Mary Stephens, Cerita dari Pinggiran Sinema Perancis
Mary Stephens adalah penyunting film-film sutradara Gelombang Baru Perancis yang terkenal, Eric Rohmer.
Satu momen penting dalam sejarah perfilman adalah Nouvelle Vague atau Gelombang Baru di Perancis. Sejumlah sineas muda memproduksi film dengan cara yang melawan pakem industri. Dari belakang layar, Mary Stephens (70) ikut dalam petualangan mereka sebagai penyunting film dari mendiang sutradara Eric Rohmer.
Stephens lahir di Hong Kong pada tahun 1953 saat wilayah itu masih menjadi koloni kerajaan Inggris. Sejak kecil, dia sudah familiar dengan film. Ayahnya suka merekam video, sedangkan dia sendiri suka pergi ke klub film. Di situlah Stephens berkenalan dengan film-film Eropa yang berbeda dari film Hong Kong dan Hollywood.
”Saya menonton film-film seperti Hiroshima Mon Amour (1959) karya Alain Resnais dan Jules et Jim karya Francois Truffaut. Mereka berbeda dari segi cerita, fotografi, dan cara karakter mengekspresikan diri dengan bebas,” kata Stephens di sela-sela perhelatan Minikino Film Week 9 di Denpasar, Bali, Selasa (19/9/2023).
Film-film yang Stephens sebutkan ialah film Gelombang Baru dari Perancis. Akhir 1950-an, gerakan ini mengembuskan napas segar ke sinema Perancis yang beringsut jenuh. Sekelompok sutradara muda muncul, sebutlah Jean-Luc Godard, Francois Truffaut, dan Claude Chabrol.
Mereka membuat film secara kreatif dan eksperimental. Buku A History of The French New Wave Cinema (2007) menjabarkan, Gelombang Baru identik dengan produksi film biaya rendah, lokasi shooting di lingkungan sekitar, dan cerita soal anak muda yang spontan, tetapi kompleks. Karya mereka memengaruhi sinema, kritik film, dan teori film serta menyentil neorealisme yang menceritakan realitas lebih apa adanya.
Baca juga: Janice Angelica, Bersinar di Busan
Pesona film Gelombang Baru membuat Stephens bermimpi pergi ke Paris. Perjalanannya bermula ketika keluarganya bermigrasi ke Kanada pada 1968. Politik Hong Kong waktu itu sedang bergejolak hebat. Stephens memulai kehidupan di Montreal hingga berkuliah di jurusan Communication Arts di Concordia University pada 1970.
Dia semakin jatuh cinta dengan Paris ketika sang ibu membawanya mengunjungi Eropa. Alhasil, Stephens mendaftar ke program pertukaran selama setahun di Paris lewat program dari University of Wisconsin, Amerika Serikat. ”Saya pergi sekitar tahun 1977 atau 1978. Begitu tiba, saya mengikuti kelas film Eric Rohmer,” ucapnya.
Rohmer adalah tipikal sineas Gelombang Baru. Dia punya rumah produksi sendiri sehingga sangat ketat soal keuangan.
Rohmer (1920-2010), bernama asli Maurice Scherer, termasuk salah satu tokoh Gelombang Baru. Sepanjang hidup, Rohmer menghasilkan lebih dari 50 film, termasuk Ma nuit chez Maud (My Night at Maud's, 1969) yang masuk nominasi Piala Oscar. Stephens belajar soal film dari Rohmer yang suka membuat film bernuansa realistis dengan sentuhan filosofis.
Rohmer adalah tipikal sineas Gelombang Baru. Dia punya rumah produksi sendiri sehingga sangat ketat soal keuangan. Kru filmnya hanya lima atau enam orang. Apa pun dia lakukan untuk berhemat, termasuk merangkap jabatan, membersihkan lokasi shooting, dan memasak sendiri.
Ketika Rohmer sedang mengerjakan La Femme de l'aviateur (The Aviator’s Wife, 1981), sang sutradara mengajak Stephens menjadi asisten penyunting film untuk Cecile Decugis. Decugis adalah editor film A bout de souffle(Breathless, 1960) yang fenomenal garapan Jean-Luc Godard. Namun, setelah bekerja selama beberapa tahun, Stephens pindah dari Paris ke bagian selatan Perancis untuk berkeluarga.
Tujuh tahun kemudian, Stephens bersama anak-anaknya kembali ke Paris setelah bercerai. Karena Decugis pensiun, Rohmer menawarkannya posisi penyunting untuk film Conte d'hiver(A Tale of Winter, 1992). ”Itu gayanya. Satu prinsip Rohmer adalah uang diperoleh dengan bekerja, jadi dia akan menawarkan pekerjaan dan dia percaya pada kemampuan saya,” ungkap Stephens.
