Justitia Avila Veda, Intelektual Organik Pembela Korban Kekerasan Seksual
Justitia Avila Veda ingin memberi tahu para korban kekerasan bahwa mereka tidak sendiri. Dia ingin menemani mereka.
Bagi Justitia, setiap perempuan pasti pernah mengalami pelecehan atau kekerasan seksual. Menjadi perempuan di Indonesia adalah penyintas. Dia merasakan hal itu. Oleh karena itu, dia ingin menemani dan membela para korban.
Kesimpulan tersebut muncul, antara lain, berdasarkan penuturan beberapa kawan dia. Banyak sekali dari mereka menyimpan pengalaman pelecehan atau kekerasan seksual serta meminta bantuan Justitia. Untuk itu, dia ingin memperluas akses bantuan di luar lingkaran pertemanan. ”Saya mengerti bagaimana rasanya kebingungan, merasa tidak berdaya, dan merasa kesulitan memproses kejadian pelecehan atau kekerasan seksual,” kata Justitia.
Itu menjadi alasan dia memutuskan untuk iseng ngetweet pada Juni 2020, menawarkan konsultasi hukum gratis bagi korban atau menjadi pendamping korban yang berusaha mencari pencerahan atas apa yang mereka alami.
Ternyata respons publik luar biasa. Dalam 24 jam, ada 40-an aduan via e-mail dan beberapa lainnya via pesan langsung (DM) Twitter. Tidak lama setelah tweet Justitia viral, ada dua pengacara lain yang juga menghubungi Justitia, menawarkan bantuan untuk merespons konsultasi tersebut. Jika DM mereka bertiga digabung, estimasinya bisa 150 DM masuk ke dalam 2 x 24 jam. Banyak yang mengadu dengan asumsi mereka hanya mengetahui bahwa Justitia adalah seorang pengacara. Saat itu dia telah mendampingi satu sampai dua kasus secara pro bono sendiri, Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender (KAKG) belum terbentuk.
Baca juga: Mary Stephens, Cerita dari Pinggiran Sinema Perancis
Nah, mereka amat mempertimbangkan jumlah aduan yang masuk ke DM mereka, serta ditambah saat itu aduan yang masuk didominasi Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) di masa pandemi. Berdasarkan hal itu, mereka merasa memerlukan suatu sistem yang dapat memonitor aduan yang masuk, menjadi standar bagi kualitas konsultasi hukum yang kami berikan, serta memastikan akuntabilitas dari profesi mereka. ”Saat itu kami bertiga mulai set upe-mail sehingga berbagai aduan via DM bisa di pool dan track lebih baik via e-mail,” kata Justitia.
Pada periode awal pembentukan KAKG di tahun 2020, Justitia dan rekan-rekannya menggunakan dana pribadi. Lambat laun, mereka memperoleh donasi dari orang-orang terdekat. Sekarang ini, mereka memiliki divisi kerja sama yang berfokus pada pendanaan dan kemitraan. KAKG telah menjadi badan hukum yayasan sehingga peluang untuk mengakses donor menjadi lebih besar, di samping diwajibkan menjadi entitas yang akuntabel dan transparan.
”Kami melakukan pengelolaan dana berdasarkan SOP yang disepakati oleh seluruh anggota dalam rapat kerja/tengah tahun/akhir tahun. Kami juga akan menerbitkan laporan tahunan, mulai untuk periode kerja 2023 ke depan,” kata Justitia.
Tambah kekuatan
Nah, kembali ke soal pengaduan lewat DM yang bisa diakses lewat e-mail di atas. Simultan dengan hal itu, inisiatif mereka bertiga terus terekspos di media sosial, dan lebih banyak pengacara mengontak untuk menawarkan bantuan. Dengan semakin banyaknya aduan dan minat untuk terlibat, mereka melakukan rekrutmen pengacara atau paralegal pro bono di Oktober-November 2020. Setidaknya ada 10 pengacara atau paralegal terekrut saat itu. Kekuatan mereka bertambah.
Aduan pun terus meningkat. Selama Juni 2022 hingga Agustus 2023, setidaknya sudah ada 465 aduan. Banyak korban yang hanya meminta layanan konsultasi hukum. Sebagian lagi meminta pendampingan hukum langsung, baik dengan mekanisme di dalam maupun di luar pengadilan, dengan hasil yang berbeda-beda.
”Sejauh ini setidaknya sudah ada empat putusan pengadilan atas perkara yang kami dampingi dan dalam 1 kasus, korban berhasil memperoleh restitusi dari pelaku,” papar Justitia.
Justitia menambahkan, KAKG menggunakan pendekatan holistik sebagai pilar dasar. Ini mencakup layanan konsultasi atau pendampingan hukum; rujukan ke mitra untuk pemulihan psikis atau medis; dan rujukan untuk rumah aman. Pendekatan holistik ini muncul dari kesadaran bahwa penyelesaian hukum saja tidak akan sepenuhnya pulih.
