Minikino Setelah Dua Dekade
Meskipun berganti kepengurusan, umur panjang Minikino adalah hasil dari semangat kolaborasi Edo, Cika, dan Birus.
Dengan segala riwayat jatuh bangunnya, film pendek selalu bisa menemukan tempat berlabuh di Minikino. Berdiri sejak 2002, Minikino menjadi organisasi pertama di Tanah Air yang fokus pada film pendek. Perjalanannya mencapai usia 21 tahun tak lepas dari peran tiga orang di baliknya, yaitu Edo Wulia, I Made Suarbawa alias Birus, dan Fransiska Prihadi atau Cika.
Terik mentari pagi menyapa sebuah lorong kecil, tepatnya di Jalan Pulau Madura, Denpasar, Bali, Rabu (20/9/2023). Bagi mata orang awam, tampilan jalan itu biasa saja. Bangunan seperti ruko mengelilingi, gerobak-gerobak makanan berdiri di pinggiran jalan, dan pasar ramai di pojokan.
Di antara pemandangan itu, pegiat film pendek berkumpul di sekitar Mash Denpasar. Di bangunan itulah Yayasan Kino Media atau Minikino berkantor sekaligus lokasi utama Minikino Film Week (MFW) 9 berlangsung.
Beruntung hari masih pagi. Setidaknya Edo dan Cika bisa meluangkan waktu untuk berbagi kisah tentang Minikino sebelum tenggelam dalam hiruk pikuk MFW 9. Birus terlambat bergabung lantaran mesti bertemu klien.
Baca juga : Trauma, Kritik, dan Suara Generasi Muda
Tak mudah merangkum perjalanan dua dekade Minikino dalam wawancara dua jam. Jika menilik sejarah, Minikino lahir dari inisiatif Tintin Wulia, Kiki Muchtar, dan Judith Guritno. Pada masa itu, Tintin baru pulang setelah belajar film scoring di Berklee College of Music, Amerika Serikat. Sebelumnya, dia adalah alumnus arsitektur di Universitas Katolik Parahyangan, Bandung.
Sempat di Jakarta lalu pulang ke Bali, Tintin bersua kembali dengan dua sahabat sesama alumnus Unpar. Namanya anak seni, tercetuslah ide untuk membuat komunitas tempat seniman Bali berkumpul guna bertukar ide. Ada pematung, pelukis, pemusik, termasuk pembuat film.
Pelan-pelan, yang menguat justru dari sisi film karena seniman lain kadang berhalangan hadir. Tidak hanya pembuat film lokal, bahkan teman-teman dari komunitas film dari luar negeri, seperti Jerman, ikut mengirim karya fisik untuk screening film dalam format VHS.
”Itu kemudian dirasakan oleh tiga pendiri ini bahwa kami perlu membuat kine klub. Klub menonton film dan ini film pendek. Mereka sadar bahwa format film pendek di Indonesia pada saat itu secara ironis tidak terlalu populer,” kata Edo, kakak Tintin.
Pascareformasi, ribuan film pendek semakin bebas dan banyak diproduksi. Kemajuan teknologi juga membantu kemudahan membuat film. Sayang, citra yang terbentuk adalah film pendek sering dikaitkan sebagai film indie. Padahal, mereka berbeda. Film pendek punya ekosistem sendiri.
Miskonsepsi itu turut membuat geliat film pendek Indonesia luput dari radar internasional. Dari perspektif itulah Minikino mendeklarasikan diri untuk fokus pada film pendek. Ketiga pendiri itu juga membuat desain utama organisasi.
Awal perancangan Minikino adalah sebagai kantor virtual di dunia maya. Namun, seiring waktu, Minikino menemukan bentuknya di mana sosok-sosok penting datang dan pergi silih berganti. Pada 2017, Yayasan Kino Media resmi berdiri. Di yayasan ini, Edo menjabat sebagai pembina, Birus sebagai ketua, dan Cika sebagai sekretaris.
Beri ruang
Tiga sosok penting di balik Minikino, yakni Edo Wulia (kiri), I Made Suarbawa alias Birus (kanan), dan Fransiska Prihadi atau Cika (tengah), saat ditemui di Denpasar, Bali, Rabu (20/9/2023).
