Hermanu, ”Master of Lawasan”
Siapa mau membaca masa depan, dia harus membalik-balik masa lalu.
Dengan mempresentasikan benda-benda lawasan antik dan kuno, Hermanu (68) mewarnai dunia seni rupa kontemporer Tanah Air hingga belum lama ini membuat dirinya disebut sebagai ”Master of Lawasan”.
Kurator Bentara Budaya GP Sindhunata, SJ menyematkan nama telaah tersebut pada saat pembukaan pameran ”Seni Lawasan Hermanu Behind Bentara Budaya’s Books-3 Warna: Art, Vintage, and Heritage”, Selasa (26/9/2023) di Bentara Budaya Yogyakarta (BBY). Demi menegaskan sematannya, Sindhunata berujar, ”Siapa mau membaca masa depan, dia harus membalik-balik masa lalu.”
Sindhunata mengutip pernyataan itu dari novelis terkenal asal Perancis, Georges Andre Malraux (1901-1976). Di sepanjang pengabdian di BBY pada 1982-2015, Hermanu dinilai Sindhunata berhasil membolik-balik masa lalu. Dengan demikian, Hermanu menggenggam pembacaan terhadap masa depan.
Dalam perbincangan dengan Kompas, sehari setelah pembukaan pameran itu, Hermanu mengatakan, dalam rentang 40 tahunan, ia sudah menggelar sekitar 50 acara pameran yang berkaitan dengan produk kebudayaan peninggalan masa lalu. ”Selama sekitar 40 tahun itu pula, bersama rekan-rekan di Bentara Budaya Yogyakarta saya menyusun sekitar 35 buku dan 15 lembar poster pameran benda-benda lawasan,” ujarnya.
Siapa mau membaca masa depan, dia harus membalik-balik masa lalu.
Deretan judul buku itu, antara lain, Pasar Kencrung, Simplex Nganggo Berko, Ilustrasi Grafis Cheng Li, Komidi Putar, Ana Dina Ana Upa, Pawukon 3000, Pasar Ilang Kumandhange-Mletho, Serimpi, Panji dan Bobung, dan Mirong Kampuh Jinggo. Beragam poster antara lain diberi judul, ”Pameran Foto Sepur Kluthuk & Train Modeling-Kereta Malam”, ”Het Tegelhuis-Pernik Pernik Tegel Lama”, ”Pameran Alat-alat Minum Tempo Dulu-Wedang”, dan ”Pameran Seni Grafis Advertenti Merk Enamel Souvenir Tjap Reklame dan Etiket Courant Dagblad”.
Dari itu semua, Hermanu membolak-balik masa lalu, dan seperti dikatakan Sindhunata, tentu dia memiliki pembacaan pada masa depan. Lantas, seperti apa pembacaan Hermanu terhadap masa depan kita?
Ketika ditanyakan hal itu, seraya menunjuk salah satu gantungan cangkir yang antik dari masa Hindia-Belanda di ruang pamer BBY, Hermanu berujar, ”Benda antik yang mungkin sudah berumur ratusan tahun seperti ini sampai sekarang masih bisa berfungsi, masih bisa kita gunakan untuk gantungan cangkir di dapur kita. Benda lawasan nyaris memiliki keabadian.”
Ini menarik. Akan tetapi, bukan itu pembacaannya terhadap masa depan. Hermanu lantas membandingkan dengan berbagai macam jenis produk kekinian yang cepat digantikan dengan yang baru. Produk yang terbilang lama lantas begitu mudahnya dibuang. Inilah yang menjadi pembacaan Hermanu tentang masa depan.
Kita akan memiliki banyak sampah! Dari benda-benda lawasan semestinya kita bisa belajar tentang ketahanan suatu produk untuk jangka panjang.
