Sabina Tisa: Selalu ”Sinau”
Terus membuka diri untuk belajar telah mengantarkan Sabina Tisa (39) hingga ke titik yang tak pernah disangkanya. Tiap langkah yang mengalun melalui iringan gending syahdu meneguhkannya untuk terus menghidupi tradisi.
Terus membuka diri untuk belajar telah mengantarkan Sabina Tisa (39) hingga ke titik yang tak pernah dia sangka-sangka. Tiap langkah yang mengalun melalui iringan gending syahdu meneguhkan dia untuk terus menghidupi tradisi dan budaya yang mendarah di dalam dirinya.
Suasana teduh dan asri di sebuah rumah yang dihiasi ukiran dan ragam patung lilin penari buatan sang ibu, Selasa (6/6/2023) sore, mengalirkan obrolan hangat dari sesosok gadis ayu yang menasbihkan dirinya untuk merumat tradisi lewat seni tari. Profesi yang tak disangka-sangka itu menurun kepada dirinya dari sang buyut, Sri Sultan Hamengku Buwono VIII, yang potretnya terpajang di salah satu sudut rumah.
”Aku yo enggak menyangka malah jadi profesi yang lekat sama aku sekarang. Wong awalnya nari Jawa ki kepepet situasi,” ungkap Tisa sambil tertawa renyah.
Semula, Tisa kecil yang memang hobi menari dan selalu mengikuti ayahnya berpindah tugas dari satu kota ke kota lain, lebih akrab dengan aneka tarian Nusantara, seperti Jaipong, Gending Sriwijaya, hingga Tari Semarangan. Hingga ketika SMP ia diminta menari untuk mengisi acara perpisahan dengan syarat bukan tarian yang diajarkan di ekstrakurikuler sekolah. Tebersitlah menari tarian klasik gaya Yogyakarta yang memang menjadi akar budayanya.
Meski sang ibu yang masa mudanya merupakan penari tari klasik gaya yogyakarta, Tisa justru diarahkan untuk berguru pada budhenya yang mengampu sanggar tari Suryo Kencono di Ndalem Suryowijayan, Yogyakarta. Tisa yang saat itu berada di Semarang pun rela tiap Sabtu sore, selepas sekolah, melaju ke Yogyakarta untuk belajar tari bersama sang budhe.
Baca juga: Mata Zaman Eko Nugroho
Singkat cerita, Tisa berhasil membawakan Tari Puspita Sari yang dibuat sang budhe. Setelah itu, ia tak tertarik untuk melanjutkan pelajaran tari klasik gaya yogyakarta karena rumit dan sulit. Tiba pada masa SMA di Stella Duce 1 Yogyakarta, Tisa diminta untuk tampil menari. Kali ini, spesifik tarian Jawa karena sang guru yakin Tisa mampu melakukannya berdasarkan gelar bangsawan Jawa yang tersemat di depan namanya.
Kembali lagi dilatih oleh sang budhe dan pakdhe, ia sukses tampil. ”Tapi, pas itu, aku dibilang, ‘Kok kowe ki mung nek arep pentas wae latihan. Kowe ki nduwe bakat.’ Padahal, aku merasa enggak bisa, lha susah beneran,” ujarnya.
Ia mulai berefleksi sampai akhirnya ia mantap untuk memperdalam tari klasik gaya Yogyakarta. Perlahan, ia menemukan renjana dan menikmati dunia tari klasik gaya Yogyakarta.
Perjalanan selama 13 tahun menjadi penari secara penuh pun membuat dia menyadari banyak hal perlu terus didalami mulai detail gerakan, filosofi, hingga perilaku atau disebutnya patrap. ”Menari bukan hanya menghafal gerakan, tapi ada isi dan nyawa. Masing-masing harus paham tari itu ceritanya apa dan pake roso,” tuturnya.
