Torianus Kalami membuka cakrawala berpikir anak-anak muda Moi di Malaumkarta Raya, Sorong, Papua Barat. Egek, kearifan lokal menjaga lingkungan, dilestarikan.
Oleh
ANTONIUS PONCO ANGGORO, MOHAMAD FINAL DAENG, FRANS PATI HERIN
·7 menit baca
Tak ingin sejarah dan budaya suku Moi hilang ditelan zaman, perlahan demi perlahan, Torianus Kalami (46) membuka cakrawala berpikir anak-anak muda Moi, di Malaumkarta Raya, Kabupaten Sorong, Papua Barat Daya. Kearifan lokal Moi untuk menjaga lingkungan hidup, yakni egek, berhasil dilestarikan. Lebih dari itu, sebuah festival digelar di bumi Moi untuk menggapai tujuan yang lebih besar. Buah dari mimpi dan ikhtiar panjang selama sekitar dua dekade.
Setelah satu tahun, egek akhirnya dibuka awal Juni lalu. Ditandai larung ke laut sejumlah hasil bumi dari tanah suku Moi disertai doa kepada leluhur Moi, masyarakat Malaumkarta Raya (terdiri dari lima desa: Malaumkarta, Suatolo, Sawatut, Malagufuk, dan Mibi) kembali diperbolehkan untuk berburu lobster, teripang, dan lola atau kerang. Namun, berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, kali ini tradisi turun-temurun suku Moi tersebut coba diangkat melalui sebuah gelaran festival.
Festival Egek namanya. Selama empat hari, 5-8 Juni 2023, festival tersebut digelar di Desa Malaumkarta, Distrik Makbon, Kabupaten Sorong. Sebuah desa pesisir yang berjarak sekitar 40 kilometer atau dua jam perjalanan dengan mobil dari Kota Sorong.
Egek merupakan tradisi masyarakat setempat untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup. Dalam egek, sejumlah jenis sumber daya alam dilarang dieksploitasi oleh siapa pun dalam rentang waktu tertentu atau antara enam bulan hingga satu tahun. Rentang waktu ini dibuat agar sejumlah sumber daya alam mempunyai kesempatan untuk berkembang. Dengan kata lain, tidak dieksploitasi berlebih hingga melampaui kemampuan sumber daya alam untuk meregenerasi.
Egek biasa diterapkan pada sejumlah sumber daya alam yang strategis bagi masyarakat, di laut, sungai, ataupun di darat. Di laut, misalnya, tiga jenis ikan menjadi sasaran egek, yakni lobster, teripang, dan lola atau kerang. Adapun di darat diterapkan pada sejumlah tanaman, seperti kelapa dan sagu. Di sejumlah sungai yang mengalir di Malaumkarta Raya, egek biasa diterapkan pada udang.
Tak hanya melarang jenis-jenis sumber daya alam tertentu, egek di sungai dan laut berlaku pula untuk alat tangkap yang digunakan. Tidak boleh, misalnya, menggunakan jaring, apalagi bom dan racun. Alat tangkap yang digunakan sepenuhnya adalah alat tangkap tradisional sehingga tujuan mencegah eksploitasi berlebih dapat dicapai. Bahkan, dalam perkembangannya, sejumlah sumber daya alam tak bisa ditangkap karena masih dalam tahap pertumbuhan atau berkembang biak.
Menyadari pentingnya nilai-nilai konservasi yang terkandung dalam egek bagi keberlangsungan hidup, masyarakat setempat mematuhi larangan yang ada, tak terkecuali masyarakat dari luar Malaumkarta Raya. Namun, jika memang ada yang tak paham dan melanggar larangan, sederet sanksi menanti, mulai dari denda sampai jutaan rupiah hingga ancaman diadukan ke polisi. Hal-hal inilah yang membuat tradisi egek tetap lestari hingga diabadikan namanya untuk gelaran festival dengan tujuan lebih memopulerkan egek dan nilai-nilai konservasi di dalamnya.
Di balik terbangunnya kesadaran masyarakat dan egek yang tetap ditradisikan oleh generasi penerus Moi tersebut, ada andil dari Torianus Kalami. Pria kelahiran Malaumkarta ini sudah sejak lulus dari Universitas Victory, Sorong, menginjeksi anak-anak muda Malaumkarta tentang pentingnya egek dan menjaga kelestarian lingkungan hidup di Malaumkarta Raya.
”Pemuda adalah tulang punggung. Dengan membangun kesadaran pada pemuda, mereka akan menjadi penggerak untuk memastikan egek dan kelestarian lingkungan hidup tetap terjaga. Lebih dari itu, mereka bisa menjadi motor yang membangun kesadaran masyarakat lainnya,” ujarnya.
Bahkan, untuk lebih memastikan target itu tercapai, ia membuat Perkumpulan Generasi Muda Malaumkarta pada 2007. Secara berkala, mereka bertemu, mendiskusikan segala hal terkait dengan pentingnya egek dan menjaga egek tetap lestari. Hingga akhirnya, kesadaran anak-anak muda terbangun. Kesadaran itu ditularkan kepada keluarga, tokoh masyarakat dan adat, generasi yang lebih tua, hingga generasi yang lebih muda sampai akhirnya sejak usia lima tahun, anak-anak Malaumkarta disebutnya sudah mengetahui ada satwa yang tak boleh ditangkap.
Kesadaran itu pula yang mendorong anak-anak muda Malaumkarta memastikan egek yang berlaku dipatuhi semua pihak. ”Anak-anak muda inisiatif bergantian berpatroli di pesisir. Ada yang melakukan ini sambil mencari ikan. Jika dilihat ada perahu nelayan menangkap ikan di wilayah yang di-egek, spontan mereka akan mendatangi perahu tersebut,” kata Torianus.
