Ema Hermawati dan Indra Surya Pradana, Komitmen Meningkatkan Derajat Sesama
Tak semua gigih memperjuangkan pendidikan masyarakat kecil. Namun pasangan suami istri Ema dan Indra terus berkomitmen meningkatkan derajat sesama lewat pendidikan. Sebuah bukti bahwa belajar tak kenal usia.
Oleh
YOSEPHA DEBRINA RATIH PUSPARISA
·5 menit baca
Ambisi meningkatkan pendidikan masyarakat kecil ternyata berujung jadi wadah untuk memberdayakan sesama. Itulah yang dilakukan pasangan suami-istri, Ema Hermawati (33) dan Indra Surya Pradana (35). Perlahan tetapi pasti, kerja keras mereka berbuah manis guna mendongkrak masa belajar warga Sukamanah, Cugenang, Cianjur, Jawa Barat.
Tak banyak orang yang rela meluangkan waktu, tenaga, dan biaya untuk meningkatkan derajat sesama. Lain ceritanya dengan Ema dan Indra yang tergerak hatinya untuk terjun ke dunia pendidikan. Komitmen itu dilakoninya sejak 2012 dengan membangun Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Sarbini.
Keprihatinan mereka dilatarbelakangi pendidikan penduduk Sukamanah yang rendah, apalagi dengan ketiadaan sekolah di sana. Banyak anak usia sekolah yang akhirnya membantu orang tuanya, seperti pergi ke sawah dan ke ladang. Tak hanya itu, praktik pernikahan dini juga marak di Sukamanah.
Kenyataan ini makin menjadi ironi kala jarak Kecamatan Cugenang dengan pusat Kabupaten Cianjur sekitar 7 kilometer. Namun, minat untuk bersekolah di kecamatan itu masih rendah.
”Kemudian, saya dan suami berinisiatif ingin memajukan warga di sini. Awalnya saya sama suami bikin brosur-brosur yang dicetak hitam-putih, disebar ke kampung-kampung, ditempel berdua,” ujar Ema di PKBM Sarbini, Sukamanah, Cugenang, Cianjur, Kamis (20/4/2023).
PKBM Sarbini dibangun di bawah Yayasan Sarbini yang didirikan pula oleh keluarga Ema dan Indra. Modal membangun sekolah nonformal ini diupayakan yayasan tersebut agar seluruh anak didiknya dapat menimba ilmu secara gratis, mulai dari pembangunan fisik hingga serba-serbi pembelajaran. Bangunan sekolah pun awal mulanya menggunakan rumah pasangan tersebut.
Perlahan tapi pasti, jumlah murid bertambah, dari tiga orang hingga kini sekitar 600 orang. Angka tersebut termasuk orang-orang yang tergabung dalam kelompok belajar pada tiap RT dan RW. Apabila awalnya anak didik dari daerah sekitar, kini banyak pula yang tinggal di luar Sukamanah. Beberapa di antaranya dari Cipanas, Cibeber, dan Warungkondang.
Dahulu, mayoritas murid berusia 22 tahun ke atas. Banyak dari mereka yang sudah menikah dan bekerja. Namun, sejak 2016, banyak anak didik yang berusia reguler (7-21 tahun).
”Sekarang PKBM itu setara dengan SD, SMP, SMA. Setelah lulus dari jenjang SMA bisa melanjutkan ke jenjang kuliah atau bisa nantinya bekerja (dengan) ijazahnya itu,” ujar Ema.
Jumlah murid yang terus bertambah dari waktu ke waktu mendorong Ema dan Indra memberdayakan masyarakat sekitar, seperti tokoh masyarakat dan tokoh agama. Mereka akan mendapat insentif pula atas pengabdiannya bagi warga sekitar. Bantuan dari masyarakat ini juga membantu guru-guru yang yang tak dapat menjangkau seluruh murid.
Untuk kelompok belajar di pesantren, misalnya, PKBM Sarbini akan memberdayakan ustaz untuk ikut mengajar. Mereka pun akan diikutkan sejumlah program pelatihan sehingga memiliki bekal tambahan guna menyalurkan pengetahuannya.
Cara Ema dan Indra merangkul sesama ini yang akhirnya memperluas kesadaran pentingnya pendidikan. Masyarakat pun mau menerima dan bekerja sama untuk visi yang sama.
Agar tak membosankan dan tepat guna, PKBM Sarbini menekankan pendidikan bagi para pekerja dengan model yang berbeda. Pihaknya mengedepankan praktik ketimbang teori, seperti belajar menjahit, tata boga, dan sablon. ”Mereka difasilitasi desa karena ada anggaran dana desa,” ujar Indra.
