Mellisa Anggiarti, Perjuangkan Ruang Aman bagi Pilot
Mellisa Anggiarti memperjuangkan ruang aman dari kekerasan seksual bagi penerbang. Bersama rekan-rekan pilotnya, Komite Women Pilot di Ikatan Pilot Indonesia menginisiasi kampanye ”Safety begins with respect”.
Pilot rentan mengalami diskriminasi hingga kekerasan seksual saat bertugas dengan rekan kerja di ruang kokpit yang steril dan tanpa kamera pengawas. Mellisa Anggiarti (32) pun berjuang untuk menghadirkan ruang aman, mulai dari tempatnya bekerja.
Selasa (11/4/2023), jemari tangan kiri Mellisa lincah mengatur tombol-tombol di beberapa panel pesawat Boeing 737-800 NG yang bersiap untuk lepas landas. Ritual itu ia lakukan dari bangku kanan kokpit simulator pesawat di Garuda Indonesia Training Center, Cengkareng, Jakarta Barat.
Dua bulan terakhir, simulator pesawat itu menjadi rumah kedua pilot Garuda Indonesia itu setelah 1,5 tahun cuti di luar tanggungan perusahaan. Pandemi Covid-19 memaksanya jatuh ke titik terendah karena harus meninggalkan rutinitas sebagai pilot sejak 2014.
Namun, di tengah kondisi itu, Mellisa memperjuangkan ruang aman dari kekerasan seksual bagi penerbang. Bersama rekan-rekan pilotnya, Komite Women Pilot di Ikatan Pilot Indonesia menginisiasi kampanye bertajuk ”Safety begins with respect” pada Hari Anti-kekerasan terhadap Perempuan, 25 November 2022.
Lewat kampanye itu, mereka menggaungkan bahwa keamanan (safety) di dunia aviasi harus dimulai dengan interaksi yang saling menghargai (respect). Melalui media sosial, sejumlah pilot, baik perempuan maupun laki-laki, beramai-ramai mengunggah foto dengan pesan perlawanan terhadap kekerasan seksual, khususnya perempuan.
”Kami yang bekerja di kokpit ini rentan kekerasan seksual. Kokpit itu hanya diisi dua orang, harus steril, enggak boleh ada yang masuk, termasuk flight attendant, kecuali dengan izin. Terus, kalau di kokpit asli enggak ada CCTV, hanya ada voice recorder. Jadi, kalau suatu waktu terjadi kekerasan atau pelecehan yang banyak jenisnya itu, misalnya dipegang-pegang atau dipukul, enggak ada fitur yang bisa merekam kejadian yang ada di kokpit. Adanya hanya suara dari blackbox yang bisa merekam percakapan di kokpit dan data pergerakan pesawat,” tutur Mellisa.
Inisiatif ini mengambil momentum disahkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual pada 9 Mei 2022 dan Surat Edaran (SE) Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Nomor SE-3/MBU/04/2022 tentang Kebijakan Berperilaku Saling Menghargai di Tempat Kerja (Respectful Workplace Policy) di lingkungan BUMN, 14 April 2022. Kebijakan itu menekankan perlunya perusahaan menciptakan lingkungan kerja yang aman serta menghargai harkat dan martabat karyawan.
Kampanye itu kini tengah dilanjutkan dengan menyusun draf permohonan ke Direktorat Kelaikudaraan dan Pengoperasian Pesawat Udara (DKPPU) Kementerian Perhubungan agar mengeluarkan surat edaran terkait kebijakan saling menghargai di tempat kerja.
Baca juga: Euis Suhartati Melawan Perdagangan Orang
Mellisa bersama rekan-rekannya juga mengupayakan agar instansi itu ikut mengeluarkan kebijakan pencegahan kekerasan seksual, yang bisa diterapkan di maskapai hingga sekolah penerbangan. Direktur DKPPU Kementerian Perhubungan Mochamad Mauludin, Senin (17/4/2023), mengatakan, pihaknya akan menindaklanjuti rekomendasi dari Ikatan Pilot Indonesia terkait hal tersebut.
Mellisa juga vokal mengadvokasi hal serupa di perusahaan tempatnya bekerja. Salah satu fokusnya adalah mendorong kehadiran prosedur standar operasi (SOP) untuk mencegah kekerasan seksual yang belum ada di perusahaan tempatnya bekerja.
Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra yang dikonfirmasi Kompas lewat pesan, Minggu (16/4/2023), tidak menjawab perihal tidak adanya SOP yang dimaksud, selain memastikan mereka menjalankan prinsip kesetaraan jender yang sejalan dengan SE Menteri BUMN tentang Kebijakan Berperilaku Saling Menghargai di Tempat Kerja.