”Kita akan memiliki banyak sampah! Dari benda-benda lawasan semestinya kita bisa belajar tentang ketahanan suatu produk untuk jangka panjang. Kalau bisa, dalam seumur hidup hanya sekali saja membeli dan memiliki suatu produk yang fungsional. Syukur-syukur malahan nantinya bisa diwariskan ke generasi berikutnya,” ujar pria yang terlahir di Bojonegoro, Jawa Timur, 25 September 1955, itu.
Hermanu mencontohkan, seperti sepeda ontel dari masa Perang Dunia I yang masih banyak juga dijumpai di Tanah Air. Produk sepeda dari masa itu hingga sekarang masih banyak yang tetap berfungsi. Campuran besi dan bajanya membuat sepeda itu tak mudah aus. Sekrup-sekrupnya juga tahan lama.
Hermanu membaca masa depan, banyak persoalan kehidupan yang timbul karena tak mau belajar dari benda- benda lawasan.
Gerabah Bojonegoro
Hermanu bersentuhan dengan seni sejak kecil. Kedua orangtuanya di Bojonegoro berdagang gerabah. Waktu duduk di bangku Sekolah Rakyat (SR), dia sudah mulai membantu orangtuanya membuat karya seni gerabah untuk dijual.
”Kami kulakan gerabah dari Malo, salah satu kecamatan di Bojonegoro. Kemudian saya ikut menambahkan ornamen, misalnya hiasan bentuk wayang Werkudara sedang bertarung dengan ular naga untuk gerabah yang berbentuk kendi,” ujar Hermanu.
Ekor ular naga dibuat melilit leher kendi. Tubuh Werkudara dengan kuku Pancanakanya mencengkeram tubuh naga ditempelkan di tubuh kendi. Patung ini diambil dari cerita Werkudara atau Bima yang ingin mendapatkan air suci.
Untuk membentuk patung Werkudara, Hermanu tak menggunakan tanah liat. Ia membuat bubur kertas untuk membentuk patung Werkudara dan naga, lalu ditempelkan di gerabah Malo tersebut.
Baja juga: Putu Sutawijaya, membangkitkan garuda-garuda bangsa
”Saya membeli kertas dari percetakan terdekat. Kemudian kertas dipotong-potong dan direndam selama dua sampai empat hari, lalu ditumbuk dan dihaluskan, dicampur lem kanji menjadi bubur kertas yang siap digunakan untuk membuat patung,” kenang Hermanu.
Kendi dengan patung pertarungan Werkudara melawan naga inilah yang paling laku. Hermanu mengecatnya dengan cat-cat besi. Ia mengingat, pada tahun 1967-1968 satu kendi buatannya itu bisa laku terjual Rp 1.500. Uang dari penjualan guci bisa untuk membayar biaya pendidikan dan menambah uang jajannya.
Sejak kecil, jiwa seni Hermanu sudah terasah. Suatu ketika saat duduk di bangku SMA di Bojonegoro, Hermanu pertama kali mendapati nilai seni dari benda-benda lawasan. Pada saat itu ia diminta kakaknya yang bekerja di kantor pajak untuk membantu mencarikan benda lawasan di Bojonegoro.
”Di situlah kesadaran pertama saya melihat seni dari benda-benda lama, benda-benda lawasan yang antik dan kuno,” ujar Hermanu.
Hermanu mendapatkan banyak mebel tua asal China. Ini dipengaruhi banyaknya pedagang asal China berlabuh di pesisir Lasem, Tuban, atau Gresik pada zaman dulu. Di antara para pedagang China itu banyak yang membawa mebel asli dari China. Mereka banyak pula yang akhirnya menetap di kota-kota pelabuhan itu hingga ke Bojonegoro.
Baca juga: Kerja di balik layar ala Aiko
”Peranakan China dengan ekonominya yang terus tumbuh itu pada akhirnya banyak mengganti perabotan rumah yang lama menjadi baru. Termasuk mebel-mebel kuno mereka banyak yang dijual,” kata Hermanu.
Dari mebel tua asal China itulah, Hermanu mencintai benda-benda lawasan. Selain itu, aksesori pusaka keris berupa gagang dengan ukiran dan jenis kayu langka juga banyak ditemuinya.
