Trauma, Kritik, dan Suara Generasi Muda
Pembuat film pendek di Minikino Film Week 9 (MFW9) berbicara tentang banyak hal, termasuk tentang trauma lintas generasi.
Apa yang terjadi pada masa lalu selalu berdampak pada masa kini, bahkan masa depan. Sayangnya, torehan luka yang tak kunjung sembuh dapat mewariskan trauma lintas generasi. Pembuat film muda menyuarakan persoalan itu melalui film-film pendek dalam Festival Film Pendek Internasional di Bali 2023.
Sebanyak 16 film karya anak bangsa masuk sebagai nomine National Competition Award 2023 di Minikino Film Week 9 (MFW9). Diselenggarakan oleh Yayasan Kino Media, festival film ini berlangsung pada 15-23 September 2023 di Denpasar, juga di Kabupaten Badung, Bali.
Film yang masuk daftar nominasi antara lain film fiksi Accidentally Intentional karya Kevin Rahardjo, film animasi I Saw a Ghost, and It was Beautiful dari Bobby Fernando, serta film dokumenter Senandung Senyap (A Sonorous Melody) garapan Riani Singgih. Para pembuat film banyak berbicara tentang hal-hal yang terinspirasi dari cerita personal.
Beberapa sineas membahas tentang keluarga, jender dan seksualitas, kesehatan, cita-cita, dan kesetaraan bagi penyandang disabilitas. Akan tetapi, sebuah benang merah terlihat. Sejumlah sineas bercerita tentang residu trauma karena peristiwa tak mengenakkan di waktu lampau yang sekarang ikut menghantui mereka.
Baca juga : ”Sleep Call”, Perempuan Urban yang Kesepian
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, trauma merujuk pada keadaan jiwa atau tingkah laku yang tak normal sebagai akibat dari tekanan jiwa atau cedera jasmani. Dalam kehidupan sehari-hari, manusia terkadang lupa, beberapa hal tertentu adalah bentuk trauma yang perlu diintervensi. Sebab, trauma itu sudah menjadi bagian dari hidupnya.
Dari Jakarta, pembuat film Amar Haikal (23) mengingatkan penonton soal trauma atas maskulinitas toksik dalam Bising (Chorus of the Wounded Birds). Pantang bagi laki-laki untuk terlihat lemah apalagi cengeng, sama seperti yang Amar lihat pada teman bahkan ayahnya. Bising keluar sebagai pemenang dalam National Competition Award 2023.
Balada kehidupan laki-laki itu Amar persembahkan dengan intens. Dalam film, seorang pemuda bernama Dewo terlihat murung di pinggir jalan saat malam tiba. Setelah mengusap air matanya, pelajar SMA ini beranjak ke sebuah bengkel motor kecil. Di sana, ia bertemu seorang montir yang tengah pusing dengan masalah keluarga.
Setelah berbasa-basi, Dewo menawarkan uang kepada montir itu. Jumlahnya tak seberapa. Dia tak menyebut spesifik apa yang dia mau, yang pasti bukan narkoba. Sang montir menolak halus dan menyuruhnya pulang. Tak menyerah, Dewo membahas tentang ayahnya sehingga si montir merasa iba. Si montir akhirnya mengizinkan Dewo untuk melampiaskan emosi.
”Film Bising bercerita tentang krisis ruang aman untuk laki-laki mengekspresikan diri dan perasaan sehingga mereka butuh metode pelepasan yang tak lazim. Aku terinspirasi dari cerita teman yang suka mengendarai motor dengan knalpot berisik, ternyata dia suka ngebut dan berteriak sekencang-kencangnya,” kata Amar, Selasa (19/9/2023), di Denpasar.
Pantang bagi laki-laki untuk terlihat lemah apalagi cengeng, sama seperti yang Amar lihat pada teman bahkan ayahnya.
Film How Does It Sound dari Medy Mahasena (24) asal Bali turut bersuara soal trauma korban terorisme. Tragedi Bom Bali pertama sebetulnya terjadi saat Medy balita. Seiring bertumbuh, pemuda ini mengamati dampak tragedi yang memakan korban jiwa ratusan orang itu terhadap para penyintas.
