Frekuensi Kunto Aji
Tumpah ruah perasaan Kunto Aji (36) tertuang melalui lagu-lagu. Meski sempat mencari-cari, Aji kini berada di frekuensi yang mampu merangkum tiap rasa dalam babakan perjalanannya dengan nuansa hangat dan lekat.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F09%2F14%2F9b7372cc-a935-4024-99b0-a9dbb414dea2_jpg.jpg)
Kunto Aji
Tumpah ruah perasaan Kunto Aji (36) tertuang melalui lagu-lagu. Meski sempat mencari-cari, Aji kini berada di frekuensi yang mampu merangkum tiap rasa dalam babakan perjalanannya dengan nuansa hangat dan lekat lewat susunan nada dan melahirkan identitasnya.
Peluk hangat dan tawa renyah mewarnai perjumpaan di sebuah resto tersembunyi di Jakarta, Kamis (14/9/2023). “Eh aku mau ke Yogya lho lusa. Main di SMA 8. Habis itu lanjut di sana, biasanya kan langsung balik Jakarta. Ini aku extend karena ibu ngajak liburan,” ungkap Aji yang lahir dan besar di Yogyakarta tanpa basa-basi.
Hari itu bertepatan dengan rilisnya album ketiganya bertajuk Pengantar Purifikasi Pikir. Ia pun tergelak ketika menyinggung judul albumnya itu. Aji tak memungkiri sempat khawatir ketika berselancar dan mencari arti purifikasi di mesin pencari Google.
“Kayak skripsi ya judule. Eh tapi pas aku ngecek SEO di Google, kok artinya menyucikan ajaran agama. Wah kok ngeri yo. Ho’o tho semacam akan melahirkan puritan agamis. Padahal yo enggak. Makane aku bilang sama ITku, itu SEOnya bisa diturunin enggak ya nanti,” jelas Aji terkekeh.
Sosok yang kini dikenal dengan sapaan Mas Kun oleh para penggemarnya mengaku judul album itu muncul begitu saja. Ia pun mengaku sulit jika diminta bercerita detil tentang judul albumnya yang cukup unik.
Namun ketika diminta membedah satu per satu lagu yang mengisi album itu, Aji seperti kembali berefleksi terhadap perjalanan hidupnya yang berhasil sampai sejauh ini dengan bahagia tapi sepaket dengan sedihnya. Tertuang dalam salah satu lagu berjudul ‘Asimetris’.
Duka lara hanya datang dengan suka cita/ Hanya berganti rupa dalam peristiwa//
Pada bagian pembuka dan penutup yaitu ‘Urip’ dan ‘Urup’ punya lirik yang sama, hanya penyampaiannya lebih riuh pada penutup dan sendu di pembuka. Adapula ‘Jangan Melamun Saat Hujan’ yang dijelaskannya kemudian bahwa melamun itu saat ini merupakan sebuah kemewahan.
“Perlu lho ngelamun. Apa ya seperti melambat aja. Ini juga yang membuat orang Jakarta itu berpikir kalau saya tuh santai, tapi buat orang Yogya saya rush banget,” ujar ayah dua anak ini.
Lagu ‘Melepas Pelukan Ibu’ pun dibuatnya sebagai pengingat dirinya dulu dan masa yang akan datang karena kelak juga akan melepas anak-anaknya mengejar mimpinya. Sementara itu, lagu ‘Jernih’ yang menjadi lagu pertama yang diselesaikannya untuk album barunya ini memiliki tantangan dalam pembuatannya.
“Di album ini, banyak eksplorasi yang secara teknis lebih susah dikerjakan. Cara bernyanyi, aku terinspirasi orang speech. Kayak Obama, Gita Wiryawan, Jokowi itu mereka berada dalam intonasi yang sama, bermain di range seberapa. Aku coba pelajari otodidak. Jadi, bernyanyi tapi berbicara. Itu ada di Jernih, Asimetris, dan Urip,” ujarnya.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F02%2F25%2Fcd5956d3-75f3-403b-94b8-502cf8aa1bb7_jpg.jpg)
Penyanyi Kunto Aji mengajak penonton menyanyikan lagu Indonesia Raya dalam Raisa Live in Concert di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta, Sabtu (25/2/2023).
Hal ini diakuinya susah karena harus menahan timbre dan emosi sehingga tidak bisa lepas bernyanyi. “Belting kayak Mariah Carey itu malah menurutku lebih mudah daripada menahan,” ungkap suami dari Dewi Syariati ini.
Kembali lagi mengenai judul album, itu memang jadi bagian terakhir yang dipikirkannya dan cukup menantang karena ia harus menyaring residu tiap lagu dan menarik benang merah. Itupun berlaku pada album keduanya, Mantra Mantra (2018), album yang juga memotret kehidupannya dan pergulatannya sebelum itu.
