Najla, Transformasi Pesantren yang Menghidupi di Jambi
Najla mendorong transformasi pesantren agar mandiri menghidupi para santri, bahkan dapat mencetak para ”santripreneur”.
Oleh
IRMA TAMBUNAN
·4 menit baca
Sebuah pesan dari pendiri pesantren selalu terpatri dalam ingatan Najla, generasi keempat pengurus Pesantren As’ad di kawasan Seberang Kota Jambi. Pesannya, jangan halangi orang datang menimba ilmu dengan biaya mahal, kalau perlu digratiskan saja. Untuk menjalankan pesan itu, Najla menggerakkan transformasi di pesantren.
Penyelenggaraan pendidikan pada tingkat dasar pun digratiskan. Begitu pula pendidikan di tingkat perguruan tinggi Ma’had Aly Syekh Ibrahim Al-Jambi gratis. Adapun untuk tingkat pendidikan menengah berbiaya murah Rp 20.000 per bulan dan akan menuju gratis.
Pendidikan gratis itu mendatangkan banyak pelajar tak hanya asal Jambi, tetapi juga dari berbagai daerah sekitar. Mereka bisa menimba kuliah tanpa biaya. Jika begitu, bagaimana pesantren dapat tetap bertahan?
Najla menyiasatinya dengan mengembangkan wirausaha pesantren. Berbagai lini usaha berbasis syariah digerakkan, mulai dari jasa katering, produksi air minum kemasan, air minum isi ulang, penatu, dan penjualan baju gamis. Ada pula usaha sablon, cukur rambut, kerajinan tangan, hingga minimarket. Roda usaha itu seluruhnya melibatkan warga lokal hingga santri dan alumni santri.
Lewat bisnis-bisnis itulah, segala kebutuhan operasional dalam pesantren terpenuhi. Najla menginisiasi pembenahan manajemen sehingga omset usaha terus naik. Jika ditotal, laba bersih rata-rata kini mencapai lebih dari Rp 130 juta per bulan. Jumlah ini cukup untuk memenuhi kebutuhan para santri yang berjumlah 1.800 orang. ”Bahkan masih ada sisanya, bisa ditabung untuk keperluan sewaktu-waktu,” kata Najla, Juli 2023.
Kewirausahaan tumbuh dan menggeliat dari pesantren itu tiga tahun terakhir.
Najla membentuk As’ad Production yang mengomandoi unit-unit usaha, mulai dari produksi hingga perniagaan dikelola langsung para santri dan warga sekitar.
Pembenahan finansial juga dilakukan. Ini bahkan yang paling krusial membawa perubahan di pesantren. Selama 70 tahun pesantren berdiri, kata Najla, aliran keuangan belum transparan dan pencatatannya pun minim. Catatan finansial dari semula banyak pintu pelan-pelan dibenahi menjadi satu pintu.
Namun, upaya itu sempat menuai protes. Ada pihak yang merasa dirugikan. Najla berupaya meyakinkan semua orang, hasil dari pembenahan itu akan dinikmati bersama.
Ia mendapatkan data yang jelas mengenai pengeluaran dan pemasukan. Lalu, tanpa ragu ia menyampaikan hasil laporan itu. Transparansi akhirnya memberi gambaran utuh bagaimana usaha pesantren dapat hidup dan bertumbuh tanpa membebani santri. Malahan bisa melahirkan banyak santripreneur.
Pertumbuhan usaha yang pasti perlu didukung. Ia melibatkan para alumni mahasantri. Usaha akhirnya semakin berkembang. ”Pesantren yang 70 tahun hidup dalam tradisi lama akhirnya bisa berbenah lewat wirausaha,” katanya. Inilah sumbangan besar bagi kemandirian pesantren.
Pengelolaan bisnis itu melibatkan 50-an santri dan alumni, serta lebih dari 100 warga lokal yang tinggal di sekitar pesantren. Ada yang bergelut di usaha menjahit. Hasil jahitannya untuk memasok kebutuhan kampus-kampus di Jambi. Ada juga santri yang belajar menganyam. ”Hasil anyamannya kami bantu pasarkan,” tambahnya.
Bisnis katering yang semula tak terkelola juga mulai dikelola santri. Begitu pula untuk urusan bersih-bersih pakaian kotor hingga urusan air bersih hingga merapikan rambut. Kalau mau potong rambut, tinggal mampir ke barbershop pesantren. ”Semua layanan diberikan santri. Hasilnya untuk menghidupi santri,” jelasnya.
Peradaban santri
Najla lahir dan besar di pusat peradaban santri di Sekoja, Kota Jambi. Di kawasan itu, ada lima pesantren tua yang dihuni lebih dari 5.000 santri, termasuk Najla. Selepas pendidikan menengah atas, ia memutuskan kuliah jurusan manajemen di Universitas Jambi, 2010-2015.
Dua tahun kemudian, ia tertarik menggeluti manajemen syariah. Mimpinya sederhana. Ia ingin lebih banyak orang mendapatkan pendidikan tanpa dibebani urusan biaya.
Namun, bagaimana caranya agar mimpi bisa terwujud. Ia meyakini pesantren menjadi jalannya. Namun, pesantren perlu kreatif membangun usaha. Ia pun melanjutkan pendidikan Magister Ekonomi Syariah di Universitas Islam Negeri Sultan Thaha Saifudin, Jambi, 2017-2019.
Mendalami ekonomi syariah membuatnya yakin bahwa transformasi pesantren harus dimulai. ”Saya coba yakinkan bahwa kita tidak akan mengubah budaya pesantren memodernisasi dari sisi manajemen,” tuturnya.
Tiga tahun berjalan, bisnis-bisnis itu membuahkan hasil. As’ad Production juga melahirkan bisnis gamis Malabisi yang berhasil menyabet bisnis syariah terbaik di tingkat Sumatera. Najla pun menggandeng pesantren lainnya untuk berkolaborasi dan bertransformasi lewat Himpunan Bisnis Syariah Pesantren, yang juga didukung Bank Indonesia Jambi. ”Hari ini kita tidak bicara ngaji saja, tetapi bagaimana membawa diri dengan inovasi. Bagaimanapun kami harus kreatif. Kalau tidak, pesantren akan ketinggalan,” jelasnya.
Pengembangan kewirausahaan diakuinya masih menjadi tantangan. Masih perlu terus ditingkatkan demi mencetak lebih banyak santripreneur. Tak sedikit peluang yang bisa diambil, seperti usaha batik sebagai suvenir, pemanfaatan sampah organik untuk produksi pupuk, atau budidaya ternak untuk mencukupkan kebutuhan pangan pesantren.
Ia juga membuka akses permodalan lewat Bank Wakaf Mikro Pondok Pesantren Assad. Sejak 2018, banyak UMKM mendapatkan pinjaman tanpa bunga senilai Rp 1 juta hingga Rp 5 juta. Bebas riba. Realisasinya telah menyalurkan Rp 300 juta ke pedagang kerupuk, kue basah, hingga usaha kelontong.
Ia mendorong agar pesantren-pesantren di sejumlah daerah dapat menggeliat kreatif untuk mandiri, bahkan dapat mencetak para santripreneur.
Najla
Lahir: Jambi, 15 Juni 1991
Suami: Reza Anessandra
Anak: 2 orang
Organisasi: Ketua Himpunan Ekonomi Bisnis Pesantren Provinsi Jambi (2023-2028)
Pendidikan: S-1 Jurusan Ekonomi Manajemen Universitas Jambi (2010-2015)
S-2 Ekonomi Syariah UIN Sultan Thaha Saifudin, Jambi (2017-2019)