”Sejauh ini, prosedur di perusahaan induk Garuda Indonesia hanya sebatas pemberian sanksi terhadap pelaku kekerasan seksual,” kata Mellisa. Saat ini, ia masih merencanakan waktu untuk menghadap pimpinan utama perusahaan agar segera menerapkan kebijakan yang dikampanyekan.
Kebijakan-kebijakan yang dihasilkan nantinya diharapkan bisa mulai memperluas kesadaran dan edukasi mengenai kekerasan seksual di dunia aviasi nasional. Mellisa sadar, kekerasan seksual tidak selalu didasari niat, tetapi ada juga karena ketidaktahuan bahwa kerentanan itu bisa dialami baik oleh laki-laki maupun perempuan.
”Masih ada yang tidak sadar lalu bertanya, ’Oh, itu bagian dari pelecehan ya?’’Oh, itu kekerasan, ya?’ Jadi, itu yang mau kami bangun dengan edukasi karena seharusnya memang dengan pencegahan dulu. Kemudian, menghadirkan kebijakan penanganan, pemulihan, hingga sanksi dalam kasus kekerasan seksual atau kekerasan secara general,” tuturnya.
Kesetaraan
Kampanye yang digaungkan Mellisa dan pilot lainnya merupakan bentuk tuntutan terhadap kesetaraan jender. Namun, kesetaraan itu ia akui belum sepenuhnya terwujud di lingkungan tempat Mellisa bekerja. Jumlah perempuan pilot yang memiliki lisensi aktif di Indonesia, misalnya, baru 400 orang dibandingkan 10.176 laki-laki pilot. Perempuan pilot pun masih suka dipandang rendah oleh sosial.
”Saya suka dapat pernyataan dari teman laki-laki, misalnya saat melakukan kesalahan, pernah, tuh, ada yang mengungkit, ’Lo kebanyakan dandan, sih’. Itu enggak akan dilontarkan ke teman laki-laki, kan? Kalau mereka yang melakukan kesalahan, mereka dibilang, ’Kok, lo enggak belajar?’ Kenapa pertanyaan itu enggak dilontarkan ke kita (perempuan)?” ungkap perempuan yang mendapatkan gelar sarjana dari Jurusan Ilmu Filsafat Universitas Indonesia tersebut.
Hal ini ditentang Mellisa karena, baginya, pilot laki-laki ataupun perempuan memiliki tantangan yang sama saat berjuang meraih titel pekerjaan itu, apa pun latar belakangnya. Namun, pandangan bias jender juga kerap dilontarkan orang lain di luar lingkungan kerjanya. Ini sesekali ia dapatkan setelah berkeluarga dan memiliki seorang anak yang sudah balita.
”Kalau sosial melihat aku sekarang, ini juga terjadi dengan ibu bekerja lain, seperti mereka tanya, ’Anaknya sama siapa?’ Padahal, pertanyaan itu enggak mungkin ditanyakan ke laki-laki. Terus, ’Rumah siapa yang ngurus?’ Paling ekstrem sampai ada yang bilang, ’Perempuan mending di rumah aja, deh’,” kata anak pertama dari empat bersaudara itu.
Meski demikian, ia bersyukur memiliki lingkungan hidup yang suportif dengan pilihan kariernya dan kebutuhan dalam mengurus urusan pribadinya. Ia pun ingin menunjukkan, perempuan bisa produktif di tempat kerja, sementara tetap bisa berperan bagi keluarga kecil yang ia miliki. Tekad ini senantiasa ia tuangkan dalam keseharian dan cita-citanya di masa depan yang masih ingin ia raih.
”Saya mau bantu teman-teman untuk memperjuangkan ruang aman di dunia aviasi ini. Saya rasa ini akan jadi perjuangan panjang, bukan setahun dua tahun, butuh waktu lama untuk ini berdiri. Kalau cita-cita personal banyak banget, mau ambil lisensi (penerbangan) lagi, punya keahlian lain selain terbang, mau sekolah lagi, terus mau punya waktu untuk keluarga,” paparnya.
Mellisa Anggiarti
Lahir: Jakarta, Desember 1990
Pendidikan:
- S-1 Ilmu Filsafat Universitas Indonesia
- Bali International Flight Academy (BIFA) 24
Jabatan: Komite Women Pilot, Ikatan Pilot Indonesia
Prestasi: Abang None Jakarta Barat 2012