Di sela-sela berdagang ayam dan mengurus keluarga, Sumarsi memperjuangkan akses air minum dan jamban aman bagi warga kurang mampu.
Oleh
BUDI SUWARNA
·5 menit baca
Di sela-sela berdagang ayam dan mengurus keluarga, Sumarsi aktif memperjuangkan perbaikan sanitasi di Kelurahan Mojo, Kecamatan Pasar Kliwon, Surakarta. Bersama Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) Mojo Waras, ia berhasil mengadakan akses air minum dan jamban aman bagi lebih dari 100 warga kurang mampu.
Tanpa payung, Sumarsi menembus hujan gerimis akhir Januari lalu menuju rumah salah seorang warga RT 009 RW 02, Kelurahan Mojo Waras. Di sana, ia menunjukkan pembangunan tangki septik yang terhenti lantaran hujan. Hujan yang turun hampir setiap hari di kawasan itu membuat air hujan merembes hingga memenuhi lubang untuk tangki septik.
”Kalau sudah begini, mau enggak mau air dan lumpurnya disedot dulu,” ujar Sumarsi. Berarti pengerjaan tangki septik dengan sistem cor cetak itu akan molor dari seharusnya.
Persoalan itu kini telah dilalui Sumarsi dan kawan-kawan pengurus KSM Mojo Waras. Pertengahan Maret lalu, pembangunan jamban aman untuk warga kurang mampu yang dikoordinasi KSM Mojo Waras telah selesai. Berkat program tersebut, ada 45 keluarga yang kini memiliki jamban aman di rumahnya. Dana pembangunan jamban itu berasal dari donasi pembaca harian Kompas/Kompas.id yang dikelola Yayasan Dana Kemanusiaan Kompas (YDKK).
Hari itu, wajah Sumarsi tampak ceria. Ia mengaku lega lantaran semua proyek jamban aman telah selesai. Ia juga amat gembira melihat kedatangan Wali Kota Surakarta Gibran Rakabuming ke Mojo untuk meninjau jamban aman di rumah-rumah warga penerima donasi pada pertengahan Maret.
Pembangunan jamban aman itu merupakan lanjutan dari program perbaikan sanitasi tahap kedua di Kelurahan Mojo, tepatnya di RT 009 RW 002 dan RT 001 RW 003. Sebelumnya, KSM Mojo Waras bersama YDKK membangun akses air minum bagi 60 keluarga tidak mampu di Mojo. Motor dari kedua program itu adalah pengurus KSM Mojo Waras, termasuk Sumarsi.
Sanitasi buruk
Sumarsi sudah cukup lama tinggal di Mojo bersama suami dan anak-anaknya. Sehari-hari ia bekerja sebagai pedagang ayam potong di depan rumahnya yang terletak tidak jauh dari pasar. Ia pedagang kecil yang setiap hari hanya menjual 5-10 ekor ayam. Lepas berdagang ayam, ia berdagang pakaian secara daring. Penghasilannya tidak seberapa, tetapi cukup untuk membantu suaminya yang bekerja sebagai tukang las di bengkel milik pribadi.
Sumarsi memang hanya pedagang kecil, tetapi ia memiliki jiwa sosial yang besar. Di sela-sela kesibukannya berdagang dan mengurus keluarga, ia aktif mengurusi lingkungan di sekitarnya. ”Habis dagang ayam jam sembilan, saya ngurus rumah tangga dulu. Setelah itu keliling kampung untuk memantau lingkungan. Siang dagang online, malam kadang rapat sama KSM atau ibu PKK,” ujar Sumarsi yang dipilih sebagai Ketua Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) RT 009 RW 002 Kelurahan Mojo pada 2020.
Dari hasil pemantauannya, ia menemukan dari tahun ke tahun lingkungan di kampungnya semakin buruk. Kampung makin padat, tetapi fasilitas sanitasi minim. Ada fasilitas mandi, cuci, kakus, tapi hanya satu dan dipakai begitu banyak orang. Akhirnya warga melanjutkan kebiasaan buruk dari generasi ke generasi, yakni buang hajat di bantaran Sungai Bengawan Solo atau menggelontorkan kotoran dari kakus di rumah ke got-got yang ada di lingkungan.
