Film Karya Sineas NTB Diapresiasi di Festival Film Internasional
Film-film pendek karya sutradara asal Nusa Tenggara Barat berhasil tampil dan mendapat apresiasi pada berbagai festival film internasional.
Oleh
ISMAIL ZAKARIA
·4 menit baca
MATARAM, KOMPAS — Film-film karya sineas asal Nusa Tenggara Barat tidak hanya unjuk gigi di tingkat nasional, tetapi juga berhasil mendapat apresiasi penonton di festival film internasional. Beberapa film itu di antaranya film berjudul Jamal dan Blue Poetry yang berkompetisi di festival film di Selandia Baru dan film Pepadu yang ditayangkan di Swiss.
Jamal dan Blue Poetry adalah film karya sutradara Muhammad Heri Fadli. Jamal memotret kematian pekerja migran Indonesia nonprosedural atau ilegal. Sementara film Blue Poetry mengangkat tentang masalah sampah di lautan atau berbicara tentang dampak perubahan iklim. Pada Minikino Film Festival Internasional di Bali, Blue Poetry mendapat dua penghargaan.
Film Jamal ditayangkan sebagai film pembuka di Show Me Short Film Festival di Selandia Baru. Awal tahun 2022, Jamal juga ditayangkan sebagai film pembuka di Tampere Film Festival, Finlandia.
”Finlandia dekat dengan kutub utara. Sementara Selandia Baru dekat dengan kutub selatan. Perjalanan film ini tidak bisa diprediksi dan unik buat saya. Membawa saya dari ujung kutub utara hingga selatan,” kata Heri saat dihubungi dari Mataram, Senin (9/10/2023).
Heri menambahkan, Jamal dan Blue Poetry secara resmi masuk untuk ikut berkompetisi dalam festival tersebut. Keduanya diputar dalam Focus Indonesia 1 atau salah satu dari dua program untuk film Indonesia di festival tersebut.
”Focus Indonesia 1 ditayangkan secara fisikal di Hollywood Avondale. Sementara Focus Indonesia 2 ditayangkan secara daring,” kata Heri.
Selain dua film dari Heri, ada lima film pendek lain karya sineas Indonesia yang juga ambil bagian, yakni film karya sutradara dari Makassar, Jakarta, Semarang, dan Yogyakarta.
Heri mengatakan, bisa ambil bagian dalam festival film internasional adalah sebuah langkah besar untuk sinema Indonesia, khususnya NTB dan Lombok.
”Apalagi ada dua film saya di satu festival. Semoga ini jadi penyemangat bagi para sineas lain, termasuk saya, untuk terus berkarya,” kata Heri.
Kebanggaan
Sementara Pepadu mengangkat masalah kemiskinan di Lombok. Film ini berkisah tentang seorang pria yang kembali ke medan laga sebagai pepadu atau pemain yang bertarung dalam kesenian tradisional peresean (adu pukul dengan rotan dengan perisai kulit sapi atau kerbau),
Sutradara Pepadu Ming Muslimin mengatakan, Pepadu ditayangkan di Swiss pada Mikta Film Festival di Jenewa pada September 2023. Festival ini merupakan bagian dari program kerja perwakilan negara anggota MIKTA (Meksiko, Indonesia, Korea Selatan, Turki, dan Australia). Festival ini diselenggarakan oleh Kementerian Luar Negeri bekerja sama dengan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.
Menurut Ming, filmnya terpilih bersama tiga film lain untuk ditayangkan di Swiss, termasuk film dokumenter Maulid Adat Bayan tentang tradisi maulid adat di Bayan, Lombok Utara.
”Ini sebuah kebanggaan bagi para pembuat film. Tidak hanya di Lombok, tetapi juga di daerah lain. Apalagi jika diputar di tingkat nasional, bahkan internasional,” kata Ming.
Menurut Ming, film-film yang berangkat ke Swiss termasuk dalam sepuluh besar Festival Film Bulanan 2022-2023 dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif yang akan berlangsung pada akhir tahun ini. Sebelum menuju ke sana, film-film yang juara di sepuluh lokasi khusus (lokus) dibawa ke berbagai festival, termasuk ke Swiss.
”Dari Pepadu, yang berangkat eksekutif produser dan produser. Alhamdulillah, respons penonton di sana kemarin sangat bagus,” kata Ming.
Selain menjadi penyemangat, kata Heri, pencapaian film-film Indonesia menunjukkan bahwa roh sinema Indonesia tumbuh dari daerah-daerah begitu kuat.
”Film-film yang bicara di dunia internasional banyak tumbuh dari berbagai daerah. Di mana mereka mengangkat cerita lokal di daerah masing-masing,” kata Heri.
Meski demikian, tantangan bagi pengembangan film di daerah seperti NTB masih besar. Butuh perjalanan panjang untuk sampai ke sebuah industri besar.
Menurut Ming, keberhasilan film NTB ke festival internasional memperlihatkan potensi yang besar NTB. Hanya saja, banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan.
”Paling berat adalah dari segi ketersediaan tim atau sumber daya manusia (SDM). Belum semua bagian yang secara khusus (belajar) di sana. Misalnya, kami baru punya sutradara, sound, tetapi yang lain, seperti pencahayaan, editor, dan lainnya, otodidak. Jadi, banyak film yang masih melibatkan orang dari Jakarta untuk pos produksi,” kata Ming.
Selain SDM, kata Ming, segi teknis juga jadi tantangan. Misalnya untuk memenuhi standardisasi platform penayangan film. ”Hal ini balik lagi ke persoalan budget atau anggaran,” kata Ming.
Di samping itu, kata Ming, ruang-ruang bagi para sineas untuk menampilkan karyanya masih terbatas di NTB. Oleh karena itu, ia berharap dukungan dari semua pemangku kepentingan. ”Tidak hanya anggaran, tetapi juga ruang-ruang bagi para sineas yang selalu tersedia. Kalau bisa diwujudkan, saya rasa (pengembangan film di NTB) bisa maksimal,” kata Ming.