada di rumah untuk beribadah karena sebagian besar beragama Kristen.
Baca juga : Kaltara Masih Berjibaku Tangani Angka Tengkes Tinggi
Kepala Urusan Keuangan di Desa Long Peleban Santoso mengatakan, tak berfungsinya menara BTS itu selalu menjadi obrolan warga. Warga mengaitkannya dengan korupsi menara BTS 4G Bakti Kominfo. Tahu kabarnya dari siaran berita di televisi, mereka kesal lantaran ikut menjadi korban keserakahan elite di Jakarta.
Kejaksaan Agung mencatat, 16 tersangka dalam dugaan korupsi menara BTS Bakti Kominfo. Kerugian ditaksir merugikan negara hingga Rp 8 triliun. Kasus itu juga menyeret nama Johnny G Plate, eks Menteri Kominfo.
Sebagai aparat desa, Santoso mesti mengatur keuangan untuk laporan aparat desa yang membutuhkan internet. Untuk operasionalisasi perjalanan dinas ke Tanjung Selor, sedikitnya tiga orang wajib melaporkan berbagai hal melalui sistem daring berkala, ada yang setiap bulan, enam bulan sekali, dan seterusnya. Misalnya, laporan keuangan desa dan data terpadu kesejahteraan sosial (DTKS) mesti dilaporkan dua kali dalam setahun.
Kepala desa, kata Susanto, sudah berupaya berkomunikasi dengan kontraktor yang membangun menara BTS di kampungnya. Namun, menara paling tinggi di kampungnya itu tak juga berfungsi.
Saat Kompas berkunjung ke Long Peleban di akhir Oktober 2023, memang tak ada sinyal terdeteksi sama sekali kendati mesin di menara tersebut terdengar menyala.
”Yang mahal, akhirnya, operasional untuk laporan-laporan itu. Hampir Rp 6 juta sekali perjalanan untuk tiga orang. Per orang ongkos perjalanannya kami anggarkan Rp 1,9 juta untuk perahu dan transpor darat di Tanjung Selor,” kata Santoso.
Kondisi di hulu Sungai Kayan ini menjadi potret ironi di saat digitalisasi digadang-gadang pemerintah. Masalah laten korupsi bikin akses komunikasi yang ditunggu itu berujung buntu.
Bca juga : Achsanul Jadi Tersangka Ke-16 di Kasus Korupsi BTS