Masa-masa yang diakuinya tak mudah. Ia pun sempat berkonsultasi dengan psikolog untuk mengurai yang terjadi. Jatuh bangunnya di dunia musik, kondisi finansial, persoalan kesehatan, hingga relasi percintaan yang kini berujung indah.
Pengalamannya justru menjadi kekuatan untuk mengangkat isu kesehatan mental yang kala itu jarang disuarakan. Tak disangka, kisahnya itu disambut baik dan mengantarkannya menjangkau banyak orang yang juga tengah dilanda gelisah karena tumpukan pikiran yang tak terurai.
Baca juga: Kerja di balik layar ala Aiko
“Itu album kedua, sekarang aku pengin move on. Saat itu yang terjadi (pengalamannya dengan kesehatan mental) semakin terdistorsi dan cuma jadi komoditas, makanya aku mau keluar dari situ dan berterima kasih pada fase itu karena telah mengantarkan pada titik saat ini. Di album ketiga, temanya jadi bertumbuh,” jelasnya.
Kendati demikian, rasa yang tersampaikan usai mendengar album barunya ini mirip ketika selesai dengan Mantra Mantra. Dalam album ini, Aji memang menggunakan lagi teknis frekuensi solfeggio seperti yang diaplikasikannya pada lagu ‘Rehat’ di album kedua. Frekuensi solfeggio sendiri disebut mampu menembus alam bawah sadar manusia dan berefek menenangkan.
Perlu lho ngelamun. Apa ya seperti melambat aja. Ini juga yang membuat orang Jakarta itu berpikir kalau saya tuh santai, tapi buat orang Yogya saya rush banget.
“Kayak gelas nih ada yang lihat sisi sini, ada yang lihat sisi satunya. Ada yang bilang kembali ke album pertama, ada yang bilang makin eksperimental. Kalau dari aku, approachnya pop sebenarnya. Jadi, tengah-tengah album pertama dan kedua. Seru jadinya,” tuturnya.
Kali ini, ia pun lebih memilih meluncurkan album penuh langsung, bukan single per single. “Album itu kayak nulis buku. Prosesnya detil dan jelas. Masuknya mau kemana, muaranya, dan hilirnya jelas. Kepalaku yang berisik dan ruwet ini lebih cocok bikin buku,” ujarnya.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F09%2F14%2F36cfc346-03c8-47e0-8815-2ccf2110e79c_jpg.jpg)
Kunto Aji
Pencarian frekuensi
Menyinggung album pertamanya, Generation Y (2015) tak bisa lepas dari single perdananya yaitu "Terlalu Lama Sendiri" yang melambungkan namanya. Lagu itu diciptakan dan diproduksi secara independen dengan budget seadanya.
Saat itu, pos anggaran terbesar ada pada pemasaran lagu ke radio-radio. Di tengah upayanya itu, ada anggapan lagu pertamanya itu dianggap segmented oleh beberapa kolega di media dan radio yang berkesempatan mendengar sebelum dirilis.
“Bayangin itu Terlalu Lama Sendiri lho dibilang segmented. Enggak ada label, enggak ada manajemen. Tapi itu malah sampai sekarang lagu yang paling luas pendengarnya. Waktu itu aja ke Sumatera, ibu-ibu bapak-bapak taunya ya Terlalu Lama Sendiri,” ungkapnya.
Dari suksesnya lagu itu, Aji bisa mengumpulkan dana untuk kemudian meluncurkan album secara penuh. Itu semua dilakukannya justru jauh selepas dari keikutsertaannya dalam ajang pencarian bakat Indonesian Idol pada 2008. Selama terikat kontrak sepanjang empat tahun dengan ajang tersebut, peraih empat besar ini malah menahan diri untuk tidak mengeluarkan satu pun karya.
Tawaran bukannya tak ada, tapi Aji merasa tidak cocok dengan lagu yang disodorkan. Sebagian orang di sekelilingnya mendorongnya untuk tetap mengambil penawaran yang diajukan demi menjaga eksistensi di dunia musik. Namun Aji tetap pada keputusannya.
Musik baginya adalah sebuah hobi. Ia menyadari tak gampang masuk ke industri musik Indonesia pada era 2000-an awal karena pintunya masih hanya satu. Masuknya ke Indonesian Idol pun tanpa ada tujuan untuk menang dan tembus ke industri karena setelah dicicipi pun nyatanya tak sefrekuensi.
“Ya hobi itu tadi. Bapakku pas tau langsung tak bilangin, ‘Pak, rasah sampe jual-jual mobil, jual rumah untuk SMS’. Walau lumayan nih udah muncul di TV,” tuturnya yang mengaku lagu ‘Pilu Membiru dimaknainya berbeda sepeninggal ayahnya yang berpulang tahun lalu.
