Ahli Waris Tradisi "Tiki-taka" Barcelona
Gelar Liga Spanyol yang baru diraih Barca jadi tinta awal pelatih Xavi Hernandez menulis ulang sejarah tiki-taka Barca. Xavi dianggap mewarisi tradisi tiki-taka yang dimulai Johan Cruyff dan berjaya dengan Pep Guardiola.
Selepas era Luis Enrique, Barcelona kehilangan jati diri dan tenggelam dalam fase krisis hingga datang ”Si Anak Hilang”, Xavi Hernandez (43), yang membawa secercah harapan. Belum genap dua tahun didapuk sebagai pelatih, Xavi mulai menulis ulang sejarah tiki-taka, filosofi sepak bola khas Barca yang dibangun Johan Cruyff dan mencapai kejayaan di bawah kendali Josep Guardiola.
Hari bersejarah untuk Xavi tiba usai Barca menang 4-2 atas tuan rumah Espanyol dalam laga bertajuk "Derbi Catalan" pada pekan ke-34 Liga Spanyol, Senin (15/5/2023). Kemenangan itu memastikan Barca menjuarai Liga Spanyol empat pekan sebelum berakhirnya musim ini.
Bukan hanya mengakhiri paceklik juara liga Barca sejak terakhir 2018/2019, gelar itu pun menjadi trofi mayor pertama yang dipersembahkan Xavi untuk Barca dengan status pelatih. Itu sekaligus gelar keduanya setelah membawa "Los Cules" mengangkat Piala Super Spanyol 2022/2023 di awal tahun ini.
Gelar liga menunjukkan bahwa segala sesuatunya telah dilakukan dengan cara yang benar dan kami harus terus berada di jalur ini, banyak harapan untuk masa depan.
Xavi tak kuasa meluapkan emosinya. Dia berpelukan dengan para staf pelatih dan pemain serta ikut berselebrasi membuat lingkaran di tengah lapangan sambil melompat-lompat kegirangan. Hanya teror serbuan dari suporter garis keras Espanyol, yang turun ke lapangan karena geram tim rival berpesta di kandang mereka, yang membuat pesta dadakan Xavi dan pasukannya berakhir lebih cepat.
”Perasaan yang luar biasa, dari pekerjaan yang dilakukan dengan baik. Buah dari kerja keras dan pengorbanan sepuluh bulan terakhir. Para penggemar pantas menerima kebahagiaan ini. Gelar liga penting untuk memberikan kestabilan kepada proyek klub. Gelar liga menunjukkan bahwa segala sesuatunya telah dilakukan dengan cara yang benar dan kami harus terus berada di jalur ini, banyak harapan untuk masa depan,” ujar Xavi.
DNA Barca
Xavi bukan nama asing untuk Barca. Dia adalah putra daerah Catalan, tempat asal klub berjuluk ”Blaugrana” tersebut. Dirinya mengenal sepak bola dari menonton laga-laga Barca dan menimba ilmu sepak bola dari akademi tersohor milik Barca, La Masia. Meski bertubuh kecil untuk ukuran gelandang, bakat besar mengantarkannya menembus tim utama pada musim 1998/1999.
Dalam laga debut saat Barca kalah 1-2 dari tuan rumah Real Mallorca di laga pertama final Piala Super Spanyol, 18 Agustus 1998, Xavi yang masih berusia 18 tahun langsung menyita perhatian dengan sumbangan gol tunggalnya. Sejak itu, kariernya melejit dan menjadi jenderal lapangan tengah baru menggantikan Guardiola yang perlahan tersisih karena faktor usia.
Tatkala Guardiola kembali dengan status baru sebagai pelatih pada 1 Juli 2008, Xavi tetap tak tersentuh. Bahkan, dia memainkan peran jauh lebih sentral yang berkontribusi besar membawa Barca berada dalam puncak era keemasannya. Dalam empat musim atau sampai Guardiola hengkang per 30 Juni 2012, mereka meraih semua trofi yang tersedia dari level minor skala domestik hingga mayor skala dunia.
