Mata Zaman Eko Nugroho
Perupa Eko Nugroho mengamati dan merespons segala perubahan dalam karyanya. Medium berkaryanya berganti. Tapi mata yang menjadi simbol gagasan selalu tersemat layaknya identitas. Mata itu belum berhenti menatap.
Zaman berganti, rezim berganti. Perupa Eko Nugroho mengamati, meresapi segala perubahan itu. Dia liat seperti tanah, mudah berubah. Tapi, mata selalu ada di setiap karyanya; mengamati dinamika, jungkir-balik arus kehidupan. Begitulah seniman merekam sekelilingnya.
Tahun 1997, gerakan mahasiswa di Yogyakarta sedang meletup-letup. Mereka gusar dengan kelakuan rezim Orde Baru yang sudah kelewat tiran. Aksi demonstrasi menuntut Presiden Soeharto mundur memanas. Kampus adalah kantung-kantung pergerakan, tak terkecuali Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta yang waktu itu masih berlokasi di daerah Gampingan, tak jauh dari keraton.
Kala itu muncu anggapan, bila kampus seni sudah ikut turun ke jalan, maka keadaan benar-benar tidak baik-baik saja. Memang demikianlah adanya. Penculikan aktivis kampus terjadi dalam senyap dan gelap. Aparat makin represif terhadap penyampaian aspirasi.
Berlatar peristiwa itu, Eko Nugroho (45) baru diterima sebagai mahasiswa Jurusan Seni Lukis ISI, setelah menamatkan pendidikan atas di Sekolah Menengah Seni Rupa. “Namanya juga mahasiswa baru. Sama senior disuruh ikut demo paling depan. Saya ikut demo-demo itu, bawa poster,” kata Eko di studionya di daerah Kasihan, Bantul, Yogyakarta, Jumat (26/5/2023).
Cerita berlatar waktu menjelang Reformasi itu mengalir ketika sore beranjak gelap, di lorong studio yang temaram. Pisang rebus, dan pastel isi wortel tersaji di meja. Eko dengan berkaus oblong putih, bersarung dengan tulisan “Toleransi” bikinannya sendiri, sesekali menyeruput teh panas dari cangkirnya. Penggalan kisah Reformasi sekitar 25 tahun silam itu seakan-akan masih hangat mengepulkan asap dari cangkir teh dan kopi.
Kepingan fragmen di era peralihan kekuasaan itu adalah titik berangkat yang penting bagi kegiatan berkesenian Eko yang menjejak sampai hari ini. Aksi demonstrasi yang ia ikuti bersama teman-teman kampusnya selalu bergaya teatrikal. Orasinya nyeleneh cenderung komikal. Poster-posternya berkalimat bernas dan menggelitik. Patung kertas sering diarak lalu dibakar sebagai bentuk protes.
Saat itulah, Eko menyadari bahwa seni bisa membawa pesan sedemikian rupa, dan dia terlibat di dalamnya. “Ada sesuatu yang menggairahkan dalam seni. Ekspresi yang muncul dalam karya visual, ada makna di baliknya. Seniman seperti mencatat yang terjadi di sekitarnya, lalu mengekspresikannya dalam karya visual. Itu yang kubawa sampai sekarang,” kata Eko yang ayanya pernah jadi loper koran ini.
Setelah rezim berganti, Eko bergabung dengan gerakan komik dan mural Apotik Komik. Komunitas ini menghias tembok-tembok polos di Kota Yogyakarta dengan beragam hiasan. Eko kebagian menggambar di penyangga jembatan layang Lempuyangan. Gambarnya adalah orang jungkir balik dengan tulisan “Selamat Bekerja” di bagian atasnya. Gambar itu seperti menyapa warga yang sedang “jungkir-balik” bekerja ketika krisis moneter melanda.
Berkomik
Iklim demokrasi, kata dia, mulai semerbak. Kanal ekspresi yang sebelumnya dibungkam perlahan terbuka. Eko memanfaatkan itu dengan membuat kumpulan komik Daging Tumbuh pada 2002. Semangatnya, kata dia, semua orang bisa menjadi komikus, dan semua orang bisa mengakses komik.
Makanya, kurasi kompilasi komik Daging Tumbuh berdasarkan siapa yang mengirim karya duluan. Penggandaannya pun memakai metode fotokopi, sistem penggandaan yang jadi favorit di kalangan pelajar dan mahasiswa Yogyakarta kala itu. Matanya menangkap kios fotokopi menjamur di sekitarnya.
Mesin fotokopi adalah peranti propaganda yang murah dan tersebar di mana-mana. Metode ini yang dipakai komunitas punk dalam membuat zine; semacam buklet berisi opini atau reportase komunitas.
“Saya terinspirasi dari anak-anak punk itu,” ucap Eko yang mendengar segala jenis musik, mulai dari keroncong, punk, metal, sampai noise rock.
Karakter hasil fotokopian memengaruhi karya lukisnya di kampus. Lukisan Eko kental dengan garis luar berwarna hitam pekat, yang katanya terinspirasi dari tinta mesin Xerox dan gaya komik. Pekatnya warna hitam, bertabrakan dengan warna mentereng yang mengejutkan mata.
Setiap melukis selalu dimulai dengan warna hitam sebagai tarikan outline. Gaya itu. bertahun-tahun diapakai Eko. Baru belakangan ini dia bereksperimen dengan cara sebaliknya; outline hitam belakangan setelah kanvas terisi warna-warna pastel. Perubahan gaya ini, kata dia, mengikuti intuisi saja, mencari rasa (feeling).