Filosofi yang mengacu pada Falsafah Joged Mataram, yakni sawiji atau konsentrasi total, greged atau dinamika emosi, sengguh atau percaya pada diri sendiri, dan ora mingkuh atau pantang mundur didalami sepenuhnya untuk menyempurnakan tarian. Filosofi itu juga dipraktikkan dalam kehidupan sehari-harinya.
Falsafah Joged Mataram dicetuskan dari kakek Tisa, yakni GBPH Suryobrongto yang merupakan putra Sri Sultan Hamengku Buwana VIII. Sang kakek pula yang menggariskan kaidah tari klasik dan melahirkan ragam tarian golek menak.
”Ibu yang dulu sering berdiskusi sama eyang dan dilatih langsung. Aku udah enggak ngalami, tapi falsafahnya itu aku perdalam terus dan ibu juga selalu transfer ilmu ke aku,” ujar perempuan yang saat ini mengemban tugas sebagai abdi dalem penari untuk Keraton Yogyakarta.
Sampai Istana
Upaya dan ketekunan Tisa membuahkan hasil hingga ia direkomendasikan oleh para pemucal putri atau guru tari putri untuk bisa berlatih di Keraton Yogyakarta. Momen itu membuat ia makin cinta pada tradisi Jawa. Ia bilang, berlatih dan menari di Keraton merupakan mimpi tiap penari tari klasik gaya Yogyakarta. Apalagi, jika kemudian mendapat tugas untuk menari di bangsal yang ada di Keraton. Sebutannya adalah dawuh.
Tisa menyebut dirinya beruntung. Hanya dalam setahun sejak intens belajar pada 2010, ia didapuk untuk berlatih di Keraton pada 2011. Pada tahun yang sama, ia mulai diminta tampil di acara-acara Keraton ketika mendapat tamu kunjungan penting. Satu hal yang tak disangkanya adalah ia memperoleh dawuh dari Sultan Hamengku Buwono X untuk turut menari ketika pernikahan putri bungsu Sultan pada 2011.
Baca juga: Laufey Membawa Kembali Keajaiban Jazz
”Kebanggaan yang luar biasa. Dapat dapukan pertama kali untuk nari di depan Ngarso Dalem langsung dan perhelatannya bukan main-main. Terus penari Bedhaya itu diirit juga naik kereta kencana, ikut kirab pengantin. Aku merasa beruntung karena banyak penari yang belajar bertahun-tahun tapi malah aku yang belum lama,” ungkapnya.
Hingga saat ini Tisa masih aktif menari di Keraton dan berbagai tempat penting di Yogyakarta. Salah satunya juga rutin tampil mengisi pertunjukan wayang topeng di Museum Sonobudoyo bersama para sepupunya yang kini meneruskan Sanggar Tari Suryo Kencono milik sang pakdhe dan budhe.
Mengenal Diri
Dari konsistensinya menari dan menyelami falsafah tari, Tisa makin mengenal diri dan tubuhnya sendiri. Ada gerakan yang memang perlu penyesuaian pada tiap orang agar terlihat tepat dan indah. Ini pula yang mengakibatkan tiap individu memiliki gaya masing-masing ketika menari meski jenis tariannya sama.
”Masing-masing (penari) akan punya trik sendiri. Aku jadi ngeh kalau pinggul sebelah kananku agak naik dibanding sebelah kiri setelah menari. Untuk gerakan miring ke kanan, aku harus simpan energi banyak agar tidak kelihatan patahan badannya banget. Jadi, kita mengetahui bentuk tubuh, bagaimana mengoptimalkannya hingga bisa mencapai gerakan yang ideal. Persis kayak yoga sebenarnya. Nilainya juga.”
Ini pula yang disampaikan kepadanya ketika melawat ke sejumlah negara melalui misi budaya. Tari Golek Ayun-ayun, Serimpi Pandelori, Syiwa Candela, Tandyataya, Sigrak Batik, Kidung Aksara, hingga Bedhaya Angron Sekar kerap diidentifikasi khalayak luar layaknya yoga yang menggerakkan seluruh tubuh mulai kepala hingga ujung kaki.
