Samsul Hadi, Menjaga Nyala Asa Seniman Tradisi di ”Kota Delta”
Samsul Hadi (59) makin fokus merawat seni tradisi begitu memasuki masa pensiun. Kiprah mantan polisi ini turut menambah denyut seni tradisi.
Merawat seni tradisi di perkotaan tak bisa dilepaskan dari peran signifikan para seniman tradisi. Kesadaran itulah yang melatari Samsul Hadi (59), seorang pensiunan polisi, menjaga nyala asa seniman tradisi di Sidoarjo, Jawa Timur, agar proses regenerasi tak mati.
Sejumlah anak muda berdatangan di Padepokan Singomenggolo, Sidoarjo, pertengahan Juli 2023. Mereka adalah sebagian kecil warga yang tertarik belajar seni tradisi seperti campursari, reog Ponorogo, tari jathilan, dan seni bela diri tradisional.
Semakin malam jumlah orang yang datang kian banyak. Mayoritas baru pulang kerja atau pulang kuliah. Meski demikian, senyum semringah terlihat menghiasi wajah anak-anak muda tersebut. Senyuman itu seakan menghapus lelah setelah seharian bekerja atau beraktivitas di luar rumah.
”Jadwal belajar atau latihan sengaja di atas pukul 20.00 waktu setempat karena kalau sore hari, pesertanya masih sibuk sendiri-sendiri. Ada yang bekerja, ada yang masih kuliah,” ujar Samsul Hadi di padepokannya.
Baca juga: Cinta Laurencia pada Anak-anak Berbakat Istimewa
Selama lebih dari 13 tahun, Samsul Hadi menempa banyak generasi muda di ”Kota Delta”, julukan Sidoarjo, karena berada di delta Sungai Brantas, melalui padepokannya. Dari anak-anak jalanan, pelajar, mahasiswa, hingga para pekerja, dia rangkul. Mereka kemudian diajak bermain di padepokan yang berlokasi di perumahan Kahuripan Nirwana Village.
Anak-anak jalanan itu diberikan tempat tinggal dan dicukupi kebutuhan makannya sehari-hari. Bersama-sama dengan para pelajar, mahasiswa, dan pekerja, mereka dikenalkan pelan-pelan pada seni tradisi yang digeluti Samsul Hadi.
Seni tradisi itu adalah reog Ponorogo, tari tradisional seperti jathilan dan sendratari modern pengiring reog. Selain itu, ada musik campursari khas Jawa Timuran dan seni bela diri Perguruan Setia Hati Terate (PSHT). Beragam seni tradisi itu sejatinya sejak lama menjadi bagian dari budaya masyarakat namun keberadaannya kerap kurang disadari bahkan tak dikenal sama sekali oleh generasi masa kini.
”Setiap orang yang datang ke padepokan ini bebas belajar apa saja, mau tari, campursari, reog. Mau belajar semuanya juga boleh, gratis, tidak dipungut biaya. Masyarakat mau datang ke sini dan belajar seni tradisi, saya sudah senang,” kata Samsul Hadi.
Seiring berjalannya waktu, Padepokan Singomenggolo semakin dikenal oleh masyarakat luas. Hal itu tidak terlepas dari banyaknya panggung seni yang telah mereka pentasi. Selain itu, untuk menggaet segmen pasar dari kalangan generasi muda, grup Reog Singomenggolo kerap mengunggah penampilannya di berbagai platform media sosial, seperti Instagram dan Youtube.
Baca juga: Agustinus Heri Sugianto Abadikan Kehidupan Para Nelayan
Saat ini ada sekitar 50 orang yang tergabung dalam grup reog dan seni musik campursari. Para seniman asuhan pensiunan polisi ini bisa manggung sendiri-sendiri, bisa juga pentas secara bersamaan. Hal itu disesuaikan dengan permintaan penanggap atau konsumen.
Menurut Samsul, jumlah senimannya sangat dinamis, kadang berkurang kadang juga bertambah. Alasan paling klasik, tidak semua seniman mampu bertahan menghadapi impitan ekonomi yang kian sempit. Namun, baik kondisi pasang maupun surut, bagi mantan Kepala Subbagian Humas Polresta Sidoarjo itu, sama-sama menghadirkan tantangan yang menantang.
Contohnya, ketika jumlah seniman sedikit, Samsul bakal kesulitan membagi orang saat ada undangan manggung campursari dan reog secara bersamaan. Sebaliknya, saat jumlah senimannya banyak, dia harus memikirkan cara menjaga kelangsungan hidup mereka terutama saat undangan manggung lagi sepi. Sebab, dari pengalamannya selama bertahun-tahun, seni tradisi belum mampu menghidupi senimannya sendiri.