Tulang punggung Minikino adalah Minikino Monthly Screening & Discussions (MMSD) yang berlangsung sejak 2002. Sesuai namanya, kegiatan ini mencakup acara pemutaran film diiringi diskusi film. MMSD tidak hanya berlangsung gratis di Bali, tetapi ada juga yang berlangsung di Jawa hingga Sumatera.
Minikino terus berevolusi. Sejak 2015, organisasi ini menggelar festival film pendek tahunan berskala internasional, Minikino Film Week. Kisah di balik perhelatan MFW sebetulnya sedikit pragmatis. Minikino mempunyai beberapa wadah pemutaran film, termasuk Indonesia Raja untuk film Indonesia dan S-Express untuk film Asia Tenggara, untuk tayang setiap bulan. Namun, jumlah film yang masuk terus bertambah.
Minikino jadi kebanjiran program film. ”Ya, sudah kita buat festival saja agar semua film itu bisa kita putar selama seminggu. Niat untuk membuat festival sebetulnya juga sudah ada rancangannya sejak 2004, tetapi tidak pernah diimplementasi,” ujar Edo sambil tersenyum.
Dengan segala keseruannya, perhelatan MFW sempat tersandung akibat pandemi Covid-19 yang penuh ketidakpastian. MFW akhirnya tetap berjalan selama tiga tahun secara hibrida setelah Edo, Cika, dan Birus melewati proses panjang sesuai aturan berlaku.
Ya, sudah kita buat festival saja agar semua film itu bisa kita putar selama seminggu.
Memasuki tahun kesembilan, perhelatan MFW 9 berlangsung selama 15-23 September 2023. MFW 9 menerima 1.111 film pendek dari 83 negara di seluruh dunia. Sebanyak 183 film dari 67 negara, termasuk Indonesia, lolos seleksi akhir untuk berkompetisi dalam International Competition Awards 2023. Sebanyak 5.033 penonton hadir meramaikan acara ini.
Di Indonesia, memang banyak festival film hadir, termasuk untuk film pendek. Akan tetapi, ada yang sudah tidak aktif, ada yang hanya berskala daerah atau nasional, ada yang fokus pada genre tertentu, atau ada juga yang mencampur dengan film panjang. Kehadiran MFW tentu memberi napas baru bagi film pendek.
Dari MFW, rekam jejak sineas lokal di dunia internasional semakin tepercaya. Beberapa sineas yang mengikuti MFW 9 kini melanjutkan perjalanan ke festival internasional lainnya, seperti Blue Poetry (2023) karya Muhammad Heri Fadli telah tayang di Show Me Shorts Film Festival, Selandia Baru.
Sejumlah sutradara kondang era sekarang juga pernah menampilkan karya di berbagai acara Minikino. Beberapa di antaranya Edwin, Sidi Saleh, Ariani Darmawan, Dennis Adhiswara, dan Angga Dwimas Sasongko.
”Kalau berbicara dampak, Minikino memberi ruang bagi pembuat film untuk memutar film mereka. Kami menjadi salah satu elemen yang ikut membuat jangkauan film mereka lebih luas,” tutur Birus.
Tiga kepala
Seiring waktu berlalu, keterlibatan pendiri Minikino memudar. Ada yang pindah luar kota, bahkan luar negeri. Tongkat estafet penerus sekarang dipegang oleh Edo, Cika, dan Birus. Keterlibatan mereka di awal organisasi pun bermula sebagai penonton film.
Pada awal Minikino berdiri, Edo sebetulnya masih menjadi musisi. Alumnus Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta ini sibuk main musik di kafe dan nongkrong bersama sesama musisi. Dia baru aktif bergabung setahun setelah Minikino berdiri lantaran merasakan keseruan ikut mendampingi tamu dari Jerman.
”Saya melihat orang-orang di film pendek itu sangat inspiratif. Mereka tidak takut bermimpi besar dan ketika dihantam kenyataan, mereka tidak melupakan mimpi. Mimpinya dikerjakan dari hal-hal kecil dan itu adalah karakter khas film pendek,” kata Edo.
Birus malahan bergabung di Minikino beberapa bulan lebih dulu dari Edo. Birus adalah anak STM bidang elektronika di Bali yang bekerja di hotel dan restoran baru terjun ke industri media. Setelah itu, Birus menggeluti produksi film.
