Alvin Raditya Tanto, Inovasi Kaki dan Tangan Palsu
Kaki yang lebih panjang ternyata menyebabkan sudut tekukan lutut lebih kecil. Saya meriset untuk menemukan sudut tekukan lutut kaki palsu yang pas bagi orang Indonesia.
Oleh
IGNATIUS NAWA TUNGGAL
·5 menit baca
Alvin Raditya Tanto (31) menjadi inovator pembuat kaki dan tangan palsu dengan dua paten dari hasil risetnya sendiri. Bahkan, Alvin meraih berkah lain menjadi produsen mesin cetak tiga dimensi karena sejak awal menggunakan peralatan itu untuk mencetak komponen engsel lutut buatan pada kaki palsu.
Saat ditemui di studionya di kawasan Batununggal, Bandung, Jawa Barat, Rabu (29/3/2023) siang, ia mengajak Kompas masuk ke ruang perakitan mesin cetak tiga dimensi (3D)-nya. Beberapa di antaranya sudah dipesan dan boleh difoto. Mesin-mesin cetak 3D lain yang masih dalam pengembangan tak boleh difoto.
Ada kisah panjang mengapa Alvin menjadi produsen mesin cetak tiga dimensi. Saat mengerjakan tugas akhir di Jurusan Biomekanika Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara Institut Teknologi Bandung (ITB), ia ingin menciptakan kaki palsu yang sesuai karakter kaki dan cara berjalan orang Indonesia. Saat itu, kaki palsu yang banyak ditemui di pasaran Indonesia merupakan produk impor dari Jerman, Amerika Serikat, dan China.
Pada umumnya, kaki palsu impor memiliki ketidaksesuaian sudut tekukan lutut. Produsennya menggunakan patokan kaki yang lebih panjang dibandingkan kaki orang Indonesia kebanyakan. Jika dipaksakan, ayunan langkah penggunanya akan melebar ke samping.
”Kaki yang lebih panjang ternyata menyebabkan sudut tekukan lutut lebih kecil. Saya meriset untuk menemukan sudut tekukan lutut kaki palsu yang pas bagi orang Indonesia,” ujar Alvin, yang kemudian mematenkan hasil temuannya untuk menunjang produksi massal kaki palsunya.
Untuk mengubah sudut tekukan lutut, Alvin harus mengubah komponen lutut buatan yang terbuat dari bahan plastik. Komponen itu ia buat dengam mesin cetak 3D. ”Pada 2015 masih sulit menemukan mesin cetak tiga dimensi. Saya berhasil meminjam dari seorang teman yang membeli mesin cetak tiga dimensi impor dari Amerika Serikat,” katanya.
Selain membuat lutut palsunya, Alvin juga mulai mempelajari karakter mesin cetak 3D tersebut. Mesin cetak 3D mencetak suatu benda satu lapis demi satu lapis. Mesin cetak 3D yang ia pakai saat itu hanya bisa mencetak benda berdimensi 20 cm x 20 cm dengan tinggi 20 cm.
”Menggunakan mesin cetak 3D, sekalipun produk impor, ternyata tak terlalu awet. Apalagi ketika rusak, belum ada pusat servisnya sehingga mau tak mau harus membeli yang baru lagi,” kata Alvin, yang kemudian memiliki perusahaan 3DPrint.id (PT ARM).
Setelah lulus kuliah pada 2015, Alvin mulai memproduksi massal kaki palsu dan memasarkannya. ”Produk kaki palsu saya khusus untuk kasus transfemoral, yaitu kaki yang masih memiliki tulang paha. Bagian kaki palsunya mencakup komponen buatan untuk engsel lutut, betis, dan telapak kaki,” tutur Alvin.
Berdasarkan pengalamannya, sebagian besar pembeli kaki palsu buatannya berasal dari kalangan ekonomi menengah ke bawah. Di kalangan ini, kebutuhan kaki palsu untuk menunjang kenyamanan tak begitu dihiraukan karena bisa digantikan dengan kruk atau penyangga beban.
Alvin pun mengembangkan jenis kaki palsu yang bisa menunjang kenyamanan ini, termasuk bisa digunakan untuk duduk bersimpuh. Biasanya, jenis kaki palsu ini digunakan mereka yang ingin beribadah dengan posisi kaki bersimpuh. ”Mereka yang menjadi difabel itu tetap tak ingin diistimewakan ketika harus beribadah,” ujar Alvin, yang juga mulai memproduksi tangan palsu pada 2017.
Produksi tangan palsu dipicu seorang karyawan sebuah perusahaan yang mengalami kecelakaan kerja hingga salah satu tangannya diamputasi. Alvin pada 2013 pernah bergabung di perusahaan itu untuk menangani pengembangan desain.
Karyawan itu sudah menggunakan tangan palsu, tetapi gerakannya masih tergantung tangan lainnya yang masih berfungsi. Alvin merancang mesin untuk menunjang gerakan tangan palsu tersebut.
Gerakannya masih sebatas membuka dan menutup. Alvin memberi label produk inovasinya itu sebagai Kibo. Istilah kibo dalam bahasa Jepang bermakna harapan. ”Sejak 2017, saya juga memproduksi tangan palsu bionik. Ini tangan palsu yang bisa digunakan untuk memegang sesuatu,” kata Alvin.
Mesin Kibo memiliki sensor yang bisa mendeteksi sinyal listrik dari otot. Ketika otot kita berkontraksi, di situ ada listrik yang memberi sinyal.
Sistem deteksi mesin Kibo seperti pada proses kerja mesin elektrokardiogram (EKG). Alat ini menggunakan sensor yang ditempelkan di permukaan kulit untuk mendeteksi sinyal-sinyal listrik dari otot.
Setelah berjalan selama enam tahun, Alvin mulai merasakan penjualannya tak sesuai dengan yang diharapkan. Ia pun melirik usaha baru, yaitu memproduksi mesin cetak 3D.
”Kami kesulitan menawarkan produk mesin Kibo untuk tangan palsu. Kami pernah mendatangi dokter-dokter yang mengamputasi kaki dan tangan, tetapi jumlahnya sedikit,” ujarnya. Produksi mesin Kibo juga membutuhkan mesin cetak 3D.
Ia teringat pada 2017 pernah membuat mesin cetak 3D yang dibeli almamaternya, ITB. Mesin cetak 3D-nya sampai sekarang tetap awet.
ITB juga memiliki mesin-mesin cetak 3D impor, tetapi usia pakainya tak seawet yang dibikin Alvin. Itu karena perawatan mesin cetak 3D impor sulit dilakukan, sedangkan Alvin setiap waktu mau melayani proses perawatan mesin cetaknya.
”Klien saya untuk produk mesin cetak tiga dimensi sekarang mulai banyak dari kalangan industri otomotif. Biasanya, mesin cetak tiga dimensi digunakan untuk persetujuan desain,” ujar Alvin, yang pernah mengerjakan desain spion sepeda motor Jepang untuk dipasarkan di Indonesia.
Untuk mesin cetak tiga dimensinya, masih ada yang ingin dikejar tahun ini. Alvin berharap bisa mengantongi sertifikat tingkat komponen dalam negeri (TKDN).
Sejak awal tahun ini Alvin terus memproduksi mesin cetak tiga dimensinya meski angka produksinya masih di bawah 100 unit. Di samping itu, ia juga masih menerima pesanan kaki dan tangan palsu yang dibuat dengan mesin cetak 3D-nya.