Di studionya, ada tiga lukisan berdimensi besar yang belum selesai. Bidang kanvasnya sudah terisi warna pastel lembut, tapi belum ada outline. Tiga lukisan itu dia rampungkan pelan-pelan, hari demi hari, mengikut intuisi.
Jam “kerjanya” terbilang tertib; pagi sampai siang, siesta, lalu mulai lagi sore sampai malam secapeknya. Setiap bekerja, musik berdentum dari dua pelantang besar di dalam studio. Tumpukan CD musik bersisian dengan kumpulan cat.
Eksplorasi medium
Tak cuma gaya lukisan Eko yang berubah. Mediumnya pun demikian. Jika diingat lagi, dia pernah memakai medium kertas dalam menggambar komik, lalu tembok kota untuk mural, dan kanvas untuk lukisan. Sejak 2008, Eko membordir lukisannya dengan teknik bordir manual, bukan terkomputerisasi.
Karya bordir itu menutupi seluruh bidang lukisannya. Dimensinya beragam. Mulai dari yang seukuran telapak tangan untuk dipasang di jaket atau celana, hingga yang seukuran tembok rumah. Karya lukis berukuran 10 meter x 3 meter, misalnya dibordir dalam waktu lebih dari enam bulan. Seorang pembordir mengerjakan satu karya, sama seperti Ferrari dalam membuat mesin agung V12 mereka.
“Sekarang ada empat orang tukang bordir. Mereka dulunya pembordir yang bekerja di banyak jasa bordir di sekitaran Jalan Ahmad Dahlan (Kota Yogyakarta). Saya mengajak mereka karena keterampilan mereka hampir tergantikan mesin bordir terkomputerisasi,” kata Eko. Produk itu dia sebut embroidery painting, atau lukisan berbordir.
Ketika mengawali membuat lukisan berbordir itu, Eko tidak membayangkan proses brodirnya seperti apa. Dia hanya melukis apa yang terlintas di benaknya, apa pun gambarnya, seberapa banyak pun warnanya.
Nanti proses pembordirannya menyesuaikan lukisan itu. Warna benangnya dipilih semirip mungkin dengan warna cat. Rumit memang. Tapi begitulah seni yang bergerak, berksplorasi.
Belakangan Eko bermain-main dengan sampah. Gambarnya tak lagi dua dimensi, melainkan jaid lukisan tiga dimensi. Bentuk sampahnya disesuikan disesuikan dengan gambar. Misalnya gambar daun ditutup dengan potongan ember bekas, yang lantas diwarnai. Dilihat dari jauh terlihat seperti lukisan dua dimensi, padahal bukan.
“Konsepnya mengembalikan sampah pada kita yang menyampah. Sampah dalam bentuk hasil karya ini masuk ke galeri yang bening, bersih, atau pusat pertokoan yang lantainya dipel terus. Itu ironi, kan,” ujar Eko.
Gaya dan medium boleh berubah. Namun, ada sesuatu yang tidak hilang dari rentang karya Eko Nugroho, yakni bentuk mata manusia yang seringkali tanpa muka. Ada mata di balik topeng, ada juga mata di balik dedaunan seperti sedang mengendap-endap. Mata itu seperti sedang mengamati peristiwa yang terjadi di sekelilingnya, merekam, dan bercerita.
“Mata mewakili ide lukisan. Gagasan yang muncul berawal dari mata dan diekspresikan lewat lukisan atau gambar,” kata Eko yang berkacamata ini. Ia terinspirasi oleh robot-robot anime yang dia tonton waktu kecil seperti Google V, dan Gaban. Elemen mata pada robot itu memikat.
Baca juga: Di mana Batas Dream Theater
Melalui mata pula, Eko merekam perubahan zaman dan menjadi landasan karya-karyanya. Dia menyaksikan pergolakan era Reformasi, demokrasi yang sedang berbunga, hingga perubahan hidup karena perkembangan teknologi. Mata adalah simbol dari kepekaan yang melandasi gagasan.
Eko sering mendapati gagasan tidak berkembang dengan baik. Ini menjadi salah satu alasannya membuka bimbingan Art Class mulai 2016. Ini seperti kelas menggambar informal, tapi dijalankan dengan kurikulum. Ada bimbingan psikologinya pula. Peserta kelas ini kebanyakan anak hingga remaja.
“Ada juga ibu-ibu yang dulu ketika lajang pernah melukis, lalu sibuk berkeluarga, dan kini ingin memulai lagi. Atau ada juga mahasiswa yang kebingungan merampungkan tugas akhirnya,” kata Eko.
Eko belum berhenti berkarya meski namanya kini sering diidentikan dengan kemapanan; pernah menghasilkan produk bersama merek ternama Louis Vuitton, dan muncul di film popular. Tapi kepekaannya mulai diturunkan ke generasi berikut. Mata gagasan semoga bermunculan.
Eko Nugroho
Lahir: Yogyakarta, 4 Juli 1977
Pendidikan terakhir: Institut Seni Indonesia, Jurusan Seni Lukis, 1997-2006
Beberapa pameran tunggal:
Bercerobong, Galeri Cemeti, Yogyakarta, 2002
- Eko Nugroho, Artoteek, Den Haag, Belanda, 2005
- Snob Behind Ketchups, Lombard Freid Project, New York, AS, 2011
- We Are Concern about Nothing, Arario Gallery, Seoul, Korsel, 2013
- Landscape Anomaly, Galeri Salihara, Jakarta, 2015
- Nowhere is My Destination, Art Front Gallery, Tokyo, Jepang, 2019
- Heads Full of Empty Views, Danysz Gallery, Paris, Perancis, 2022