Mijak Tampung, Jalan Panjang Perjuangan Hak Orang Rimba
Mijak mendorong agar pemerintah daerah membuat Perda tentang Masyarakat Adat Orang Rimba serta alokasi ruang hidup di luar taman nasional. Sebab, tanpa ruang hidup, bagaimana Orang Rimba bisa pertahankan kearifannya?
Mijak Tampung terharutatkala ketua sidang menyatakan karya skripsinya diterima. Ia pun menjadi Orang Rimba pertama yang menuntaskan bangku kuliah. Penantian panjang itu di depan mata.
Sidang skripsinya yang ramai diikuti mahasiswa diwarnai sorak gembira, Sabtu (24/6/2023). Karangan bunga turut diberikan kepadanya sebagai tanda dukungan.
Namun, Mijak tak ingin terlarut. Ia bertekad melanjutkan pendidikan berikutnya. Mimpinya untuk menjadi pendamping hukum bagi warga komunitas pedalaman harus dituntaskan. ”Ake (saya) mau lanjut sekolah profesi advokat,” ujarnya.
Mendampingi komunitas Orang Rimba untuk meraih kesetaraan dalam hukum adalah cita-citanya sejak lama. Mijak berkali-kali mendapati warga rimba mengalami ketidakadilan. Juga penganiayaan dan penipuan. Namun, itu ia belum cukup berdaya. Hanya mampu mendampingi di tingkat akar rumput.
Mijak bertekad memperjuangkan hak-hak Orang Rimba dalam panggung hukum. Untuk itu, ia perlu mengambil sekolah advokat. Meskipun berbiaya mahal, sekitar Rp 5,9 juta, ia tetap akan mendaftar. ”Walaupun biayanya mahal, ake tetap akan berusaha mencari jalan,” katanya.
Kesetaraan bagi Orang Rimba dan komunitas pedalaman menjadi fokusnya selama menimba ilmu di Institut Agama Islam Muhammad Azim (IAIMA), Jambi, yang dimulai 2019. Skripsinya berjudul ”Ambiguitas Pemerintah terhadap HAM Masyarakat Adat (Studi terhadap Hak Administrasi Kependudukan Orang Rimba di TNBD sesuai Undang-Undang 23 Tahun 2006).”
Sebagaimana mahasiswa pada umumnya, ia pun berangkat dari persoalan. Ruang hidup Orang Rimba dialihkan oleh negara menjadi monokultur. Hamparan hutan berubah menjadi kebun, permukiman, dan jalan raya sejak 30 tahun silam. Sejak itulah, Orang Rimba yang hidup sejahtera berubah merana.
Seiring bergaungnya desakan dunia kepada pemerintah untuk melindungi hak-hak masyarakat adat, Mijak dapati mulai ada kebijakan positif. Misalnya, negara mengakui Orang Rimba sebagai warga negara. Identitas mereka dicatatkan resmi. Pengakuan itu tertuang lewat layanan catatan sipil, layanan pendidikan dan kesehatan, serta bantuan sosial.
Akan tetapi, penerapannya di lapangan masih menyisakan banyak persoalan. Dalam pencatatan sipil, misalnya, Mijak dapati pada sebagian dokumen kartu keluarga dan KTP Orang Rimba tidak tercantumkan alamat si pemilik identitas. Bisa jadi karena Orang Rimba masih banyak yang hidup berpindah-pindah, mengembara dalam hutan. Agar mudah, petugas mengosongkan saja baris alamat.
Begitu pula dalam bagian agama, hanya dikosongkan oleh petugas. Itu pun bisa jadi karena Orang Rimba banyak yang tak beragama, melainkan menganut kepercayaan kepada nenek moyang dan dewa-dewa. Ada satu masa, lanjutnya, Orang Rimba terpaksa menganut agama tertentu demi bisa mengakses bantuan sosial, pendidikan, dan layanan kesehatan. Hal itu semestinya tak perlu terjadi. ”Orang Rimba punya hak untuk memilih jalan keyakinannya,” ujarnya.
Untuk perjuangan itulah, lanjutnya, pemuda rimba harus berdaya. Kalau bukan lewat mereka, siapa lagi?
Sejak remaja, Mijak dan sejumlah anak muda rimba di wilayah Makekal, Kabupaten Merangin, Jambi, membentuk Komunitas Makekal Bersatu (KMB). Lewat komunitas itulah, para pemuda bersatu menjalankan advokasi. Awalnya, mereka mengkritik kebijakan pemerintah soal zonasi Taman Nasional Bukit Duabelas. Dokumen zonasi kala itu dibuat tanpa mengakomodasikan kepentingan Orang Rimba yang hidup di dalamnya. Padahal, TNBD dikukuhkan secara khusus sebagai ruang hidup Orang Rimba.