Tisa tak menampiknya. Sebab, ketika dirinya mulai berlatih yoga, ia menemukan sejumlah kemiripan dari latihan olah napas, sikap yang bertujuan untuk menjaga konsentrasi, hingga mengenali kemampuan tubuh. ”Coba bayangke nari Bedhaya 1,5 jam, kalau olah napasnya enggak bener, yo semaput.”
Belakangan, seusai bekerja sama dengan Agung Dancing Centre yang membawanya berkolaborasi dengan Nottle Theatre Company dari Korea Selatan, ia juga menemukan ada kemiripan nilai dan gerak tari dengan teater. ”Aku punya penyadaran, rohnya tari klasik bisa ke mana-mana,” ujarnya.
Di sisi lain, tari menajamkan olah rasa. ”Enggak cuma merasakan gerak. ada istilah gending yang harus kita pahami sebagai penari. Ada istilah ‘Njoged kuwi koyo nabuh gamelan sak rancak.’ yang artinya harus mempertajam olah rasa agar bisa merasakan semuanya,” ungkapnya.
Lewat rasa ini, perempuan yang memiliki latar belakang pendidikan psikologi ini melebarkan sayap untuk mengajar. Tak hanya tari, Tisa kini juga mengabdikan dirinya mengajar anak-anak usia dini mengenal tradisi dan budaya Jawa di sebuah taman kanak-kanak di Sedayu, Bantul, Yogyakarta.
”Banyak anak di Yogya yang sekarang enggak bisa bahasa Jawa, lho. Sedih tho. Aku di sini mencoba memperkenalkan ke mereka. Awalnya, aku ditolak, lho, sama mereka. Anak-anak itu enggak mau. Piye coba kuwi?” tuturnya.
Namun, perlahan, Tisa merancang program yang menarik bagi anak, seperti memasak bersama, bermain dolanan jawa, atau bernyanyi tembang jawa dengan permainan yang seru. Anak-anak pun nyaman, orangtua mereka senang.
Di sela-sela menari dan mengajar, Tisa kerap mendapat tawaran untuk tampil di acara televisi bersama seniman Yogyakarta, seperti Marwoto, bermain teater, hingga memandu acara. Pencapaian yang disebutnya diperoleh dari orang-orang yang terus mendukungnya.
”Pokoknya tiap ada kesempatan untuk belajar, aku enggak mau sia-siakan. Ya to,” ujarnya.
RAj Sabina Siti Nurul Pristisari
Lahir: Yogyakarta, 25 Maret 1984
Pendidikan: S-1 Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma
Pengalaman:
- Ikut beberapa Misi Kebudayaan ke luar negeri bersama Dinas Kebudayaan DIY ke Kyoto, Jepang; Chiang May, Thailand; Tong Tong Fair, Amsterdam, Belanda; Washington DC, Amerika Serikat; Dublin, Irlandia; Shanghai, China; Paramaribo, Suriname.
- Misi budaya dengan Alm Ibu Tinuk Rifky ke Beijing, China
- Misi budaya dengan ArtIna Production Jakarta ke Vatikan, Roma, menarikan Shiwa Candela dari Sumatera Selatan
- Misi budaya dengan Paguyuban Kesenian Suryo Kencono ke Jordania dalam HUT RI tahun 2019 oleh KBRI Jordania
- Menari di Istana Negara dalam resepsi HUT RI 2016 dan menari untuk beberapa tamu negara
- Menari Bedhaya Wiwaha Sangaskara dalam pernikahan GKR Bendara dan KPH Yudanegara, juga pernikahan GKR Hayu dan KPH Notonegara. Dan beberapa perhelatan di dalam Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat
- Menari dalam Event Festival Keraton Nusantara di Bau-Bau, Pangkalan Bun, Cirebon