”Ternyata Bojonegoro juga dikenal sebagai tempat pelarian pasukan Pangeran Diponegoro. Mereka banyak meninggalkan aksesori keris itu. Logam kerisnya sendiri banyak yang tergerus dan melapuk,” katanya.
Seni pinggiran
Setelah menuntaskan SMA di Bojonegoro periode 1972-1975, Hermanu mendaftar kuliah di Universitas Airlangga, Surabaya. Akan tetapi, ia gagal diterima dan setahun kemudian mendaftar dan diterima di Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia (STSRI) ASRI Yogyakarta, yang kini sudah berubah menjadi Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta.
”Di ISI Yogyakarta saya mengambil studi di jurusan seni lukis. Pada waktu itu, lulus pertama masih sarjana muda, dan harus ikut bekerja sesuai bidang yang dipelajari selama setahun, kemudian melanjutkan lagi untuk memperoleh gelar sarjana penuh,” ujarnya.
Pada 1979 Hermanu menuntaskan pendidikannya dan meraih gelar sarjana muda. Selama setahun kemudian Hermanu ikut pamannya bekerja membuat taman dengan ornamen terbuat dari semen di Surabaya. Setelah itu, Hermanu kembali lagi ke kampusnya di Yogyakarta hingga lulus sarjana pada 1982.
Tak berselang lama dari kelulusannya, Hermanu diterima bekerja di BBY yang juga baru saja didirikan pada 26 September 1982. Ia mulai ditempa pengalaman bersentuhan dengan benda lawasan lagi.
Pertama kali pada 1983 ia diajak wartawan Kompas, Rudy Badil, ke Madura. Mereka berburu benda lawasan dan mendapatkan, antara lain, benda peninggalan Kerajaan Pamekasan berupa patung kuda sembrani atau kuda terbang. Kemudian gagang-gagang keris dengan ukiran dan jenis kayu langka pula. Selain itu juga topong-topeng kayu Madura.
”Dari sinilah kemudian kami membuat pameran benda-benda lawasan dari Madura di Bentara Budaya Yogyakarta. Kami juga berhasil memboyong penari topeng asal Madura untuk ditampilkan di pameran tersebut,” kata Hermanu.
Selama bekerja di BBY, Hermanu makin larut dengan perburuan benda-benda lawasan untuk didokumentasikan dan dipamerkan di lembaga tersebut. Selain itu, Hermanu juga berusaha menjiwai visi pendirinya, Jakob Oetama, untuk membawa seni-seni pinggiran rakyat kecil serta tradisi-tradisi kerakyatan ke tempat terhormat, seperti BBY.
Hermanu
Lahir: Bojonegoro, 25 September 1955
Pendidikan terakhir : Jurusan Seni Lukis, Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia (STSRI) ASRI, sekarang berubah menjadi Institut Seni Indonesia (ISI), Yogyakarta, 1976–1982.
Pekerjaan: Penyusun buku dokumentasi pameran dan kurator Bentara Budaya Yogyakarta, 1982–2015.
Penghargaan: Pratisara Affandi Adi Karya, 1982
Beberapa pameran:
Seni Lawasan Hermanu Behind Bentara Budaya’s Books – 3 Warna : Art, Vintage, & Heritage di bentara Budaya Yogyakarta (2023)
- Pameran Seni Rupa Gerhana Matahari ”Kala Rahu” di Bentara Budaya Yogyakarta (2016)
- Pameran Seni Rupa Logam ”Goyang Dombreng” di bentara Budaya Yogyakarta (2016)
- Pameran Gramafon & Turntable ”Corong Bernyanyi” di Bentara Budaya Yogyakarta (2015)
- Pameran Foto Sepur Kluthuk & Modelling Train ”Kereta Malam” di Bentara budaya Yogyakarta (2014)
- Pameran Seni Rupa ”Sabdo Palon Noyo Genggong” di Bentara Budaya Yogyakarta (2014)