Marinuz Kevin, Musik Pengemas Bait Tradisi
Lantunan berbait daerah yang dibawakan Marinuz Kevin kerap membetot perhatian di sela musik kebanyakan saat berpentas.
Marinuz Kevin (32) memikat generasi muda Nusa Tenggara Timur untuk menyukai tradisi dengan lagu-lagu berbahasa daerah tanpa mengubah esensinya. Penyanyi hiphop, disjoki, dan produser itu membalut lirik-liriknya dengan irama yang mereka gemari.
Ia bersama grup musiknya, Kevin & The Local Elite, memukau penonton Indonesian Music Expo (Imex) di Ubud, Bali, akhir September 2023. Mereka menyanyikan ”Ole O Ina Nona”, ”Eri Rambu Balu”, ”Lewo Ro Piring Sina”, ”Lu’i E”, ”Hadomi O”, ”Bengu Rele Kaju”, dan ”Benggong”.
Sekat-sekat bahasa tak lantas memadamkan hasrat penonton untuk bergoyang. Warga lokal, undangan dari sejumlah kota, hingga turis mancanegara yang awalnya hanya melintas dan menoleh, menari dengan trengginas di pelataran Museum Puri Lukisan tersebut.
”Selamat malam, rahayu selalu. Om swastiastu, salam kebajikan untuk semua. Semoga menikmati musiknya,” kata Kevin untuk menyapa audiens. Dimulai sekitar pukul 20.00, ia beraksi didampingi Putry Moruk, Donal Manuain, Jenny Besin, dan Marlon Supusepa.
Sesekali, Kevin melontarkan pekikan yang saling berbalas dengan rekan-rekannya. Olahan tenun dengan aneka motif khas NTT yang mereka kenakan menyatu dengan lirik-lirik kelokalannya. Selama sekitar 30 menit, penampil-penampil yang berdomisili dan bermusik di Kupang, NTT, itu berdendang.
Di sela Imex 2023, Kevin tak ketinggalan mengungkapkan karya-karyanya yang mengolaborasi dan mereproduksi lagu atau syair adat, baik saat mengobrol santai maupun dengan presentasi. Ia menyuguhkan pelestarian yang berkelanjutan lewat atraksi, agenda budaya, hingga pariwisata.
Kevin memang mewujudkan upaya kolektif dengan membentuk grup musik yang diiringi electronic dance music (EDM). Berbasis pemetaan lokalitas dan kreativitas, ia menaruh perhatian kepada isu-isu literasi budaya, khususnya musik tradisi.
Kevin mendongkrak lagu-lagu daerah yang mulai meredup dengan menyadurnya sesuai selera anak muda. Mereka menyukai lantunan Kevin yang telah bergaung di festival-festival. ”Saya membangkitkan imajinasi sampai semangat milenial dan generasi Z,” ujarnya.
Baca juga : Surip, Pengajar ”String Art” Anak-anak Disabilitas
Kevin & The Local Elite juga terbiasa memakai tenunan yang dijadikan jaket bomber dan baju lengan panjang bertudung atau hoodie. ”Saya bikin sendiri. Kalau cuma pakai baju hitam putih polos, apalagi koreografinya minim, tak akan memikat penonton,” katanya.
Ia berbaur bukan sekadar kongko-kongko, tetapi berdiskusi untuk menjajaki musik yang paling digandrungi mereka. Masyarakat NTT kaya akan budaya-budaya ritual. ”Misalnya, nyanyian dan seruan bersahut-sahutan. Saya lalu melakukan pendekatan bermacam tradisi dengan musik,” katanya.
Edukasi hiburan
Kevin mendapati olahan musik tradisional NTT umumnya digarap paduan suara, minimal organ tunggal dengan seorang penyanyi. ”Tak ada yang salah dengan jenis musiknya, tapi kalau milenial dihibur dengan kibor saja tentu tak menarik. Makanya, saya jadikan EDM,” ujarnya.
Kevin menggubah lagu hingga memproduseri beberapa penyanyi. Kalaupun kontennya dianggap berat, ia mewahanakan musik dengan pop agar akrab telinga anak muda. ”Saya memetakan animo muda mudi NTT, khususnya milenial. Mereka, nih, lagi mikirin beratnya cicilan rumah,” katanya sembari tertawa.
Kevin bersama teman-temannya mewujudkan pula proyek di kelas-kelas untuk mengisi jadwal ekstrakurikuler. Mereka membawakan materi-materi bertema lokalitas dengan konsep edukasi sekaligus hiburan atau edutainment seperti penerapan bahasa daerah untuk membuat lirik dan musik kontemporer.
