Agustinus Heri Sugianto Abadikan Kehidupan Para Nelayan
Sidoarjo menyimpan kearifan lokal berupa kisah hidup nelayan pesisir yang memiliki daya juang tinggi. Namun, pesatnya laju pembangunan industri mengikis eksistensi mereka.
Oleh
RUNIK SRI ASTUTI
·5 menit baca
Sidoarjo menyimpan kearifan lokal berupa kisah hidup nelayan pesisir yang memiliki daya juang tinggi. Namun, pesatnya laju pembangunan industri mengikis eksistensi mereka. Agar tetap lestari, Agustinus Heri Sugianto (58) mengabadikan kisah hidup, karakter, dan nilai tradisi yang dipedomani para nelayan dalam tari Banjar Kemuning, yang kini menjadi ikon budaya daerah.
Agustinus tak bisa menyembunyikan kebahagiaannya seusai menerima sertifikat hak kekayaan intelektual (HKI) dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia di Pendopo Delta Wibawa, Sidoarjo, Jawa Timur, Jumat (14/1/2022). Meski baru pulih dari stroke yang diderita sejak empat tahun lalu, dia mengaku ingin datang sendiri didampingi istri. Guru Sekolah Dasar Negeri 1 Pucang, Sidoarjo, ini mengatakan, sertifikat HKI merupakan salah satu wujud apresiasi atas hasil kreasinya. Hal itu sekaligus menjadi salah satu upaya melindungi kekayaan intelektualnya dari pembajakan ataupun perbuatan lain yang merugikannya secara materiil dan nonmateriil.
”Saya senang dan bangga tari Banjar Kemuning dinobatkan menjadi tarian daerah khas Sidoarjo. Hal ini menjadi penyemangat saya untuk menumbuhkan ketertarikan generasi masa kini agar lebih mengenal budayanya sendiri di tengah kian derasnya gempuran budaya asing,” ujar Agustinus.
Bagi masyarakat Sidoarjo, tari Banjar Kemuning bukan seni tari biasa. Tari ini merupakan tarian khas daerah yang kerap ditampilkan saat menyambut tamu-tamu kehormatan. Tarian yang menceritakan kehidupan, semangat, dan karakter nelayan di pesisir utara ”Kota Delta” ini juga rutin dipentaskan pada acara penting seperti peringatan hari jadi kota.
Pemilik Sanggar Tari Sukti Sekar Taji ini mengatakan, tari Banjar Kemuning diciptakan pada tahun 1999. Adapun idenya berasal dari masyarakat Desa Banjar Kemuning, Kecamatan Sedati, yang mayoritas warganya bekerja sebagai nelayan. Para lelaki di desa tersebut setiap hari pergi melaut. Mereka berjuang menaklukkan gelombang tinggi dan angin kencang demi menafkahi keluarganya.
Sementara itu, di rumah, istri nelayan menolak berpangku tangan selama suaminya pergi melaut. Mereka bekerja mengolah tangkapan, terutama yang berupa ikan dan kerang, agar memiliki nilai tambah produk.
Pekerjaan ini dilakukan di sela-sela menunaikan kewajibannya mengurus anak-anak dan membersihkan rumah. Seiring bergulirnya zaman, masyarakat di sana sudah tidak menjadikan nelayan sebagai mata pencarian utama. Penyebabnya antara lain cuaca ekstrem yang kerap melanda, tangkapan yang tidak menentu, dan harga ikan yang anjlok di tengah kenaikan komponen biaya melaut.
Nelayan berpaling
Situasi yang tidak pasti membuat nelayan kerap berpaling dari laut demi mengejar cuan yang lebih menggiurkan. Salah satunya, menerima tawaran bekerja sebagai buruh bangunan dan tenaga serabutan. Anak-anak nelayan juga tidak banyak yang menekuni kehidupan laut.
Mereka lebih memilih bekerja sebagai buruh pabrik. Keberlangsungan kehidupan nelayan di pesisir Sidoarjo saat ini semakin terancam dengan masifnya alih fungsi lahan. Dari sisi ekologi, misalnya, deretan tanaman mangrove yang tumbuh subur di sepanjang garis pantai mulai terbabat dan tergantikan oleh hutan beton pembangunan kawasan perumahan. Padahal, hutan mangrove merupakan habitat ikan, kepiting, dan udang yang menjadi komoditas andalan para nelayan.
Suami Dwi Wahyuningsih (58) ini mengaku tak menjumpai kesulitan signifikan saat menciptakan koreografi tarian Banjar Kemuning meskipun dia bukan warga asli Sidoarjo. Hal itu karena pada dasarnya dia merupakan seniman tari yang menekuni tari tradisional dan modern. Bahkan, menurut Agustinus, ide penciptaan gerakan tari mengalir lancar karena dia kerap berinteraksi langsung dengan masyarakat desa.
Dalam perjalanannya, tari Banjar Kemuning berkembang pesat sehingga memiliki fungsi yang beragam dalam kehidupan. Salah satunya, pernah menjadi duta seni budaya Indonesia.
Pada tahun 2000, misalnya, tarian tersebut ditampilkan di beberapa negara, seperti Malaysia, Singapura, Australia, Inggris, dan Belanda. Tarian ini juga menjadi hiburan yang bisa dinikmati melalui keindahan gerak tari dan ritmik musik pengiringnya.
Sebagai seni pertunjukan, tarian memiliki fungsi sosial yang mampu mempertemukan banyak orang dari berbagai latar belakang pendidikan dan ekonomi. Selain itu, di tengah berkembangnya industri pariwisata, tari Banjar Kemuning menawarkan daya tarik bagi wisatawan lokal dan juga mancanegara.
Sarana edukasi
Alumnus Jurusan Seni Tari Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta Surabaya ini mengatakan, sejatinya banyak sisi kehidupan masyarakat lokal Sidoarjo yang menarik, sarat makna, dan mengilhaminya untuk mengabadikannya dalam sebuah tarian.
Contohnya, tari Bandeng Nener kreasi Agustinus. Tari ini menggambarkan budidaya ikan bandeng yang banyak digeluti masyarakat Sidoarjo. Di tangan Agustinus, seni tari bisa menjadi wahana untuk melestarikan kearifan lokal, seperti kehidupan nelayan dan petambak bandeng Sidoarjo. Tarian juga bisa menjadi sarana komunikasi yang efektif untuk mendekati generasi masa kini. Caranya, antara lain, dengan mengenalkannya melalui sanggar tari di Sidoarjo dan sekitarnya.
Strategi lain ialah memasukkan materi tari daerah sebagai muatan lokal pada kurikulum pendidikan. Sekolah-sekolah di Sidoarjo bisa mengenalkan tarian khas daerah kepada pelajar melalui kegiatan ekstrakurikuler.
Penari yang telah menghasilkan 10 kreasi tari ini mengatakan, tari Banjar Kemuning mudah dipelajari oleh para pelajar karena gerakannya sederhana. Secara filosofi, gerakan tarian dibagi menjadi tiga segmen. Segmen pertama ialah ajon-ajon, kawedar, yakni menguraikan ragam kehidupan manusia, dalam hal ini nelayan dan keluarganya. Terakhir adalah tarian penutup, dengan pesan bahwa manusia akan kembali menuju kepada Tuhan Sang Pencipta semesta.