Baca juga: Janice Angelica, Bersinar di Busan
Dia mengingatkan hal yang perlu diperhatikan dalam menghadapi kekerasan seksual atau kekerasan dalam rumah tangga. Dalam kasus KDRT, ketika terjadi kekerasan fisik dan korban melakukan pembelaan diri, maka hal tersebut bukan merupakan tindak pidana.
Menjadi korban kekerasan seksual merupakan peristiwa traumatik. Proses pemulihan korban berbeda-beda setiap individu sehingga tidak ada ukuran pasti mengenai hal ini. ”Pulih” juga dapat didefinisikan berbeda-beda. Kekerasan seksual dapat menyebabkan trauma seumur hidup. Untuk sebagian korban, mereka tidak sepenuhnya pulih, tetapi belajar hidup dan berdamai dengan traumanya.
Agensi korban untuk menentukan keputusannya, keadilannya, dan perjalanannya sendiri adalah bagian dari kebangkitan mereka atas kekerasan yang terjadi.
Dalam kasus yang dihadapi Justitia, ada korban yang akhirnya mencabut aduan kepolisian yang KAKG dampingi karena lelah dengan proses yang berkepanjangan (dari pihak aparat penegak hukumnya). Proses hukum sangat mungkin menyebabkan pemulihan semakin berat karena korban diminta untuk terus mengingat dan bercerita. Oleh karena, penyelesaian hukum harus selalu berjalan beriringan dengan pendampingan psikologis.
Peraih penghargaan SATU Indonesia Award dari Astra ini menjelaskan, sikap KAKG dalam menghadapi keputusan pencabutan aduan tersebut adalah menghormati keputusan korban. Perjalanan pencarian keadilan ini adalah milik korban seutuhnya. KAKG ada untuk mendampingi, memberikan informasi, nasihat atau masukan, tetapi tidak pernah untuk membuat keputusan. Apa pun keputusan dalam penanganan kasus akan berdampak langsung bagi korban.
”Agensi korban untuk menentukan keputusannya, keadilannya, dan perjalanannya sendiri adalah bagian dari kebangkitan mereka atas kekerasan yang terjadi,” kata Justitia sembari menambahkan, sebab pada dasarnya, saat terjadi kekerasan, kuasa dan kemandirian korban diambil alih oleh orang lain.
Intelektual organik
Justitia menjadi intelektual organik seperti yang digambarkan Antonio Gramsci, yakni intelektual yang lahir dari dari masyarakat, merasakan deritanya, lalu berjuang membela mereka. Justitia yakin, setiap perempuan di Indonesia pernah mengalami pelecehan atau kekerasan seksual, entah dengan atau tanpa mereka sadari. Dia dan teman-teman terdekat adalah sedikit dari banyak orang yang mengalami dan berusaha pulih dari apa yang kami alami.
”Namun, saya menyadari bahwa saya adalah salah satu yang dibekali privilese terbesar: memiliki latar belakang pendidikan hukum, telah membangun jejaring dalam karier saya, terekspos dengan berbagai kesempatan kolaborasi dan pendanaan,” kata Justitia.
Saya merasa memiliki tanggung jawab moral untuk memanfaatkan berbagai modal dan akses yang saya miliki untuk teman-teman korban yang berjuang sendiri.
Dia menegaskan, dia dan beberapa temannya yang dibekali privilese ini saja masih mengalami kebingungan, kecemasan, dan ketakutan ketika ingin bersuara. Dia tidak bisa membayangkan korban-korban yang bahkan tidak tahu-menahu bahwa apa yang dia alami adalah kekerasan; harus hidup dikelilingi dan bergantung pada pelaku—dalam konteks kekerasan di ranah domestik—sehingga tidak memiliki banyak alternatif untuk membebaskan diri; memiliki kerentanan khusus (kerentanan ekonomi, disabilitas fisik, status pengungsi); dan berbagai faktor penghalang lainnya.
”Saya merasa memiliki tanggung jawab moral untuk memanfaatkan berbagai modal dan akses yang saya miliki untuk teman-teman korban yang berjuang sendiri. Bahkan jika saya tidak menjadi pengacara korban, saya hanya ingin memberi tahu kepada korban bahwa ia tidak sendiri, bahwa saya (sedikit) mengerti dan memahami apa yang mereka rasakan, dan saya ingin menemani mereka menghadapi semua ini,” tegas Justitia.
Justitia Avila Veda
Pendidikan:
2021-2022: University of Chicago Law School, Chicago, Illinois Master of Laws (LL.M.)
2011-2015: Universitas Indonesia, Fakultas Hukum
Penghargaan (antara lain):
- SATU Indonesia Award dari Astra International, Indonesia (2022)
- Penerima beasiswa Indonesia Endowment Funds for Education untuk gelar master di University of Chicago Law School, Jakarta,Indonesia (2021)
- Roundtable participant with President Obama, Jakarta, Indonesia (2017)
- Juara Pertama lomba penulisan esai dalam ajang North Korean Human Rights Week, Indonesia (2014)
- Juara Pertama lomba debat hukum tingkat nasional, Universitas Padjadjaran, Bandung (2013)