Pencemaran bertambah buruk lantaran limbah dari pemotongan hewan dan industri rumahan masuk pula ke got dan kali. ”Pokoknya, dulu got-got itu baunya sedap betul. Isin aku nyeritane, ha-ha-ha,” cerita Sumarsi diiringi tawa.
Air got dan sungai yang tercemar merembes ke sumur-sumur warga. Dari hasil pemeriksaan Puskesmas Sangkrah pada awal dekade kedua tahun 2000-an, ditemukan air tanah di Mojo hampir 100 persen tercemar bakteri E-coli. Air tanah juga berbau busuk dan berwarna kebiruan sehingga tidak layak untuk air minum.
”Pantas saja dulu banyak banget orang yang kena diare, kudisan, dan kena penyakit yang terkait sanitasi buruk,” kata Sumarsi.
Karena tidak memiliki sumber air minum di rumah, lanjut Sumarsi, warga mengandalkan air minum dari satu hidran umum. Sebagian lagi membeli air galon isi ulang seharga Rp 4.000 per galon. ”Uang kami sebagian habis untuk beli air,” lanjut Sumarsi.
Air dan jamban
Kampung Mojo dulunya masuk kawasan lokalisasi Silir. Seperti kawasan prostitusi lainnya, Silir mendapat stigma negatif dan cenderung diabaikan keberadaannya. Keadaan mulai berubah ketika pemerintah menutup lokalisasi Silir pada 1998 dan mulai menata kawasan miskin di sana lewat beberapa program. Namun, menata perkampungan miskin dengan berbagai persoalannya tidak semudah membalikkan telapak tangan. Sampai sekarang, persoalan dasar, seperti akses air minum dan sanitasi, masih belum selesai seluruhnya.
Sumarsi dan para pengurus lingkungan di Mojo sadar jika mereka tidak bisa sepenuhnya mengandalkan pemerintah untuk memperbaiki kondisi sanitasi di Mojo. Maka mereka pun memutuskan mengusahakan sendiri perbaikan sanitasi di sana. Sejak 2018, mereka mendatangi sejumlah pihak mulai kelurahan, PDAM, perbankan, dan Pemerintah Kota Surakarta untuk mengusahakan air minum. Baru pada 2020, pemerintah kota membangun jaringan air minum (water meter) di Mojo. Namun, pemerintah belum membangun saluran air dari water meter ke rumah warga.
Sumarsi dan kawan-kawan yang saat itu didampingi USAID IUWASH Plus tidak berhenti bergerak. Mereka akhirnya mendapatkan pinjaman lunak dari KSM Dabagsari Makmur untuk membangun saluran air bagi sekitar 40 keluarga. Belakangan, IUWASH Plus mempertemukan Sumarsi dan kawan-kawan dengan YDKK. Singkat cerita, YDKK bersedia menyalurkan donasi dari pembaca harian Kompas untuk pembangunan 60-an saluran air ke rumah warga.
Setelah akses air minum diperoleh, Sumarsi dan pengurus KSM Mojo Waras mulai bergerak ke program jamban aman. Mereka kembali mendapatkan donasi dari YDKK untuk membangun jamban aman untuk 45 keluarga.
”Sekarang kami mulai bergerak ke urusan stunting. Ada sejumlah anak di lingkungan kami yang kurang gizi,” ujar Sumarsi. Awal Juni lalu, Sumarsi mengabarkan bahwa ia dan pengurus PKK serta KSM Mojo mulai ”bergerilya” mendata anak-anak yang dicurigai mengalami tengkes (stunted).
Sumarsi mengaku bahagia bisa menjadi bagian dari warga yang memperjuangkan sanitasi lingkungannya. ”Meski capek, tapi senang. Apalagi setelah melihat lingkungan di Mojo membaik. Got tidak bau lagi karena warga tidak BAB sembarangan,” katanya.
Kini, Mojo yang dulu dibayangi stigma ”Silir”, banyak didatangi pengurus lingkungan dari daerah lain yang ingin belajar bagaimana memperbaiki sanitasi dan pemberdayaan warga. ”Kami terbuka untuk berbagi pengalaman kepada siapa saja,” tutup Sumarsi.