Sementara Cika, saat itu masih menjadi anak Ibu Kota. Bekerja sebagai arsitek, Cika lalu mendapat kerja di Bali pada 2004. Dia sebetulnya telah mendapat kontak Tintin dari teman arsitek alumnus Unpar, tetapi tidak punya waktu untuk menghubungi. Baru pada 2007, Cika membuat kegiatan Soup Chat sebagai tempat bertukar ide dengan sup sebagai makanan pembuka.
Baca juga : Film Karya Sineas NTB Diapresiasi di Festival Film Internasional
Di situlah Cika bertemu Edo. Keduanya langsung berkawan yang berakhir dengan pernikahan pada 2008. Namun, Cika baru betul-betul terlibat di Minikino lima tahun kemudian. Dia menjadi koordinator proyek My Life My Dreams. Proyek ini adalah kegiatan lokakarya dan kompetisi film yang melibatkan Jönköping, Swedia dan Denpasar, Bali, Indonesia.
Melihat perjalanan mereka, ada masanya kiprah tiga orang di Minikino ini datang dan pergi. Akan tetapi, mereka selalu kembali. ”Aku masuk, Tintin pergi. Edo masuk, lalu pergi lagi. Aku juga pergi, terus Cika datang membantu, dan seterusnya. Aku sendiri mulai aktif lagi pada tahun 2013 setelah vakum beberapa tahun karena mengurus anak dan merawat ibu sakit,” kata Birus.
Di yayasan dan festival, Edo, Cika, dan Birus mengemban tugas berbeda, tetapi saling mengisi. Edo menjaga jalan organisasi, Cika adalah ”duta besar” Minikino di lingkup internasional, sedangkan Birus mengingatkan Minikino untuk tetap membumi lewat kegiatan komunitas. Ada kalanya susah bagi tiga kepala ini untuk bersatu. Maklum, gaya mereka berbeda.
Sebagai orang seni, pendekatan ide Edo bisa dibilang abstrak. Cika dengan latar belakang arsitektur berpikir secara konstruktif, struktural, dan logis. Lalu Birus adalah tipe kalkulatif demi mendapatkan hasil konkret.
”Kami ibarat mobil. Edo itu kayak gas, aku itu rem, dan Birus ibarat kopling. Kami berusaha untuk selalu meeting lebih dari dua orang dan lebih banyak diskusi sambil memberi argumen,” kata Cika yang disambut tawa ketiganya.
Kami ibarat mobil. Edo itu kayak gas, aku itu rem, dan Birus ibarat kopling
Namun, ketiganya sepakat. Eksistensi Minikino awet berkat karakter Minikino yang kolaboratif, terbuka, dan setara. Saat festival, misalnya, mereka turut menayangkan film di desa-desa. Pelaku UMKM di sekitar acara juga mengecap untung karena diajak terlibat.
Selain itu, banyak orang membantu Minikino dari jauh. Dari Jakarta, produser Ursula Tumiwa alias Ula selalu membantu dalam mencari pendanaan dan kemitraan, seperti dengan Grab dan Lumix-Panasonic untuk MFW 9. Bahkan, orang-orang yang pernah terlibat di Minikino pun selalu siap sedia walaupun sudah sibuk masing-masing.
”Mereka tidak pernah lepas begitu saja dan bantuan mereka itu tidak melulu bisa dihitung dengan angka. Ada sebuah spirit yang terbentuk selama puluhan tahun ini yang mencerminkan budaya sinema, yakni kolaborasi,” kata Edo.
Bagi Edo, Cika, dan Birus, Minikino harus tetap ada walaupun mereka sudah tidak ada. Sebab, film pendek adalah salah satu fondasi industri film. Panjang umur, Minikino.
Tiga sosok penting di balik Minikino, yakni Edo Wulia (kiri), I Made Suarbawa alias Birus (tengah), dan Fransiska Prihadi atau Cika (kanan), saat ditemui di Denpasar, Bali, Rabu (20/9/2023).
Edo Wulia
Lahir: Semarang, 30 September 1970
Jabatan: Pembina Yayasan Kino Media dan Direktur Festival Minikino Film Week
Fransiska Prihadi
Lahir: Bandung, 22 Desember 1979
Jabatan: Sekretaris Yayasan Kino Media dan Direktur Program Minikino Film Week
I Made Suarbawa
Lahir: Jembrana, 13 April 1980
Jabatan: Ketua Yayasan Kino Media dan Direktur Festival Keliling Minikino Film Week