Kerja di Balik Layar ala Aiko
Aiko menjadi seperti mantra. Begitu pula, kerja Aiko di balik layar mampu mengantar EKI Dance sebagai sebuah perusahaan seni pertunjukan berbasis tari yang eksis sejak 27 tahun lalu hingga hari ini.
Ada kisah menarik dari Aiko Seno Soenoto (57) ketika mencari calon penari untuk Eksotika Karmawibhangga Indonesia atau EKI Dance Company yang didirikan pada 1996 bersama suaminya, almarhum Rusdy Rukmarata (1962-2023). Sebagai Pandita Utama Majelis Nichiren Shoshu Buddha Dharma Indonesia sejak 1993, Aiko berkeliling ke banyak daerah di Indonesia untuk menemui anak-anak muda umat Buddha yang sedang tidak baik-baik saja.
Bertemulah Aiko dengan anak-anak muda yang menjadi pencandu narkoba, mengalami seks bebas hingga hamil di luar nikah, putus sekolah, atau menjadi gelandangan di jalanan. Mereka, di antaranya, berasal dari Makassar, Bali, dan kota-kota besar di Jawa, yang keberadaannya mulai ditolak orangtua masing-masing.
”Audisi dilakukan. Selain mewawancara, saya meminta mereka untuk mengulang contoh gerakan tarian dasar,” ujar Aiko ketika ditemui di sela latihan pentas teater musikal Ken Dedes, Selasa (12/9/2023), di Ciputra Artprenenur, Jakarta.
Dari proses pencarian calon penari EKI Dance waktu itu, akhirnya terkumpul 18 anak muda. Semuanya pemeluk agama Buddha. Mereka pun mau tinggal di asrama, di rumah Aiko di Jakarta.
Baca juga : EKI Dance Company, Menari Senada Perubahan Zaman
Rumah satu lantai Aiko berada di atas tanah seluas 720 meter persegi. Bagian ruang tamu digunakan untuk berlatih menari, sekaligus ketika malam menjadi ruang tidur bagi mereka.
Untuk menutup kebutuhan sehari-hari, Aiko mencari dana dari para donatur. Nama Aiko dicantumkan sebagai Direktur Utama & Pendiri EKI Dance Company, sedangkan almarhum suaminya sebagai Penata Artistik EKI Dance Company. Seperti itu bagian kerja Aiko di balik layar. Rusdy yang bertugas melatih anggotanya untuk menari.
”Rusdy sebelumnya mengatakan, tidak ingin mencari anak muda yang sekadar memiliki hobi menari atau membuat EKI Dance sebagai tempat kursus menari. Saya lalu mengatakan, kalau demikian harus mencari anak-anak yang sedang tidak baik-baik saja, harus mencari anak-anak yang ditolak orang tua mereka,” ujar Aiko, yang memiliki darah Jepang dari ibu dan ayah dari Malang, Jawa Timur.
Aiko lahir dan tumbuh di Jakarta. Ayahnya seorang kontraktor. Aiko di masa kecil sering diajak ayahnya berkunjung ke lokasi yang sedang dibangun untuk perumahan. Areanya tidak hanya di Jakarta, tetapi juga beberapa wilayah di sekitar Jakarta.
Aiko memiliki cerita menarik lainnya. Di masa kecil Aiko beser atau sebentar-sebentar kencing. Ayahnya sering bergurau, Aiko seperti anjing yang suka kencing di mana-mana untuk menandai wilayah teritorinya.
”Karena itulah, ayah sering mengajak saya ke tanah yang sedang dikerjakan, supaya saya menandai wilayah untuk kesuksesan usahanya,” canda Aiko.
Doa ayahnya sering terkabul. Aiko menjadi seperti mantra. Begitu pula, kerja Aiko di balik layar mampu mengantar EKI Dance sebagai sebuah perusahaan seni pertunjukan berbasis tari yang eksis sejak 27 tahun lalu hingga hari ini.