Mijak yang memimpin KMB terus bertahan memasukkan zonasi ruang hidup Orang Rimba dalam dokumen zonasi TNBD. Tempat-tempat penting, seperti tano bedewo, tano suban, benteng atau kleko, serta pasoron (tempat jenazah), perlu masuk dalam zona religi TNBD. Sementara punggung-punggung bukit yang terjal dan berfungsi sebagai mata air, mereka sebut dengan nama tali bukit. Tempat-tempat itu juga perlu diakui masuk ke dalam zona inti.
Keyakinan dan ikatan Orang Rimba pada alam perlu mendapatkan pengakuan negara. Perjuangan merevisi zonasi TNBD membuahkan hasil pada 2018. Dokumen baru akhirnya dikukuhkan.
Kehidupan rimba
Mijak lahir dan besar tanpa kehadiran orangtua kandung, 36 tahun silam. Ibunya meninggal saat Mijak masih berusia 2 pekan. Ayahnya lalu menitipkan Mijak kepada adik ibunya, lalu hidup mengembara.
Sejak kecil, ia terbiasa dalam kehidupan rimba. Mulai dari mencari ikan, berburu, menanam ubi kayu, mengumpulkan getah-getahan, hingga mengambil rotan. Ia pun dibebani tugas merawat adik-adik dalam rombongnya. Ia pun terbiasa memasak bersama anak-anak sebayanya dalam rombong.
Mijak mendapati pertemuan pertamanya dengan seorang guru rimba, Butet Manurung, saat usianya menginjak remaja. Kala itu, ia sangat terpukau dengan tawaran Butet. ”Agar Orang Rimba tak mudah dibohongi orang luar, Bu Guru mengenalkan kami baca, tulis, dan berhitung,” kenangnya.
Para orangtua masih menolak pendidikan karena dianggap ”merubuh halom”. Mijak yang sangat ingin belajar nekat mengikuti Butet. Hasil menjual getah jernang di pasar dibelanjakannya sebuah pena dan buku. ”Ternyata Bu Guru sudah siapkan pena untuk kami,” katanya tersenyum.
Setelah tiga tahun mengikuti sang guru, tibalah saatnya Mijak ditantang menjadi kader guru. Oleh Butet, ia digembleng untuk mengajar dari satu rombong ke rombong lain di seluruh kawasan taman nasional itu. Selepas kepergian Butet, ia praktis menjadi guru mandiri bagi anak-anak dalam komunitasnya. Mijak menikmati kesehariannya mengajar dalam rimba. Ia pun senang berbicara dan berbagi pengalaman.
Demi melengkapi pendidikannya pula, Mijak mengambil ujian-ujian kesetaraan melalui kejar paket hingga tingkat menengah atas. Setelah lulus sekolah, ia masih terus mengadvokasi zona taman nasional lewat KMB. Perjuangannya kerap memantik perhatian aktivis konservasi. Ia pun sering diundang untuk berbagi pengalaman di sejumlah perhelatan di Jambi, Jakarta, Kalimantan, dan Sulawesi.
Tahun 2019, wilayah adat itu kedatangan seorang peneliti dari IAIMA. Karena melihat potensi besar pada Mijak, ia pun menawarinya mengikuti program beasiswa kuliah. Kala itu, usia Mijak sudah mencapai 32 tahun. Namun, ia bersyukur mendapatkan jalan untuk meraih pendidikan tinggi itu lewat jalur beasiswa. Ia kini bahkan berhasil lulus.
Mijak berencana mendorong agar Pemerintah Provinsi Jambi membuat Peraturan Daerah tentang Masyarakat Adat Orang Rimba. Perda diperlukan sebagai bentuk pengakuan yang lebih kuat atas keberadaan Orang Rimba. Pengakuan itu agar diperlengkapi dengan alokasi ruang bagi Orang Rimba yang hidup di luar taman nasional. ”Tanpa ruang hidup, bagaimana Orang Rimba bisa bertahan dengan tradisi dan kearifan hidupnya?” ujarnya.
Mijak Tampung
Ayah: Marenduh
Ibu (Meninggal, dalam tradisi Orang Rimba tidak boleh disebut namanya)
Kuliah: Institut Agama Islam Muhammad Azim (IAIMA), 2019-2023
Pekerjaan:Mendirikan dan Memimpin Komunitas Makekal Bersatu (KMB).