How Does It Sound bermula saat seorang mahasiswa, Edy, meminta bantuan komposer bernama Arya untuk mengedit video. Edy banyak menuntut. Meski begitu, proses edit berjalan mulus sampai Arya mulai tampak gelisah. Keringat membanjiri tubuhnya. Edy yang acuh tak acuh tak kunjung sadar. Kegelisahan Arya memuncak sampai dia harus meninggalkan ruangan. Edy pun kebingungan. Dia tak tahu bahwa salah satu efek suara di komputer memicu ingatan Arya tentang peristiwa bom di masa lalu.
”Aku melihat Bali belum betul-betul pulih dari luka tragedi itu karena tak semua hal dibicarakan. Sikap rasis terhadap orang Jawa dan islamofobia juga belum selesai,” ujar Medy yang menggarap film ini tahun lalu.
Selain film-film itu, topik trauma kental terasa pada film Almighty (Mahakuasa) besutan E Kenneth Lisungan dan Itqon Askary yang menyentil pengabaian Tragedi Kanjuruhan pada tahun 2022. Sementara itu, Akedah (The Binding) dari Alessandro Manuel Rustanto mengisahkan peristiwa genosida tahun 1965-1966 dalam balutan agama pada orang yang berkaitan dengan komunisme.
Perspektif muda
Direktur Program MFW9 Fransiska Prihadi mengatakan, film-film pendek nasional tahun ini membawa banyak cerita personal yang menyentil masalah sosial yang belum usai. Satu hal yang menarik, kebanyakan pembuat film untuk nomine nasional berusia 20-30 tahun. Ini menandakan mereka berbicara dari perspektif generasi muda. ”Perbedaan sudut pandang yang mereka hadirkan menjadi penting. Banyak hal yang dilihat tak lagi secara ekstrem dalam warna hitam dan putih,” ujar perempuan yang akrab disapa Cika ini.
Dari segi teknis, Cika melihat film-film pada tahun ini menunjukkan kualitas produksi yang meningkat dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Persiapan mereka matang dari tahap praproduksi, produksi, hingga pascaproduksi meski memang ini membutuhkan dana yang tak sedikit. ”Mereka berada di level fokus membangun karier, bukan sekadar iseng,” ujarnya.
Satu film dengan eksekusi yang mencuri perhatian adalah Blue Poetry besutan Muhammad Heri Fadli (28) yang juga merupakan nomine National Competition Award. Berasal dari Lombok, Nusa Tenggara Barat, Heri mengkritik masalah sampah plastik di laut setelah melihat kondisi sebuah teluk di Lombok pada tahun 2019.
Mengambil sudut pandang nelayan yang disapa Ucup, Blue Poetry banyak bermain simbol bernuansa satire. Ucup bersama nelayan dan keluarga melihat sampah plastik sebagai makhluk laut. Kondom menjadi cumi-cumi, sandal jepit menjadi ikan kakap, jok motor menjelma menjadi ikan hiu.
Keluarga Ucup dengan lahap memakan ”ikan” yang ditangkap. Akhirnya, sampah yang dikonsumsi itu membuat mereka menjadi manusia yang terbuat dari sampah—secara harfiah. Keunikan film itu mengganjar Heri sebagai pemenang Raoul Wallenberg Institute Award di MFW9, kategori nomine lainnya.
”Manusia sampah itu lalu menari dengan tangan terbuka untuk menunjukkan kesombongan kita. Sampah yang dibuang sembarangan, sekecil apa pun, adalah kesombongan manusia yang lalu berkumpul dan lama-lama menjadi besar sehingga tak bisa dikontrol lagi,” katanya.
Penentuan pemenang National Competition Award di MFW9 cukup membuat pening juri asing dan lokal. ”Ada beberapa isu dalam film yang dari kacamata luar dianggap isu besar, orang Indonesia menganggap itu hal biasa. Tapi, saya lega ada banyak film yang mewakili rasa keindonesiaan kita,” kata juri Made Adnyana Ole.
Suara pembuat film muda tentang trauma adalah kritik tentang peristiwa masa lalu. Sebagai ahli waris masa depan, mereka ingin kita selalu mengingat, belajar, dan tidak mengulang kesalahan yang sama.
Baca juga : Film ”Penebusan Dosa” Sang Astronot