Pertunjukan drama tari berjudul Ken Dedes merupakan pementasan 18 penari EKI Dance untuk pertama kali pada 1996. Drama tari ini tanpa naskah dialog. Ada narator yang diperankan Sujiwo Tejo dan musik digarap Djaduk Ferianto.
Di masa pandemi Covid 19, Aiko melihat keinginan suaminya untuk menggelar lagi pementasan Ken Dedes. Aiko mengusulkan supaya pementasan lebih kolosal. Rusdy menyambut dan mengubahnya dari drama tari menjadi teater musikal Ken Dedes. Naskah atau lirik musikal dibuat Titien Wattimena, seorang penulis skenario yang pernah meraih Piala Citra untuk penulis skenario terbaik pada 2013 dan 2018.
Pada tanggal 16-17 dan 23-24 September 2023, pementasan teater musikal Ken Dedes dilangsungkan di Ciputra Artpreneur. Ada sekitar 80 penari terlibat di pementasan Ken Dedes untuk kedua kalinya ini. Beberapa waktu sebelumnya sempat dipentaskan beberapa potongan untuk pengenalan kepada publik.
Sepeninggal suaminya, kini Aiko tidak lagi hanya berada di balik layar.
Religiositas
Nilai-nilai religiositas Aiko mewarnai perjuangannya selama ini. Maklumlah, Aiko dididik di tengah keluarga dengan ayah dan ibu yang juga seorang pandita utama agama Buddha. Suaminya, Rusdy, pada awalnya memeluk Katolik. Setelah menikah pada 1991, Rusdy berpindah memeluk Buddha hingga menjadi pandita utama pula.
”Ayah dan ibu saya orang yang moderat, tidak banyak larangan. Mereka membebaskan anak-anaknya, asalkan mau menanggung karma, bertanggung jawab atas semua tindakan,” ujar Aiko.
Di usia 19 tahun atau sekitar tahun 1985, Aiko aktif mengikuti pendidikan informal keagamaan Buddha di kuil yang tidak jauh dari tempat tinggalnya. Hingga delapan tahun kemudian, pada 1993, Aiko menyandang Pandita Utama Nichiren Shoshu Buddha Dharma Indonesia.
”Saya ingin membawa ke arah kesadaran Buddha lewat dunia tari yang diciptakan Rusdy. Pada pementasan-pementasan awal, saya memang sering mendengar komentar bahwa ini penyebaran agama Buddha lewat jalur seni,” kata Aiko, yang mengenyam pendidikan terakhir di Jurusan Komunikasi Massa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, meski tidak sampai menuntaskannya.
Kesadaran Buddha pada hakikatnya kebaikan bagi semua makhluk. Karena itulah, Aiko selalu menerima dan membiarkan komentar-komentar yang menilai pementasan EKI Dance sebagai penyebaran agama. Hingga akhirnya sekarang pementasan-pementasan EKI Dance dilihat dari sisi kualitas seni yang ditampilkan, bukan lagi dari sisi yang lain.
Baca juga : Sekelumit Cerita dari Manggarai, Jakarta
EKI Dance memilih jalur seni tari kontemporer berbasis gerak seni tari balet. Hal ini dipengaruhi Rusdy yang menempuh kursus pendidikan seni tari di Contemporary Dance School, London, Inggris, 1985-1986.
Di masa awal EKI Dance, usaha keras ditempuh terutama membuat kedisiplinan dan mengenalkan seni balet kepada 18 anggota. Mereka sebelumnya sama sekali tidak pernah mengenal seni tari, termasuk seni tari tradisi sekalipun.
”Di sinilah makna tentang karmawibhangga itu saya pakai. Latar belakang seseorang yang tidak baik itu selalu memiliki sebab-sebabnya. Kemudian sekalipun tidak baik, masih tetap memiliki harapan menjadi baik dan begitu pula sebaliknya,” ujar Aiko.