Hanya usia yang bisa mengakhiri karir gemilang Xavi bersama Barca pada akhir musim 2014/2015. Dia sempat bermain selama empat musim untuk klub Qatar, Al-Sadd, sebelum pensiun sebagai pesepak bola di akhir musim 2018/2019. Pasca gantung sepatu, Xavi tidak meninggalkan sepak bola. Dirinya melanjutkan karier sebagai juru taktik untuk klub asal Doha, Qatar, tersebut.
Ilmu-ilmu yang didapatnya dari Guardiola menjadi inspirasi utama Xavi dalam menerapkan strategi permainan. Xavi pun bisa menyulap Al-Sadd sebagai Barca-nya Asia. Dengan improvisasi dari ide-ide segarnya, klub berjuluk ”Al-Zaeem” itu menjalankan tiki-taka baru yang lebih berani dan atraktif.
Baca juga: Gelar Juara Barcelona untuk Transisi Menuju Era Baru
Al-Sadd mempertontonkan umpan-umpan pendek cepat penuh determinasi bukan cuma di ruang-ruang lebar melainkan pula di sudut-sudut sempit, persis karakter Xavi sewaktu aktif bermain. Berkat itu, mereka mendominasi semua ajang sepak bola Qatar sepanjang 2019-2021.
Xavi pun mencatatkan dirinya sebagai pelatih dengan rekor tak terkalahkan terpanjang di Liga Qatar, yakni 36 laga dari pengujung musim 2019/2020 hingga awal musim 2021/2022. ”Al-Sadd adalah salah satu periode terbaik dalam hidup saya. Saya tumbuh pesat sebagai pelatih di sini. Saya menikmati melatih di sini, saya menikmati cara tim bermain yang lebih dari sekadar mengejar kemenangan. Saya pikir pendukung Al-Sadd akan selalu mengingat bagaimana kami bermain. Ini adalah warisan saya di sini,” kata Xavi dilansir gulf-times.com, 7 November 2021.
Pulang kampung
Saat Xavi berbulan madu dengan Al-Sadd, berjarak sekitar 6.500 kilometer ke arah barat laut dari Doha, Barca justru sedang terkatung-katung. Usai mendepak Ernesto Valverde pada 13 Januari 2020, nasib klub yang bermarkas di Stadion Camp Nou itu kian tidak jelas. Dua pelatih permanen dan satu pelatih sementara yang silih berganti gagal mengembalikan tradisi tiki-taka yang terakhir berjalan sukses di era Enrique yang mempersembahkan sembilan gelar medio 2014-2017.
Tiga pelatih itu tak cukup sabar dan punya pemahaman mendalam dengan tiki-taka. Taktik itu berakar dari strategi total football yang dipopulerkan pertama kali oleh pelatih asal Belanda Rinus Michels dan diperkenalkan Michels ketika menukangi Barca pada 1971-1975 serta 1976-1978.
Kemudian, taktik itu dimodifikasi menjadi tiki-taka generasi awal oleh anak ideologis Michels, Cruyff saat menakhodai Barca pada 1988-1996. Dari situ, strategi yang mengantarkan Cruyff memberikan 11 gelar untuk Barca itu menjelma sebagai ciri khas klub berjuluk ”Azulgrana” dan menggapai kejayaan di zaman Guardiola dengan menghadirkan 14 trofi sepanjang 2008-2012. Guardiola adalah otak permainan yang menerjemahkan isi kepala Cruyff medio 1990/1991-1995/1996.
Namun, tiki-taka bisa menjadi pisau bermata dua. Kalau bisa berjalan baik, taktik itu akan menyulap tim sebagai skuad yang mengerikan dengan permainan atraktif nan menghibur. Sebaliknya, strategi itu bisa sangat membosankan yang membuat tim tak lebih dari sekadar sekumpulan sebelas pemain yang belajar cara passing tanpa tujuan jelas.