Ia dan sahabat-sahabatnya belianya juga menarasikan film dan membuat konten-konten stand up comedy atau pelawak tunggal. Kevin kemudian mendapati minat anak-anak usia sekolah dan generasi muda pada umumnya terhadap pengarsipan yang masih minim.
Maka, ia mengungkit nostalgia pendengarnya dengan mulok atau muatan lokal yang dipelajari saat SD. Kevin & The Local Elite berencana merilis album musik tradisi NTT bertajuk ”Mulok Digital” pada akhir tahun 2023 sebagai bentuk dedikasi untuk NTT.
”Dulu, muloknya NTT, tapi anak-anak belajar Sriwijaya atau Jawasentris. Banjir di Jakarta, orang Kupang tahu, cuma belum tentu sebaliknya,” katanya. Tak hendak berlarut-larut soal dikotomi, ia meredam sentralisasi itu dengan Mulok Digital yang berisi 15 lagu.
Kevin mengistilahkan kiprahnya dengan pengarsipan digital lewat budaya bertutur yang dijembatani produk literasi berformat audio dan visual. ”Ini supaya meminimalkan gap kultural, syair warisan leluhur menyatu dengan EDM. Diversifikasi lokalitas, namun adab tetap tak lepas,” katanya.
Hampir setiap kabupaten di NTT direpresentasikan lagu-lagu Kevin dengan latar belakang, karakter, dan bahasa yang berbeda. Tahun depan, ia bahkan berencana meluncurkan album lain dengan muatan-muatan kultur, seperti Toraja, Betawi, dan Ambon.
Baca juga : Torianus Kalami, Dedikasi bagi Budaya Moi
”Dalam bahasa dan format yang lebih mudah diakses selaras dengan zaman, musik tradisi dijadikan penjenamaan pariwisata atau lokomotif pengembangan ekonomi kreatif NTT,” ujarnya. Ia lupa jumlah lagu yang sudah diciptakannya, tetapi mencapai puluhan karya.
Di sela bermusik, Kevin mencurahkan kepeduliannya terhadap NTT dengan mengelola kreator digital eastnusatenggara.id yang fokus pada pariwisata dan ekonomi kreatif. Ia juga pemegang jenama minuman Filosopi Timor dan memimpin penyelenggara acara CV Brief NTT.
Butuh suaka
Kevin membulatkan keseriusan menggeluti musik sejak tahun 2005 saat keresahannya untuk mengaktualisasikan diri memuncak. ”Pemicunya sederhana, saya butuh suaka. Saya ingin didengar dan dilihat. Musik jadi ruang alternatif yang bebas segregasi sekaligus medium berkelesah,” katanya.
Kevin mengemas bahasa daerah seraya sesekali menyisipkan bait-bait Indonesia dan Inggris. Ia meyakini tuturan setempat dengan keunikan intonasi dan dialek sangat efektif mengisi relung-relung pikiran pendengarnya untuk mengusung pengetahuan budaya NTT.
Kevin mengakui pro dan kontra senantiasa tak lepas dari dinamikanya, tetapi ia tetap melaju dengan format dan bahasa sesuai zaman. ”Saya juga bawa musik tradisi, tapi tak melupakan visual. Baru bawa perangkat DJ (disjoki) saja, sudah langsung mencuri perhatian penonton,” ucapnya diiringi senyum.
Ia tak ketinggalan mengintervensi ruang-ruang publik, mengerahkan media sosial dengan karya-karyanya, hingga mengonsepkan pementasannya. ”Harus detail supaya pandangan tetap terpusat ke panggung. Kalau di pesta, tiba-tiba kedengaran lagu daerah pakai set DJ, kan, memukau,” ujarnya.
Kevin bermimpi menggaungkan bahasa daerahnya lewat festival-festival, macam Djakarta Warehouse Project, Tomorrowland, hingga Electric Daisy Carnival. ”Bayangkan konser di Tomorrowland, tapi pakai lagu-lagu daerah. Keren, kan,” katanya sambil tergelak.
Marinuz Kevin
Nama asli: Kevin Arnoldus Haryanto Marinus
Lahir: Dili, Timor Leste (minta tidak disebutkan tanggalnya)
Pendidikan :
- SDK St Yoseph IV Kupang, NTT
- SMP Negeri 1 Kupang, NTT
- SMA Negeri 3 Kupang, NTT
- S1 Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Terbuka Kupang, NTT