Ia pertama kali bertemu dengan Rusdy di sekolahnya, SMA Santa Theresia, Jakarta. Ketika itu Aiko mengikuti ekstrakurikuler menari. Rusdy sebagai lulusan almamater yang sama kebetulan mengasuh kegiatan tersebut. Ini terjadi pada tahun 1983-1984. Tidak berselang lama kemudian, mereka berpacaran hingga menikah pada 1991.
”Selama pacaran, Rusdy banyak mengobrol dengan ayah saya. Saya melihat mereka mulai banyak membicarakan seputar karma pula,” ujar Aiko.
Persoalan karma inilah yang membuat Rusdy menempatkan istilah karmawibhangga untuk EKI Dance yang dibentuknya. Istilah karmawibhangga sengaja diambil dari Candi Borobudur, tetapi Rusdy ingin menggambarkan karmawibhangga untuk kehidupan manusia di zaman sekarang.
Manusia tidak selamanya baik, begitu pula tidak selamanya tidak baik. Ada latar belakang dan sebab yang bermacam-macam. Semua bisa berubah.
”Tidak ada pembedaan manusia. Tidak peduli latar belakangnya, kalau mau berubah bisa mencapai kesadaran Buddha,” ungkap Aiko.
Aktif
Meski mengaku hanya bekerja di balik layar EKI Dance Company, Aiko termasuk bergerak aktif di bidang seni lain, termasuk menjadi produser film. Di antaranya, Aiko menjadi produser film Kalijodo Memanggilmu (2017), dengan sutradara Kresna ”Peceng” Wijaya. Kemudian film Another I (2017), dengan sutradara Kresna ”Peceng” Wijaya. Film ini diputar di Kineforum untuk Jakarta Dance Film 2017 dan EKI Update 2.1 pada 16-17 Mei 2017 di Gedung Kesenian Jakarta.
Ada lagi film Cerita dari Manggarai (2021) yang diproduksi EKI Dance Company. Selain itu, Aiko menjadi produser untuk beberapa pertunjukan musikal, meliputi Madame Dasima (2001), Gallery of Kisses (2002), China Moon (2003), dan Lovers and Liars (2004). Kemudian Operet Oki & Nirmala - Penculikan Pangeran Pollux bekerja sama dengan Gramedia (2005) di Jakarta, Battle of Love (2005), Kabaretjo (Sudjiwo Tejo), 2006, Freakin’ Crazy You (2006), Pangeran Katak & Putri Impian (2006), Miss Kadaluwarsa (2007-2008), Mini Musikal Lagu Rama Ragu (2016-2017), dan sebagainya.
Di bidang seni tarik suara, Aiko juga menulis lagu, di antaranya lagu ”Knapa sih”, ”Namaku Narsih”,dan”Menantu Idaman” untuk pentas musikal Miss Kadaluwarsa (2007) di Jakarta. Aiko andil pula dengan menjadi produser untuk album lagu Sujiwo Tejo, Pada Suatu Ketika (1999), Sebuah Ranjang (2001), dan Syair Dunia Maya (2005).
Aiko melangkah menuju arah kesadaran Buddha untuk semesta. Ia telah berbuat sesuatu yang ditujukan kepada siapa saja tanpa mempertimbangkan apa pun latar belakangnya.
Biodata
Nama: Aiko Seno Soenoto
Lahir: Jakarta, 26 Mei 1966
Pendidikan:
Jurusan Komunikasi Massa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (tidak selesai)
Pekerjaan:
-Direktur Utama & Pendiri: Eksotika Karmawibhangga Indonesia (EKI) Dance Company
-Anggota Komite Tari Dewan Kesenian Jakarta periode 2020-2023
-Ketua Umum & Pandita Utama Majelis Nichiren Shoshu Buddha Dharma Indonesia (MNSBDI)
-Ketua Umum & Pendiri LSM Gerakan Peduli Sekitar Kita
-Pemimpin Umum Majalah Prajna Pundarika