Demi Petani Padi Kaltara Tak Lagi Beli Beras
Kalimantan Utara masih harus berjuang menuntaskan ambisi swasembada pangan. Cita-cita itu jelas bukan perkara mudah.
Di usia belia, Kalimantan Utara berambisi mandiri memproduksi beras untuk warganya sendiri. Ini bukan perkara mudah ketika petani di sana masih harus membeli beras, dipusingkan dengan hama dan perubahan iklim, serta kerumitan menerapkan cara bertani baru hingga nestapa gagal panen.
Ajang Jalung dengan cepat naik ke perahu cepat berkapasitas tujuh penumpang. Lelaki 67 tahun itu sudah beberapa hari di Tanjung Selor, ibu kota Kalimantan Utara, untuk mengunjungi anaknya.
Siang itu, Minggu (22/10/2023), Ajang sudah tidak sabar ingin pulang ke kampung. Bersamanya, ikut dibawa sejumlah barang, termasuk 50 kilogram beras yang baru ia beli. Panen padi ladangnya tidak cukup untuk kebutuhan keluarga sehingga ia harus membeli ke kota.
Baca juga: Tujuh Desa di Perbatasan Kaltara Teraliri Listrik 24 Jam
Kampung Ajang berada di Desa Long Peleban, Kecamatan Peso, Kabupaten Bulungan. Perjalanan dari Tanjung Selor sekitar 5 jam mengarungi Sungai Kayan dan melewati sejumlah riam ganas. Sampai di rumah, Lafung Kedung (52), istri Ajang, langsung membawa barang pangan itu dengan hati-hati.
Meski Lafung dan Ajang adalah petani dan peladang padi sawah dan padi gunung, mereka tidak cukup memenuhi kebutuhan dari hasil panen di lahan yang mereka garap. Mereka kerap dilanda gagal panen.
”Hujan sering tidak turun. Padi gunung banyak yang gagal (panen),” kata Ajang. Untuk memenuhi kekurangan beras, Ajang mesti membelinya beberapa kali ke ibu kota provinsi. Sekali berangkat, ia bisa menghabiskan Rp 800.000.
Ia biasanya membeli 20 kg beras seharga Rp 300.000 untuk kebutuhan sebulan. Namun, sekarang ia membeli 50 kg beras untuk persiapan masa tanam padi yang biasanya berjalan sekitar sebulan lebih untuk penyemaian, bakar lahan, dan penanaman. Padi itu diperkirakan baru bisa panen Februari 2024.
Masyarakat Dayak Uma’ Kulit, seperti Ajang, secara turun-temurun terbiasa menanam padi gunung dan padi sawah secara bersamaan. Dari dua cara menanam padi itu, mereka hanya perlu memanen satu kali setahun.
Pengalaman Lafung sebagai ibu rumah tangga, dari 1 hektar padi gunung dan 1 hektar padi sawah, seperti yang mereka lakukan selama ini, sudah cukup memenuhi kebutuhan empat anggota keluarganya selama setahun. Dengan catatan, panen bagus dan cuaca mendukung, mereka bisa menghasilkan 130 kaleng gabah kering atau sekitar 1 ton beras.
Bahkan, Lafung masih bisa menyisakan berkaleng-kaleng gabah untuk dijadikan bibit guna menanam padi di musim tanam berikutnya. Sisa beras pun bisa dibagikan kepada keluarga lain.
”Tapi, sekarang musim berubah. Biasanya tanam bulan delapan (Agustus), panen bulan dua (Februari). Tapi, ini sudah bulan sepuluh (Oktober), kami masih ada yang baru menugal karena sebelumnya hujan terus, jadi tidak bisa bakar ladang,” kata Lafung. Menugal adalah membuat lubang di tanah untuk menanam benih.
Seperti masyarakat dayak pada umumnya, membakar lahan merupakan cara termudah membuka lahan pertanian baru bagi Ajang-Lafung. Itu dilakukan dengan cara tradisional dan menggunakan teknik khusus sehingga api tidak merembet ke lahan lain. Sisa pembakaran itu juga dipercaya menyuburkan lahan.
Memang paling cocok buat kami ini panen padi setahun sekali, tetapi perlu dibantu supaya panennya bisa cukup buat makan keluarga seperti orang dulu. Jadi, tidak perlu beli beras.
Defisit beras
Kisah yang dialami Ajang-Lafung baru-baru ini sesungguhnya wajah lama Kaltara. Sejak ditetapkan sebagai provinsi baru pada 25 Oktober 2012, Kaltara sulit lepas dari masalah defisit beras.
Terakhir, Badan Pusat Statistik mencatat, produksi beras Kaltara pada 2022 sebesar 22.507 ton beras. Kendati angka itu meningkat 4.700 ton dari tahun sebelumnya, Kaltara masih defisit 34.260 ton.
Untuk memenuhi kebutuhan sekitar 700.000 warga Kaltara, beras itu didatangkan dari Pulau Sulawesi dan Jawa. Saat itu terjadi, dalam berbagai kesempatan, Pemprov Kaltara menyampaikan ingin mewujudkan swasembada pangan, termasuk beras.