”Bayangkan, sekali pentas setiap pemain hanya dapat bagian honor Rp 100.000. Namun, selama seminggu, belum tentu ada undangan pentas sehingga untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja tidak cukup. Bagaimana mau menghidupi seni tradisi,” ujar mantan Kepala Kepolisian Sektor Gedangan, Sidoarjo, itu.
Kolaborasi
Samsul Hadi lahir di Ponorogo, sebuah daerah di sebelah barat Jawa Timur yang berjarak lebih kurang 195 kilometer dari Surabaya. Dia mewarisi darah seni dari keluarganya yang merupakan seniman reog. Bahkan sejak kecil, dia telah ditempa menjadi pemain seni tradisi yang melegenda tersebut.
Setelah tumbuh dewasa, Samsul diterima menjadi anggota polisi dan ditugaskan di Sidoarjo. Di daerah penyangga Surabaya itulah, dia merintis kehidupan berkeluarga dengan membeli rumah di perumahan Tanggulangin Asri Sejahtera.
Namun, rumah itu tinggal cerita karena tenggelam oleh terjangan lumpur panas Lapindo yang menyembur pada tahun 2006. Samsul mendapatkan penggantian tempat tinggal di perumahan Kahuripan Nirwana Village yang kini dijadikan Padepokan Singomenggolo.
Dari gaji sebagai anggota polisi itulah, dia menghidupi keluarganya sekaligus berupaya mengembangkan seni tradisi yang dicintainya. Karena itu, tahap demi tahap, dia membangun padepokan, membeli seperangkat alat musik campursari dan membeli topeng Singabarong serta topeng Dadak Merak.
Seniman tradisi itu bisa eksis kalau dikasih panggung. Karena itu, perbanyak panggung-panggung seni agar seniman tradisi ini bisa menghidupi dirinya sendiri.
Kini, setelah pensiun dari tugasnya sebagai polisi, Samsul bertekad lebih fokus mengurus seni tradisi. Dia ingin mengejar mimpi-mimpinya yang belum terealisasi seperti berkontribusi lebih besar dalam pembangunan seni dan budaya tradisional di ”Bumi Jenggala”, julukan lain Sidoarjo.
Dia prihatin melihat derasnya arus urbanisasi dan globalisasi yang meminggirkan seni tradisi sebagai bagian dari jati diri masyarakat. Samsul Hadi ingin menumbuhkan kembali kecintaan generasi masa kini pada seni tradisi agar kesenian itu tak mati.
Dia sadar tak mungkin berjuang sendiri. Ketua perkumpulan seniman reog Ponorogo di Sidoarjo tersebut butuh berkolaborasi dengan pemerintah daerah. Tujuannya mendorong para pemangku kebijakan menyediakan ruang-ruang untuk berekspresi bagi seniman tradisi agar mereka mampu mempertahankan eksistensinya.
”Seniman tradisi itu bisa eksis kalau dikasih panggung. Karena itu, perbanyak panggung-panggung seni agar seniman tradisi ini bisa menghidupi dirinya sendiri. Lebih diharapkan lagi ada dukungan anggaran agar kehidupan mereka lebih sejahtera,” tegas Samsul.
Menurut Samsul, seni tradisi layak dilestarikan karena merupakan warisan budaya tak benda yang memiliki nilai unggul. Seni tradisi juga bisa digunakan sebagai sarana diplomasi, edukasi, bahkan sosialisasi karena memiliki daya tarik besar untuk memikat massa. Contohnya, sosialisasi Pemilu 2024 atau edukasi tentang dampak negatif budaya global dan narkoba.
Seni tradisi juga bisa jadi sarana mengolah rasa dan menumbuhkan kepekaan terhadap sesama. Di sisi lain, seni tradisi memiliki potensi sebagai pendorong tumbuhnya ekonomi kreatif yang mampu menciptakan lapangan pekerjaan bagi lintas generasi. Sebab, pelaku seni tak mengenal batasan usia. Dari anak kecil, remaja, dewasa, hingga usia lanjut, sah-sah saja berkecimpung di dunia seni.
”Saya prihatin melihat para seniman tradisi mengamen di jalanan, di titik-titik lampu merah. Karena itu, saya ingin sekali berkolaborasi dengan pemerintah daerah untuk mencari solusi sekaligus mendorong pengembangan seni tradisi agar tetap lestari,” kata Samsul Hadi.
Biodata
Nama: Samsul Hadi
Lahir: 25 Mei 1964
Pekerjaan: Pensiunan polisi
Aktivitas: Pendiri dan Pemilik Padepokan Singomenggolo Sidoarjo