Perkembangan zaman menuntut pondok pesantren di Jambi untuk kreatif. Beragam bisnis pun dibangun untuk menopang dan menghidupi para penghuni pesantren.
Oleh
IRMA TAMBUNAN
·4 menit baca
Usaha roti ”Al-Hidayah” kian berkembang. Dari yang semula satu jenis saja dengan bantuknya yang bulat, kini sudah beragam bentuk dan rasa dihasilkan. Tak lain hasil dari menggenjot kepiawaian sang koki, Rio Ransa.
Pengelola pesantren Al-Hidayah yang menaungi usaha roti tersebut, Supratini melihat potensi besar yang dimiliki Rio dan mewadahinya. Jumlah santri Al-Hidayah 1.500 orang dari usaha sekolah dasar hingga menengah atas. ”Anak-anak pasti suka makan roti,” ujarnya, Kamis (20/7/2023).
Pemikiran itu bersanding dengan Rio yang merupakan alumni pesantren itu. Rio dilihatnya punya bakat membuat roti. Namun, bakatnya masih perlu diasah. Supratini pun memberangkatkan Rio mengambil pendidikan boga di Balai Latihan Kerja di Kota Jambi.
Setelah lulus, Rio dimagangkan ke sebuah usaha bakery di Kota Jambi. Hasilnya, kini Rio sudah bisa bikin macam-macam roti, donat, dan bolu.
Bertambahnya ragam roti yang dibuatnya turut mendongkrak penjualan. ”Kalau dulu 300 roti terjual per hari, sekarang ini sudah 600-an roti,” kata perempuan yang biasa dipanggil Tini itu.
Memang, usaha yang tengah dikembangkan itu belum ada izin dan sertifikat pendukung, seperti Izin Pangan Industri Rumah Tangga dan label Halal. Namun, Tini meyakini seluruh proses itu akan segera dilaluinya.
Selain usaha roti, ada pula Al Hidayah Mart yang melayani kebutuhan sehari-hari para santri di kawasan Kotabaru, Kota Jambi, itu. Ada lagi usaha produksi kain sarung. Dari usaha-usaha yang dikelola para alumni santri itu, omzet yang diperoleh mencapai Rp 400 juta per bulan. Laba bersih dari hasil usaha disisihkan untuk menutupi kebutuhan santri tak mampu.
Ia bertekad bahwa bisnis pesantren harus bertumbuh. ”Mimpi kami bahwa usaha yang menghidupi pondok pesantren, bukan pondok yang menghidupi usaha,” kata Tini.
Kalau dari bisnis pesantren bisa memandirikan keuangan pesantren, pendidikan dan biaya hidup santri bisa diselenggarakan gratis. ”Makanya, usahanya harus hidup dulu,” katanya lagi.
Pada unit usaha roti, peralatan yang digunakan masih terbilang sederhana. Produksinya menjadi terbatas. Bisnis itu membutuhkan pengembangan dan dukungan pembiayaan atau hibah, tetapi itu tak mudah didapat.
Ikhtiar menggeliatkan kewirausahaan pada pesantren memang memerlukan inisiatif. Di Kawasan Seberang Kota Jambi, pembiayaan diinisiasi Bank Wakaf Mikro Pondok Pesantren As’ad. Lembaga keuangan mikro ini berada dalam naungan Otoritas Jasa Keuangan.
Menurut pendiri bank wakaf tersebut, Najla, sudah 215 nasabah menerima kucuran pinjaman tanpa bunga. ”Ini sesuai dengan konsep bisnis syariah,” katanya. Nilai dana yang telah mengucur sejak 2018 sekitar Rp 300 juta.
Hari ini kita tidak bicara soal ngaji saja, tetapi santri juga perlu inovatif. Pesantren harus mampu mengikuti perkembangan zaman agar bisa tetap bertahan. (Najla)
Pinjaman tanpa bunga itu diberikan kepada warga sekitar pondok pesantren, yakni warga di Kelurahan Olak Kemang, Arab Melayu, Ulu Gedong, Tengah, dan Jelmu. Nilainya sebesar Rp 1 juta hingga Rp 4 juta. Sebagian besar warga yang mengajukan pinjaman tanpa bunga ini dari ekonomi menengah ke bawah. Ada yang meminjam untuk bangun usaha kerupuk, kue tradisional, atau penjualan aksesori. Suntikan pinjaman itu diharapkan optimal memacu pertumbuhan usaha berskala mikro dan kecil tersebut.
Di sisi lain, bisnis pesantren juga punya tantangan besar, antar lain bagaimana membuka pasar seluas-luasnya. Jika pasar terbuka lebar, peningkatan hasil otomatis berdampak pada kesejahteraan para santri. Najla menceritakan keinginan agar biaya pesantren bisa ditekan serendah-rendahnya. Kalau boleh bahkan diberikan gratis agar keluarga santri yang tak mampu bisa diringankan.
Saat ini telah dibentuk Himpunan Ekonomi Bsnis Pesantren (Hebitren) Jambi yang menaungi 80 pesantren se-Jambi. Dari jumlah tersebut, sebagian besar pesantren telah menjalankan beragam usaha untuk menghidupi operasional di pondok. Bisnis tersebut mulai dari usaha katering, laundri, potong rambut, air minum, kedai, minimarket, roti, pakaian, pupuk, hingga budidaya ikan.
Najla menceritakan, sejumlah pesantren mulai terlihat inovatif. Misalnya ada yang memanfaatkan lahan untuk budidaya ikan. Hasilnya untuk memenuhi kebutuhan pangan di pesantren itu. Ada pula yang telah melangkah lebih jauh dengan mengembangkan usaha ecoprint dan batik. Berbagai jenis usaha itu butuh didukung agar bertumbuh pesat.
”Hari ini kita tidak bicara soal ngaji saja, tetapi santri juga perlu inovatif. Pesantren harus mampu mengikuti perkembangan zaman agar bisa tetap bertahan,” katanya.
Hebitren Jambi yang dibentuk lewat dukungan Bank Indonesia ingin membangun sentra usaha bersama dalam ekosistem perdagangan syariah untuk memenuhi kebutuhan pesantren. Caranya dengan membangun koperasi yang beranggotakan pondok-pondok pesantren sendiri.
Produk-produk yang dihasilkan tiap-tiap pesantren berpeluang mengisi kebutuhan di pesantren lainnya. ”Kalau pesantren lain butuh pasokan barang tinggal pesan. Akan dibuatkan aplikasinya untuk memudahkan,” ujarnya.
Harapan ke depan, kemandirian pesantren dapat tercipta. Jangan sampai muncul cerita ada pesantren mati karena tak terkelola dengan baik.