Tak cukup berhenti di situ. Bersama dengan Perkumpulan Generasi Muda Malaumkarta, penguatan legalitas atas egek intens didorong. Peluang ini menjadi lebih terbuka ketika ia terpilih sebagai anggota DPRD Kabupaten Sorong 2014-2019.
Hasilnya, pada 2017, terbit Peraturan Bupati Sorong Nomor 7 Tahun 2017 tentang Hukum Adat dan Kearifan Lokal dalam Pengelolaan dan Perlindungan Sumber Daya Laut di Malaumkarta. Di dalamnya diatur sembilan jenis biota laut yang dilindungi, tiga jenis biota laut yang di-egek, hingga tiga jenis alat tangkap ikan yang dilarang yakni jaring, bahan peledak, dan racun sianida, potas, serta obat-obatan lain yang mengandung racun. Tertera pula sanksi yang bisa dijatuhkan jika larangan itu dilanggar.
Kemudian, belakangan, dibantu sejumlah lembaga swadaya masyarakat yang masuk ke Malaumkarta Raya, seperti Econusa dan Yayasan Konservasi Alam Nusantara, egek coba diperluas.
Egek di hutan, misalnya, melarang alat penangkapan seperti senapan angin dan senjata api. Egek juga melarang penangkapan sejumlah satwa, seperti burung, ular, kanguru pohon, serta berbagai jenis anggrek.
Adapun di laut, egek coba diterapkan pada sejumlah satwa yang masih dalam pertumbuhan atau tengah bertelur. Teripang sebagai contoh, yang bisa diambil hanya yang panjangnya lebih dari 15 sentimeter, dan lobster yang tengah bertelur atau berukuran kecil tak boleh ditangkap.
Dari kerja sama dengan sejumlah LSM itu plus perguruan tinggi dan perangkat pemerintah daerah, terpetakan pula sekitar 12.600 hektar wilayah darat Malaumkarta Raya. Peta mencakup kondisi kesehatan hutan, biodiversitas, serta zona yang bisa dikelola ataupun masuk kawasan konservasi.
Buah dari ikhtiar menguatkan konservasi tersebut, Malaumkarta Raya kerap menjadi percontohan bagi daerah lain di bumi Papua hingga Maluku yang ingin membangun area konservasi.
Namun, Torianus belum puas dengan capaian itu. Ia mencoba menggapai mimpinya yang lain, yakni mewujudkan ekowisata di Malaumkarta Raya. Realisasi dari mimpi ini setidaknya sudah terlihat.
Saat Kompas berkunjung ke Malaumkarta, sejumlah pemuda setempat piawai menawarkan pesona alam di wilayahnya. Melihat burung cenderawasih di belantara hutan Malaumkarta, misalnya, atau menyeberang ke Pulau Um, pulau kecil di seberang Malaumkarta, untuk melihat burung camar dan burung hantu bergantian terbang menjelang matahari terbenam, hingga mengajak menyelam untuk melihat keasrian terumbu karang dan beragam satwa yang hidup di antaranya. Dari jasa pemandu, para pemuda bisa meraup penghasilan tambahan selain profesi utama sehari-hari sebagai nelayan atau petani.
Festival Egek yang untuk pertama kali digelar menjadi langkah lanjutan untuk merealisasikan mimpi menghadirkan wisatawan di Malaumkarta. Akomodasi penunjang pun diupayakan seiring dengan tujuan itu, seperti menyulap 30 kamar di rumah warga menjadi tempat penginapan bagi pengunjung.
Namun, tujuan mendatangkan wisatawan itu hanya satu dari setumpuk tujuan digelarnya festival. Yang tak kalah penting, festival menjadi jalan agar egek beserta sejarah dan budaya Moi lainnya dikenal lebih luas, tak sebatas generasi penerus Moi. Ini mengapa dalam festival itu digelar pula sejumlah acara untuk mengangkat sejarah dan budaya Moi. Di antaranya lomba bercerita dengan bahasa Moi, lomba tarian adat suku Moi, lomba identifikasi nama burung dan ikan dengan bahasa Moi.
”Kalau dihitung ke belakang, bisa dibilang butuh waktu kerja-kerja selama 20 tahun untuk mengangkat budaya Moi hingga akhirnya bisa digelar festival ini. Sekarang kami tak ingin berhenti di gelaran festival pertama ini. Kami ingin festival rutin digelar setiap tahun. Kami juga merencanakan membuat buku yang mengupas tuntas soal Moi. Kami pun bermimpi area Malaumkarta Raya menjadi laboratorium penelitian untuk konservasi,” ujar Torianus.
Sederet mimpi telah tergapai. Mimpi lainnya menunggu diwujudkan. Setidaknya kerja-kerja selama dua dekade ke belakang menunjukkan tak ada yang tak sulit untuk bisa mewujudkan mimpi.
Torianus Kalami
Tempat, Tanggal Lahir: Malaumkarta-Sorong, 13 Februari 1977
Pendidikan Formal:
•S-1 Administrasi Publik (2022) Universitas Victory Sorong
•Mahasiswa Aktif Program Pascasarjana Antropologi Uncen (sekarang)
Pengalaman Organisasi:
•Sekretaris Forum Komunikasi Generasi Muda Moi Sorong (2004-2006)
•Wakil Ketua Biro Pendidikan dan Penelitian, Lembaga Masyarakat Adat Malamoi Sorong (2008-2013)
•Biro Pendidikan dan Litbang Lembaga Masyarakat Adat Malamoi (2010-2013)