Tujuannya saat itu pun tetap melanjutkan pendidikannya. Karena itu, ia menjajal masuk ekstensi Universitas Indonesia sembari tetap muncul di layar kaca sebagai pemandu acara. Usahanya menembus menjadi mahasiswa jaket kuning diikuti sebuah nazar.
Apabila diterima, ia akan fokus untuk berkuliah. Walakin jika tidak, ia akan berjuang menjadi musisi sambil menyusun rencana untuk beberapa tahun ke depan. Ya, Aji memang selalu penuh dengan rencana di kepalanya.
“Ternyata enggak masuk. Ya emang udah jalannya juga. Walau aku penginnya tuh sebenarnya jadi entrepreneur dari dulu. Pengin kayak Setiawan Jodi, kaya dulu baru main musik. Kan jalan ideal gitu. Kalau enggak, enggak akan terpuaskan hasrat main musiknya,” katanya yang mendapat dukungan dari keluarga besar sang ibu untuk menjadi musisi.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F09%2F14%2F146bc202-f210-4f22-84ea-8754e977fb47_jpg.jpg)
Kunto Aji
Hasrat wirausaha
Belakangan, jiwa wirausahanya mendapat penyaluran melalui Rancang Rencana, perusahaan kecil yang dibuatnya bersama teman-temannya. Saat ini, tim kecil besutannya ini bertujuan membantu rekan musisi. Bisa menangani tur, rekaman, sekaligus juga sebagai rumah produksi. Rancang Rencana Records ini menaungi album teranyarnya.
Sejauh ini, artis yang sepenuhnya ditangani baru Aji sendiri. Meski sebenarnya ada tawaran untuk mengurus artis lain, tapi Aji masih berhitung mengingat tanggung jawabnya sangat besar. “Berat lho itu bawa nasib orang, karir orang, dan rezeki orang. Enggak bisa main-main,” katanya.
Kondisi timnya yang ada kini dinilainya ideal karena pergerakannya lebih lentur dan kontrol kualitasnya juga terjaga. Walau ia berharap keluarga Rancang Rencana kelak lebih besar, tapi lagi-lagi ia memperhitungkan agar langkahnya tepat.
Terlebih pandemi lalu, ia dan timnya merasakan dampaknya. Aji mampu bertahan dengan proyek bersama sebuah perusahaan telekomunikasi. Untuk anggota timnya, Aji pun memutar otak agar mereka bisa bertahan. Salah satunya memberikan pinjaman modal usaha.
Baca juga: Pergerakan musik David Karto
Selain itu, niatannya dengan Rancang Rencana ini adalah untuk membuat sebuah ekosistem musik tanpa ada monopoli sehingga saling menguntungkan dan saling dukung antar musisi.
Penggemar musisi Justin Vernon ini mengakui musik Indonesia sekarang lebih sehat karena digitalisasi membantu semua orang memiliki kesempatan yang sama, meski masih menyisakan pekerjaan rumah. Menurutnya, semua musisi kini sudah memiliki kuenya masing-masing karena pendengar bebas menentukan yang ingin didengar.
“Yang paling penting ekosistemnya. Kalau industri musik sehat, baliknya ke kita juga kok. Kayak sekarang, aku punya tim kreatif, kalau artis lain butuh ya bisa dibantuin sama timku. Mereka nyebar aja dengan ilmu yang sudah didapat di sini. Balik ke sini juga bawa ilmu. Nanti mereka bentuk tim kecil, ajak anak-anak baru dan dilatih. Intinya migunani (berguna),” jelasnya sesuai dengan nama anak keduanya, Migunani.
Ia pun bersyukur kini berjumpa dengan orang-orang yang sefrekuensi, baik timnya yang bersama ‘babat alas’ untuk bertahan di industri musik maupun sesama musisi. Tak pernah terbayang dalam hidupnya ada di titik ini.
Kini, ia bisa kerja bersama orang-orang yang diidolakannya seperti Edy Khemod, Vincent dan Desta, kelompok musik Sore, kelompok musik White Shoes and The Couples Company, hingga berkolaborasi dengan banyak musisi menyanyikan lagu Naif yang penuh kenangan baginya di panggung Synchronize Fest belum lama ini. Ia juga jadi akrab dengan para seniman di Yogyakarta. Salah satunya yaitu Iqi Qoror yang membuat cover album barunya.
Frekuensi pada akhirnya menjadi kunci bagi Aji menapaki kehidupan yang penuh dengan ketidaksempurnaan, termasuk mampu terus bertahan di industri musik. Ini pula yang kemudian membentuk identitasnya di mata para penggemar. “Yang penting itu bikin karya, bukan gosip,” katanya.
Kunto Aji Wibisono
Lahir: Yogyakarta, 4 Januari 1987
Pendidikan: D3 Akuntansi, Akademi Akuntansi YKPN
Prestasi:
- Album terbaik AMI Awards 2019
- Artis Solo Pria/Wanita Alternatif Terbaik AMI Awards 2019