Membangkitkan ”Garuda-garuda” Bangsa
Di situlah titik balik kegelisahan Putu untuk membangkitkan ”garuda-garuda” bangsa ini, energi-energi positif yang dimiliki bangsa ini.
Kegelisahan tidak menjerat hati dan pikiran seniman Putu Sutawijaya (53). Justru karena kegelisahan itu, Putu tak pernah berhenti mencari dan mencetuskannya ke dalam ekspresi artistiknya. Termasuk akhir-akhir ini, dengan lukisan dan patung bertema makhluk antropomorfis mitologis Garudeya. Di situlah titik balik kegelisahan Putu untuk membangkitkan ”garuda-garuda” bangsa, energi-energi positif yang dimiliki bangsa ini.
Ketika bercengkerama dengan Kompas di pelataran Bentara Budaya Jakarta (BBJ), Minggu (17/9/2023) sore, Putu mengisahkan riwayat 14 tahun silam, tepatnya pada tahun 2009. Kala itu, Putu mulai menggelisahkan keadaan dirinya yang menetap di Yogyakarta, tetapi merasa kurang mengenal seluk-beluk kesejarahan di sekitar kota itu.
Tanggal 14-29 September 2023, Putu tengah menggelar pameran tunggalnya di BBJ yang bertajuk Lelampah, menampilkan sejumlah karya lukisan dan patung tentang Garudeya. Garudeya dilukiskan Putu sebagai sosok anak muda berkepala elang dan bersayap kuat. Ia makhluk separuh manusia separuh burung elang, atau antropomorfis, yang muncul dari kisah mitologi Hindu Buddha.
Di kemudian hari, Garudeya lebih sering disebut sebagai Garuda dan menjadi lambang negara Indonesia, yakni Garuda Pancasila. Negara lain, seperti Thailand, juga menggunakan simbol yang sama untuk lambang negaranya.
Berangkat dari kegelisahannya, bersama Kris Budiman, seorang antropolog dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, Ery Jabo, dan Cuk Riomandha, Putu lalu mulai menjelajah Purworejo, kota kecil di barat Yogyakarta. ”Ini blusukan. Untuk pertama kali, kami blusukan ke Gereja Kiai Sadrach di Purworejo,” ujar Putu yang lahir di Denpasar, Bali, 27 November 1970.
Mereka bertemu di Stasiun Tugu, Yogyakarta, dan menggunakan kereta api menuju Stasiun Kutoarjo, stasiun terdekat dengan Purworejo. Mereka lalu menuju Dusun Karangjasa, Desa Langenrejo, Kecamatan Butuh, Purworejo. Di dusun itulah Gereja Kiai Sadrach terletak. ”Gereja” ini digunakan pertama kali untuk peribadatan Kristen yang dipimpin Kiai Sadrach pada 1871, sekitar 152 tahun silam.
Putu merasa heran, ada keberanian Kiai Sadrach dalam memeluk dan menyebarkan agama Kristen, agama yang selama itu dianut penjajah Hindia Belanda. Kiai Sadrach sendiri terlahir di Pati, Jawa Tengah, pada tahun 1841. Pada usia yang cukup belia, yakni 30 tahun, Kiai Sadrach menempuh langkah yang cukup berani, memimpin penyebaran agama Kristen, agama penjajah, bagi masyarakat Purworejo dan sekitarnya. Putu masih berusaha mengerti tentang hal ini.
Arsitektur Gereja Kiai Sadrach ternyata juga unik. Ini mengusik pikiran Putu lagi. Di puncak bangunan sebuah gereja biasanya terdapat tanda salib, tetapi berbeda dengan Gereja Kiai Sadrach. Puncaknya berupa simbol pusaka Cakra dan Pasopati. Kedua pusaka ini dikenal dalam epos Mahabharata. Masyarakat Jawa lebih melekat dengan kisah-kisah Mahabharata.
Di kemudian hari, masih bersama Kris Budiman beserta teman-teman antropolog ataupun arkeolog lainnya, Putu terus menjelajah. Mereka mengunjungi situs-situs sejarah yang termarjinalkan meski masih sebatas situs di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Situs bersejarah itu terutama candi-candi tersembunyi dari masa peradaban Hindu Buddha yang sampai sekarang tidak banyak diketahui publik.
Setiap kali menjumpai artefak kuno, Putu selalu mendokumentasikan ke dalam lukisannya. Jumlah peserta blusukan pun berkembang. Pada 2010, Putu bersama para antropolog, arkeolog, dan peneliti masalah sosial budaya lainnya memberi nama kelompok mereka sebagai Bol Brutu. Bol Brutu singkatan dari Gerombolan Pemburu Batu.
Banyak gagasan dan ekspresi artistik kelompok Bol Brutu dari temuan-temuan di situs sejarah marjinal yang dituangkan menjadi pameran.
Baca juga : Frekuensi Kunto Aji
Bertemu Garudeya
Putu tertarik memperhatikan wujud patung Garudeya sejak kecil. Patung-patung Garudeya banyak dijumpai di pura-pura desa tempat kelahirannya. Kisah Garudeya pun sudah dipahami Putu sejak kecil.
Bermula dari Resi Kasyapa yang memperistri Kadru dan Winata. Kadru mencemburui Winata, hingga suatu kali menjebak Winata dengan sebuah taruhan bagi yang kalah akan diperlakukan sebagai budaknya.