Bekerja dengan Rohmer sama seperti bekerja dengan keluarga. Saat shootingConte d'ete (A Summer's Tale, 1996), misalnya, kru film menceritakan kepada Stephens bahwa Rohmer melarang mereka berpesta layaknya seorang ayah sehingga mereka harus menyelinap keluar. Di masa Stephens menyunting film secara manual, Rohmer ikut bolak-balik membawa pita dari ruang sunting ke mesin di koridor untuk diputar ulang ke awal.
Tumbuh bersama
Stephens menyunting sekitar 10 film feature dan sejumlah film pendek Rohmer, termasukLe Beau Mariage (The Good Marriage, 1982) dan Les Rendez-vous de Paris (Rendezvous in Paris, 1995). Les Amours d'Astrée et de Céladon (The Romance of Astrea and Celadon, 2007) menjadi film panjang kolaborasi terakhir mereka.
Rohmer wafat pada 11 Januari 2010, tepat pada hari ulang tahun Stephens. Waktu itu, Stephens tidak berada di Paris sebab sedang mengajar film di Hong Kong. Namun, dia jadi selalu mengingat Rohmer setiap kali dia berulang tahun.
Saya selalu berpikir akhir Conte d'hiver adalah hadiah dari Rohmer untuk kami.
Bagi Stephens dan rekan-rekannya, Rohmer adalah mentor. Namun, dengan cara masing-masing, Stephens dan rekan-rekannya turut menginspirasi Rohmer tentang kehidupan anak muda. ”Kami akan menemukan ’kepingan’ diri kami di dalam cerita film,” ujarnya.
Tak jarang penonton muda yang baru menemukan film Rohmer kaget bahwa film seperti itu dibuat oleh sutradara berumur. Seiring waktu, karakter film Rohmer tumbuh dewasa. Dalam Conte d'hiver, Rohmer bercerita soal perempuan muda yang menjadi orangtua tunggal. Di akhir film, perempuan itu akhirnya bertemu kembali dengan kekasihnya.
”Ketika kami masih muda, film Rohmer tentang anak muda yang mabuk cinta. Seiring kami mencapai usia 30-an, dia membuat film dengan karakter yang lebih dewasa yang mempunyai anak, sama seperti kami. Saya selalu berpikir akhir Conte d'hiver adalah hadiah dari Rohmer untuk kami,” kata penggemar Maya Deren ini.
Bekerja dengan Rohmer menempatkan Stephens dan rekan-rekan di luar ekosistem industri film Perancis. Stephens terlindungi dari lingkungan yang rasis dan seksis mengingat industri media Perancis belum maju soal isu keberagaman. Ironisnya, hal itu pula yang membuat nama mereka lebih diapresiasi di seluruh dunia ketimbang di Perancis.
Karena itu, Stephens dan rekan-rekannya jarang mendapat tawaran kerja di Perancis. Industri mengira mereka hanya tahu membuat film Rohmer. Bahkan, ada yang pernah bertanya kepada Stephens apakah film Rohmer melalui proses penyuntingan. “Jika saya tidak dilindungi Rohmer, rasanya saya tidak akan mempunyai karier,” kata Stephens.
Baca juga:Jaime E Manrique, Geliat Film Pendek dari Bogota
Namun, Stephens tidak masalah sebab dia sibuk melanglang buana ke Hong Kong, Jepang, dan Kanada. Dia juga sering berkolaborasi dengan sutradara kenamaan Hong Kong, Ann Hui, misalnya untuk film Our Time Will Come (2017) dan Love After Love (2020).
Apresiasi terhadap pekerjaan Stephens di film Rohmer juga terasa dari berbagai sineas muda berbakat di luar negeri. Sutradara film Jepang, Drive My Car (2021), Ryusuke Hamaguchi, bahkan pernah membuat sesi khusus dengan Stephens untuk berdiskusi soal proses penyuntingan film Rohmer.
Stephens sekarang tetap fokus menyunting film sekaligus menggarap film sendiri yang kebanyakan bergaya eksperimental. ”Orang-orang bertanya kepada saya mengapa saya masih mengerjakan film dan mengapa tidak pensiun. Saya menjawab, kita tidak pensiun ketika melakukan hal yang kita sukai,” kata Stephens.
Mary Stephens
Lahir: Hong Kong, 11 Januari 1953
Pendidikan: S-1 Communications Arts di Concordia University (1970-1974)
Film sebagai sutradara:
- Film pendek The Memory of Water atau Jeanne Moreau and Steamed Fish (2018)
- Vision from the Edge: Breyten Breytenbach Painting the Lines (1998)
- Film pendek Justocoeur (1980)
- Film pendek Ombres de soie (1978)