Orangtua saya selalu berpesan agar saya bekerja keras dan berbagi pada orang lain materi. Kalau tidak punya materi, kita bisa menyedekahkan waktu, bahkan sekadar senyuman.
Oleh
BUDI SUWARNA
·5 menit baca
Selama beberapa tahun, Yeny Purwaty (39) mengambil peran sebagai pembantu umum untuk warga. Perempuan yang pernah menjadi buruh migran di Singapura itu menyedekahkan waktunya untuk mengurus jamban, kali kotor, sampai vaksinasi Covid-19 di kampungnya di Tunjungsekar, Kota Malang, Jawa Timur.
Beberapa tahun lalu, kali kecil di Tunjungsekar seolah jadi tempat sampah raksasa. Popok sekali pakai, pembalut, kotoran manusia, dan sampah jenis lain memenuhi kali selebar 2-3 meter itu. ”Dari dulu warga buang kotoran langsung ke kali, saya juga begitu,” ujar Yeny malu-malu saat dihubungi, Rabu (26/2/2022), dari Jakarta.
Warga juga selalu buang popok bayi ke sungai. Mereka tidak berani buang popok te tempat sampah karena khawatir akan dibakar. ”Ada mitos di kalangan warga, kalau popok dibakar nanti bayinya akan borokan,” lanjut Yeny yang tinggal di RT 004/001.
Popok, kotoran manusia, dan aneka sampah yang menumpuk di kali membuat aliran sungai mandek dan berwarna hitam. Pada musim kemarau, airnya bahkan susut. ”Mister kuning akan nempel di mana-mana dan mengering. Baunya ya ampuuun, Mas…. Pokoknya malu-maluin, deh.”
Selama beberapa tahun, warga tidak melakukan apa-apa. Program perbaikan sanitasi sering dibicarakan dalam pertemuan warga, tetapi tidak pernah dieksekusi karena persoalan klasik: belum ada dana. Yeny makin lama makin risi dengan kejorokan warga. Akhirnya pada 2019, ia berinisiatif membantu suaminya, Yoga Wibowo, yang menjabat Ketua RT 004/001 untuk memperbaiki kampung.
Ia mulai menghitung berapa warga yang menggelontorkan kotoran jamban ke sungai. Hasilnya membuat ia tercengang. Dari 56 keluarga di RT 004, hanya ada 10 yang punya septic tank. ”Survei ala emak-emak ini saya presentasikan ke kelurahan dan puskesmas,” katanya.
Ia lantas bertemu dengan USAID IUWASH Plus, sebuah program yang mendorong sanitasi dan perilaku hidup sehat. Ia mendapat beberapa pelatihan tentang perilaku hidup sehat, termasuk perbaikan sanitasi lingkungan. Yeny tambah bersemangat.
Tahun itu juga, pemerintah lewat Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat membangun septic tank komunal biofil yang ramah lingkungan di Tunjungsekar. Wilayah RT 004 mendapat jatah satu septic tank komunal yang bisa dimanfaatkan 17 keluarga. Selain itu, dibangun pula satu septic tank komunal serupa yang bisa dipakai empat keluarga dari RT 002 dan dua keluarga dari RT 004. Para penerima manfaat mesti membuat dan mendanai sendiri saluran dari jamban ke biofil.
Momen itu sekaligus digunakan Yeny untuk mengubah perilaku warga. Ia membuat aturan yang melarang warga membuang semua limbah domestik cair ke septic tank komunal. Konsekuensinya, warga mesti membuat dua saluran limbah. Satu khusus untuk membuang kotoran manusia ke septic tank, satu untuk membuang air bekas mencuci piring dan pakaian ke sungai. ”Pokoknya limbah harus dipisahkan, termasuk minyak bekas gorengan,” ujarnya.
Aturan itu langsung diprotes warga karena dianggap memberatkan. ”Saya didiamkan warga hampir dua tahun. Ada juga warga yang melabrak (saya) ke rumah. Saya dianggap menerima bantuan tanpa memikirkan akibatnya. Tapi, saya jalan terus. Prinsip saya, kalau bukan kita (yang berjuang mengubah keadaan), siapa lagi. Kalau bukan sekarang, kapan lagi?”