Dengan culas Kadru mengalahkan Winata dan Winata menjadi budak Kadru. Winata memiliki anak dalam wujud Garudeya, sedangkan Kadru memiliki anak-anak dalam wujud ular-ular naga. Dari ular-ular naga inilah Garudeya mengetahui cara membebaskan ibunya dari perbudakan Kadru, yaitu dengan mengantarkan Air Amarta kepada mereka.
Air Amarta merupakan air keabadian bagi dewa-dewa. Garudeya pun berhasil mendapatkannya meski harus berjanji sanggup menjadi tunggangan Dewa Wisnu. Garudeya akhirnya membebaskan ibunya, Winata, dari perbudakan Kadru.
Meski memiliki ketertarikan terhadap Garudeya sejak kecil, Putu tak pernah berusaha melukiskannya di kanvas atau media gambar lainnya.
Putu terlahir sebagai anak pertama dari lima bersaudara. Adiknya yang nomor tiga, Nyoman Adiyana, mengikuti jejaknya menjadi seniman dan kini menetap di Yogyakarta pula.
Ayahnya seorang petani dan pernah menjabat sebagai Lurah atau Kepala Desa Angseri, Kecamatan Baturiti, Tabanan, Bali. Adapun ibunya berdagang kelontong di kota Tabanan.
Putu tidak tumbuh di tengah keluarga seniman, tetapi memiliki hasrat yang kuat untuk melukis. Lukisan-lukisan awalnya bertema lanskap dengan teknik lukisan Ubud.
Di jenjang pendidikan menengah, Putu memilih masuk Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR) Denpasar, berjarak sekitar 3 kilometer dari Pasar Sukowati, pasar seni terbesar di Bali. Saat itulah Putu memiliki pengalaman menarik, yaitu pada tahun 1988 ia mencoba menjajakan lukisannya di Pasar Sukowati.
”Lukisan pertama laku terjual Rp 3.000, sewaktu harga bensin masih sekitar Rp 400 per liter. Saya tidak melihat nilai rupiahnya, tetapi dari peristiwa itu saya mulai merasa yakin bisa hidup dengan menjadi seniman,” ujar Putu, yang menuntaskan program studi seni lukis di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta pada tahun 1998.
Selama mengenyam pendidikan, bahkan sesudah lulus dari ISI Yogyakarta, pun tidak pernah tebersit keinginan Putu untuk melukis Garudeya. Lukisan Garudeya ternyata justru terlahir dari sebuah kegelisahan baru menjelang pesta demokrasi Pemilihan Umum 2019.
”Saya merasakan Pemilu 2019 menjadi pesta demokrasi yang sangat mengkhawatirkan,” ujar Putu. Ada kontestasi yang mencabik-cabik nilai kebinekaan demi pemenangan calon presiden tertentu.
Baca juga : Thresia Mareta, Sekeping Hati Berhias Batik
Putu begitu gelisah dengan masa depan dan nasib bangsa ini. Sebagai seniman, Putu tidak tahu dengan cara seperti apa ia harus bersuara.
Suatu kali, ketika blusukan bersama anggota Bol Brutu ke Jombang, Jawa Timur, salah seorang arkeolog memberi informasi kepada Putu lewat aplikasi Whatsapp bahwa akan ada penggalian situs bersejarah di Desa Sumberbeji, Jombang. Putu tertarik mengikuti proses penggalian tersebut dan akhirnya ditemukan patung Garudeya utuh.
Putu terperanjat kaget. Tapi, ia pun begitu girang. Sampai-sampai Putu memberikan rokoknya untuk dihirup patung Garudeya tersebut.
Sebelumnya, di desa itu sudah ada kesepakatan untuk tidak memberikan sesaji dalam bentuk apa pun, termasuk dupa yang dibakar, untuk setiap temuan benda bersejarah. Maka, ketika Putu memberikan rokok pada patung Garudeya, hal itu juga turut dilarang masyarakat setempat.
”Ini bukan dupa. Ini rokok,” teriak Putu waktu itu.
Dalam penjelajahan bersama Bol Brutu, Putu tidak jarang bertemu dengan patung-patung Garudeya di sejumlah candi. Akan tetapi, penemuan patung Garudeya di Desa Sumberbeji menyentak pikirannya.
”Garudeya menjadi Garuda yang mencerminkan simbol demokrasi berbeda-beda tetap satu juga. Ketika dunia politik menumbuhkan kekhawatiran, saya bertanya ke mana ’garuda-garuda’ sebagai energi positif bangsa ini?” ucap Putu.
Temuan patung Garudeya di Sumberbeji menjadi jawaban. Peristiwa itu menyulut kesadaran Putu untuk terus melahirkan dan membangkitkan kembali ”garuda-garuda” bangsa ini.
Putu tidak berhenti melukis dan membuat patung-patung Garudeya. Ia ingin ”garuda-garuda” bangsa ini bangkit dan siap membebaskan Ibu Pertiwi dari perbudakan nafsu jahat.
Putu Sutawijaya
Lahir: Denpasar, 27 November 1970
Pendidikan terakhir: Jurusan Seni Lukis Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, 1991-1998
Penghargaan:
-Lempad Prize dari Sanggar Dewata Indonesia (2000)
-The Best 10 Artist Philip Morris Indonesia Art Awards (1999)
-Seni Rupa Terbaik ISI Yogyakarta pada Dies Natalis Ke-11 ISI Yogyakarta (1995)
-Lukisan Cat Minyak Terbaik dari Departemen Seni Rupa ISI Yogyakarta (1992)
-Lukisan Cat Air Terbaik dari Departemen Seni Rupa ISI Yogyakarta (1991)
-Sketsa Terbaik dari Departemen Seni Rupa ISI Yogyakarta (1991)