Membuahkan hasil
Ema dan Indra menjelaskan bahwa institusi nonformal yang dibangunnya berbeda dengan PKBM lainnya. Tak seluruh PKBM di Cianjur menyediakan kelas reguler tingkat SD hingga SMA. Selain itu, PKBM miliknya menyediakan fasilitas kejar paket A hingga C.
Meski membutuhkan waktu, upaya mereka membuahkan hasil. Sebagian anak didiknya merupakan pengurus RT dan RW sehingga dapat menginspirasi warga lain ikut menimba ilmu di PKBM Sarbini.
Ema juga bercerita dengan bangga kala ada muridnya yang berhasil melanjutkan kuliah di Mesir. Sebagian lainnya bekerja di sejumlah pabrik dan perusahaan, sedangkan ada pula beberapa yang mengabdi sebagai polisi dan anggota TNI. ”Saya merasa gembira, senang, apalagi kalau lihat anak-anak lulusan dari sini bisa kuliah. Lulusan PKBM juga bisa kuliah,” katanya.
Pola pikir masyarakat pun berubah. Dulunya, mereka menomorduakan pendidikan agar anak-anak membantu bekerja, sekarang menjalani pendidikan di PKBM Sarbini jadi opsi utama.
Ia kerap mendatangi orang tua di lapangan agar menyekolahkan anak-anaknya. Ema acap kali membujuk para orang tua agar tak buru-buru menikahkan buah hatinya. Dengan sabar, ia berupaya meyakinkan bahwa pendidikan jadi gerbang utama untuk memperbaiki nasib.
Lambat laun, upaya Ema dan Indra berbuah manis. Rata-rata lama sekolah Kabupaten Cianjur berangsur-angsur naik. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), durasi lama sekolah penduduk hanya 6,4 tahun pada 2012 lantas naik jadi 7,2 tahun pada 2020.
Hal ini berimbas pula pada Indeks Pembangunan Manusia (IPM) setempat. BPS mencatat, IPM Kabupaten Cianjur meningkat dari 60,3 menjadi 65,4 pada kurun 2012 hingga 2020.
Memang PKBM Sarbini bukanlah satu-satunya pendongkrak angka-angka tersebut, tetapi kontribusinya tak diragukan. Sebab, lembaga pendidikan itu merupakan salah satu yang terbesar di Kecamatan Cugenang.
Jalan terjal
Proses merintis PKBM Sarbini bukanlah hal yang mudah. Statusnya sebagai sekolah nonformal mendapat perlakuan yang berbeda.
Awalnya, upaya merintis lembaga pendidikan ini juga ditolak masyarakat. Sebab, anak yang biasanya membantu orang tuanya bekerja kini harus sekolah. Hal-hal semacam itu kerap dijumpai Ema dan Indra saat membangun sekolah.
”Dari pertama saya membangun sekolah ini memang bukan dari bantuan-bantuan. Kalau (sekolah) formal, kan, suka ada bantuan bangunan. (PKBM) lebih susah mengakses bantuan sih,” kata Ema.
Indra mengatakan, sebelum menjadi Kepala Desa Sukamanah, ia mengaku sulit mendapat dukungan pemerintah desa. Sebab, pemerintah desa cenderung fokus pada pembangunan fisik dan infrastruktur, seperti jalan. ”Bagian sumber daya manusia yang berkaitan dengan pendidikan enggak digarap,” katanya.
Padahal, pemerintah menghitung indikator IPM dari usia 22-45 tahun. Mereka yang menjadi tolok ukur ini, pendidikannya tak dibiayai pemerintah.
Kini, Ema dan Indra tengah meneruskan pembangunan sekolah agar dapat menampung lebih banyak murid sembari memperbaiki fasilitas kelas yang kacau balau. Gempa Cianjur pada November 2022 merusak sejumlah kelas. Perabotan-perabotan pun rusak. Sejumlah plafon jebol. Debu berserakan di mana-mana. Namun kondisi tersebut tak meluruhkan semangat Ema dan Indra untuk mengembangkan PKBM Sarbini.
Semangat memompa daya juang belajar masyarakat kecil masih terus digaungkan Ema dan Indra. Dalam prosesnya, mereka turut mengajak orang-orang di sekelilingnya berpartisipasi. Hasilnya memang tak instan, tetapi kesadaran pentingnya pendidikan menjadi amunisi membenahi kesejahteraan sesama. (Z17)
Ema Hermawati
Lahir: Cianjur, 28 Juni 1989
Riwayat Pendidikan: Universitas Suryakancana (2011)