Cita-cita itu dimulai tahun 2023. Targetnya, Kaltara bisa swasembada beras tiga tahun setelahnya atau tahun 2026.
Mula-mula, Pemprov Kaltara memastikan ketersediaan benih padi di sejumlah daerah. Selain itu, ada program pengendalian hama penyakit dan penguatan kelembagaan kelompok tani. Agar kualitas petani meningkat, Pemprov Kaltara ingin menambah jumlah penyuluh pertanian.
Baca juga: Berada di Teras Negeri, Pelabuhan di Pulau Sebatik Dibenahi
Gubernur Kaltara Zainal A Paliwang mengatakan, program bantuan untuk petani lokal itu dilakukan agar hasil panen padi petani optimal dan bisa terserap pasar. Ia mengatakan, hasil panen para petani itu sangat mungkin diserap perusahaan di Kaltara dan sekitarnya.
Ia mengandaikan, jika sebuah perusahaan butuh beras 2 ton per bulan untuk karyawan dan pekerja, para petani di Kaltara mesti mampu menghasilkan padi ratusan ton per bulan. Sebab, kata Zainal, sedikitnya ada 57 perusahaan di Kaltara yang bisa menyerap beras dari petani.
”Tinggal dari petaninya lagi, mampu atau tidak memproduksi padi dalam jumlah besar. Saya sudah bersurat ke Kementerian Pertanian agar ke depan bisa menggelontorkan program untuk petani di Kaltara,” kata Zainal.
Ladang berpindah
Sejumlah program bantuan bagi petani dan peladang itu memang dirasakan warga Desa Long Peleban di hulu Sungai Kayan. Bahkan, pemerintah desa juga membantu untuk membuat saluran irigasi untuk sawah.
Selain itu, warga mendapat bantuan racun hama dari dana desa. Alasannya, sejumlah warga gagal panen akibat hama ulat, rumput, tikus, hingga burung.
Namun, jalan Kaltara memproduksi beras berlebih di tingkat petani masih terjal. Sebab, persoalan masyarakat di pedalaman terlampau kompleks.
Lawing Pu’un (43), peladang dan petani di Desa Long Peleban, misalnya, nyaris setiap tahun membeli beras kendati menanam padi. Selain hama, ada persoalan musim yang berubah dalam beberapa tahun belakangan. Akibatnya, petani gagal panen. Beras untuk makan sendiri pun harus dibeli.
Baca juga: Kaltara Masih Berjibaku Tangani Angka Tengkes Tinggi
Padahal, berdasarkan pengalaman orangtua dan kakek Lawing, mereka tak pernah membeli beras. Warga bisa memenuhi kebutuhan setahun keluarga dalam sekali panen.
Lawing juga bercerita pernah dibawa pemerintah studi banding ke Jawa Timur. Harapannya, ia dan warga lain bisa belajar bagaimana masyarakat di Jawa berhasil dalam menanam padi.
Akan tetapi, menanam padi seperti masyarakat di Jawa yang bisa memanen tiga kali dalam setahun tak bisa diterapkan di kampungnya. Sebab, warga Dayak di pedalaman punya sistem berladang yang jauh berbeda.
Rumah, ladang, dan sawah warga, misalnya, letaknya berjauhan. Ladang Lawing saja mesti dicapai menggunakan perahu ketinting sekitar 15 menit dari rumahnya.
Baca juga: Menggandeng Petambak Rehabilitasi Mangrove Kaltara
Selain itu, ia juga punya beberapa kebun yang ditanami durian, cempedak, petai, gaharu, dan beberapa pohon buah. Itu pun letaknya jauh dari sawah. Lawing mesti berperahu lagi sekitar 10 menit dari lokasi sawah.
Dengan kondisi itu, warga tak bisa fokus ke lahan yang ditanami padi dalam setahun. Mereka harus membagi tenaga dan pikiran untuk lahan lain yang ditanami buah-buahan yang hasilnya untuk dijual.
Tidak jarang mereka harus menginap untuk mengurus kebun. Tentu saja kondisi itu tidak memungkinkan apabila mereka harus menanam padi seperti masyarakat di Jawa yang panen tiga kali dalam setahun.
Selain itu, berbeda dengan karakter masyarakat di Jawa, warga di Long Peleban punya sistem ladang berpindah. Setelah sawah dan padi gunung panen, mereka meninggalkan lahan lama dan membuka lahan baru.
Itu butuh waktu sekitar enam bulan jika harus membuka lahan baru. Setelah lahan baru meremajakan diri secara alami, mereka akan kembali ke lahan itu untuk menanam kembali.
”Memang, paling cocok buat kami ini panen padi setahun sekali, tetapi perlu dibantu supaya panennya bisa cukup buat makan keluarga, seperti orang dulu. Jadi, tidak perlu beli beras,” kata Lawing.
Mendengar kisah para petani dan peladang di akar rumput itu, cita-cita swasembada beras di Kaltara jelas bukan hal mudah. Di usia ke-11, solusi harus dicari agar petani yang menanam padi tak perlu lagi membeli beras untuk dimakan sendiri.