Dari situ Yeny sadar betul, mengubah perilaku yang sudah berkarat puluhan tahun susahnya minta ampun. Ia mesti mengetuk pintu warga satu per satu dan membujuk mereka agar mau mengikuti program perbaikan sanitasi. Dia jelaskan bahwa soal jamban dan lingkungan, warga harus ikut bertanggung jawab. Mesti mau keluar uang. Tidak boleh hanya mengandalkan bantuan. ”Saya ajak guyon. Bikin acara makan-makan. Saya layani kebutuhan warga supaya nyaman. Lama-lama mereka sungkan,” kenang Yeny.
Pada 2021, lewat perantara USAID IUWASH Plus, ia bertemu dengan pengurus Yayasan Dana Kemanusiaan Kompas (DKK). Setelah melihat kondisi sanitasi yang buruk di Tunjungsekar, Yayasan DKK menyalurkan donasi dari pembaca Kompas sebesar Rp 90 juta. Dana itu digunakan untuk membangun 30 jamban individu beserta septic tank kedap air. Penerima manfaat masing-masing menerima Rp 3 juta. Mereka mesti mengembalikan setengahnya secara mencicil sebagai dana bergulir yang akan digunakan untuk membangun 15 jamban lain.
”Sekarang 100 persen warga kami sudah punya fasilitas septic tank baik komunal maupun individu,” ujar Yeny.
Sejak perbaikan sanitasi berjalan, kondisi kali yang melintas di tengah permukiman mulai membaik. Popok dan kotoran manusia masih ada, tetapi tidak sebanyak dulu. ”Baunya pun sudah berkurang. PR yang mesti dikerjakan masih banyak, apalagi kali ini melintasi wilayah beberapa RW. Warga di RT dan RW lain juga masih buang sampah di kali,” katanya.
Untuk mengatasi hal itu, Yeny bergabung dengan kelompok Resik Kali yang anggotanya lintas wilayah. Setiap bulan mereka membersihkan kali, kecuali di musim hujan. Selain itu, mereka rutin bertemu untuk membahas berbagai cara untuk memperbaiki kondisi kali.
Ketika masih direpotkan oleh urusan jamban dan kali kotor, pandemi Covid-19 sampai ke Tunjungsekar. Yeny turun tangan meyakinkan warga untuk bersedia divaksin. ”Saya dan suami vaksinasi duluan untuk ngasih contoh. Saya bilang ke warga, kalau kita semua divaksinasi, kita akan sehat. Suatu ketika enggak perlu pakai masker lagi,” ujar Yeny.
Cara itu berhasil. Kini hampir semua warga RT 004 sudah divaksinasi, kecuali mereka yang memiliki komorbid dan tidak layak untuk divaksinasi.
Buruh migran
Yeny hanyalah ibu rumah tangga. Kebetulan suaminya menjabat Ketua RT 004. Berhubung suami sibuk bekerja, Yeny sering mewakili suaminya untuk urusan pengelolaan lingkungan. ”Sampai rapat ke kelurahan saya ikut. Cuma saya perempuan sendiri, ha-ha-ha.”
Lama-kelamaan, Yeny mengerjakan hampir semua tugas suaminya sebagai ketua RT. Yeny sendiri lebih senang disebut sebagai ”pembantu umum warga”. ”Kerjanya ya bantu-bantu apa saja, mulai menyiapkan tujuh belasan sampai ngurusin jamban,” ujar Yeny yang pernah menjadi buruh migran di Singapura pada 2008-2010.
Ia bekerja sebagai pembantu rumah tangga di sebuah keluarga penyanyi. Sambil bekerja, ia belajar merias wajah. Keahlian itu ia bawa ketika pulang. Hingga sekarang, ia membuka usaha salon dan rias pengantin di rumahnya. ”Makanya, saya kenal banyak ibu-ibu di Tunjungsekar. Ini memudahkan tugas saya sebagai pembantu umum warga,” ujar Yeny yang pernah kuliah di Universitas Brawijaya sampai semester VII.
Bagi Yeny, apa pun akan ia kerjakan demi kebaikan. ”Orangtua saya selalu berpesan agar saya bekerja keras dan berbagi pada orang lain materi. Kalau tidak punya materi, kita bisa menyedekahkan waktu, bahkan sekadar senyuman. Simpel kok Mas,” tutupnya.
Yeny Purwaty
Lahir: 21 Agustus 1982
Suami: Yoga Wibowo
Anak:
- Galang Ega Pratama
- Ghaisan Ahmad Altamis
Pendidikan formal: Administrasi Publik Universitas Brawijaya (sampai semester VII)
Pekerjaan: Ibu rumah tangga
Penghargaan: Natural Leader Sanitasi Total Berbasis Masyarakat 2020