Pelatih permanen terakhir Barca sebelum Xavi, Ronald Koeman, justru tersesat oleh belenggu tiki-taka. Koeman yang salah satu legenda Barca di era Cruyff memilih jalan pintas memainkan umpan-umpan lambung jauh yang bertolak belakang dengan budaya tiki-taka Barca.
Di momen itulah, suporter Barca merindukan kembalinya Guardiola yang dianggap paling memahami tiki-taka. Akan tetapi, Guardiola masih penasaran untuk membawa Manchester City menjadi raja baru Eropa. Akhirnya, malah Xavi yang tiba per 6 November 2021.
Ini bukan karena ego, saya tidak ingin mengalahkan Pep, Johan (Cruyff) atau siapa pun. Saya belajar dari mereka, saya murid mereka. Impian saya hanya mengembalikan Barca ke puncak dunia.
Sempat ada keraguan yang menyelimuti kedatangan Xavi karena dirinya tidak memiliki pengalaman selain melatih Al-Sadd. Apalagi kultur maupun tingkat persaingan liga Timur Tengah dan Eropa bagai bumi dan langit. Namun, bagi orang-orang yang mengenal lingkungan Barca, Xavi adalah pilihan terbaik.
”Ini seperti mobil-mobil terbaik. Cruyff adalah model hebat pertama, Guardiola yang kedua, dan ketika kembali (ke Barca), Xavi akan menjadi generasi ketiganya,” ungkap mantan bek sayap Barca, Dani Alves, mengambarkan pentingnya kehadiran Xavi untuk Barca seperti dikutip Talksport, 28 Oktober 2021.
Lagi pula, Xavi pernah bermain bersama Guardiola selama 1998/1999-2000/2001 ditambah dilatih medio 2008/2009-2011/2012. Xavi juga mengaku Guardiola adalah mentor melatihnya. ”Saya tidak punya keinginan untuk menyamai Pep (Guardiola), yang saya inginkan adalah menang bersama Barca. Ini bukan karena ego, saya tidak ingin mengalahkan Pep, Johan (Cruyff) atau siapa pun. Saya belajar dari mereka, saya murid mereka. Impian saya hanya mengembalikan Barca ke puncak dunia,” tegas Xavi dilansir Sportsmax, 26 Juli 2022. (AP/AFP/REUTERS/DRI)
Baca juga : Xavi Harapan Era Baru Barca
Xavier ”Xavi” Hernandez Creus
Lahir: Terrassa, Spanyol, 25 Januari 1980
Tinggi badan: 170 sentimeter
Posisi bermain: gelandang
Karir saat ini: Pelatih Barcelona
Prestasi bermain:
-Untuk Barcelona
·8 Liga Spanyol (dari 1998/1999 hingga 2014/2015)
·3 Piala del Rey (dari 2008/2009 hingga 2014/2015)
·6 Piala Super Spanyol (dari 2005 hingga 2013)
·4 Liga Champions (dari 2005/2006 hingga 2014/2015)
·2 Piala Super Eropa (2009 dan 2011)
·2 Piala Dunia Klub (2009 dan 2011)
-Untuk Al-Sadd
·Liga Qatar 2018/2019
·Piala Qatar 2017
·Piala Sheikh Jassim 2017
·Piala Emir of Qatar 2017
-Untuk Timnas Spanyol
·Piala Dunia 2010
·Piala Eropa 2008 dan 2012
Prestasi melatih:
-Untuk Al-Sadd
·Liga Qatar 2020/2021
·Piala Qatar 2020 dan 2021
·Piala Sheikh Jassim 2019
·Piala Emir of Qatar 2020 dan 2021
·Piala Qatari Stars 2019/2020
-Untuk Barcelona
·Liga Spanyol 2022/2023
·Piala Super Spanyol 2022/2023