Faisal Rusdi, Seni dan Kota Ramah Difabel
Selain masih melukis, Faisal juga tergerak bersama komunitasnya terus menggencarkan kampanye kota yang ramah difabel.

Pelukis difabel, Faisal Rusdi.
Terlahir dengan karunia cerebral palsy, Faisal Rusdi (48) tumbuh dan memiliki pemikiran yang jernih. Ia menyampaikannya lewat lukisan yang dilukis dengan mulut, atau dengan kata-kata lugas, semisal ketika meneriakkan hak yang semestinya sama bagi kaum difabel.
Ia juga membongkar kesadaran bahwa segala fasilitas umum yang diciptakan ramah difabel akan tetap ramah bagi semua.
Faisal, sebagai anak pertama dari lima bersaudara, lahir di Bandung, Jawa Barat. Ayahnya berdagang alat tulis dan perlengkapan kantor. Karena itulah, Faisal sejak dini suka aktivitas coret-mencoret dengan kertas dan alat tulis pemberian ayahnya.
Karunia cerebral palsy membuat pertumbuhan tonus otot lengan tangan dan kaki Faisal mengalami gangguan. Gerakannya menjadi sangat terbatas. Ia harus menggunakan kursi roda yang digerakkan dengan bantuan orang lain, kecuali dengan kursi roda yang sudah dirancang otomatis.

Faisal Rusdi
Jari-jemari aktif hanya pada telunjuk tangan kiri. Karunia itu sudah cukup untuk menunjang aktivitas makan sepotong roti atau bersikat gigi. Dengan jari telunjuk tangan kirinya itu, Faisal bisa mengoperasikan telepon seluler.
Sejak usia lima tahun, Faisal menjalani berbagai macam terapi di Yayasan Pendidikan Anak Cacat (YPAC) Bandung. Di usia sembilan tahun baru memasuki bangku sekolah dasar di YPAC Bandung.
”Ini bisa saya pahami. Mengapa saya masuk SD setelah usia sembilan tahun karena sebelum-sebelumnya kedua orangtua saya begitu sibuk untuk berusaha memberikan yang terbaik melalui jalan berbagai terapi bagi saya,” ujar Faisal melalui saluran telepon, Rabu (15/3/2023).
Pekan sebelumnya, Kompas menjumpai Faisal di Selasar Sunaryo, Bandung. Faisal ketika itu diminta menjadi salah satu narasumber Dengar Pendapat dan Diskusi Terpumpun ”Open Arms” (Lengan Terkembang).
Program Open Arms merupakan prakarsa Yayasan Selasar Sunaryo (YSS) untuk mendorong penguatan inklusivitas seni rupa. Ditengarai persentase partisipan maupun pengunjung pameran seni rupa dari kaum difabel masih cukup rendah. Padahal, tak sedikit kaum difabel yang bergerak di bidang seni rupa. Faisal satu di antara mereka.

Pelukis difabel, Faisal Rusdi.
Diusapi embun
Faisal mengisahkan masa kecil di tengah keluarganya. Mereka tinggal di kawasan Dipati Ukur, dekat kampus Universitas Padjadjaran, Bandung. Usai subuh, Faisal selalu dibangunkan dan dibawa keluar rumah untuk diusapi embun pagi.
Faisal juga ingat suatu pagi yang masih sedikit gelap. Ia diajak kedua orangtuanya melintasi persawahan untuk mengunjungi ”orang pintar”. Semua itu demi terapi bagi dirinya. ”Peristiwa itu menunjukkan ketika ada orang tua yang mendapatkan anak dengan disabilitas, mereka tak begitu siap karena tak memperoleh pengetahuan cukup,” ujar Faisal.
Baca juga : Nashihatud Diniyah Jahro Membangun Sekolah Murah untuk Kaum Lemah
Ia menyelesaikan jenjang sekolah dasar selama empat tahun antara 1983 hingga 1987. Kemudian melanjutkan tingkat Kejuruan Pertama YPAC setara SMP. “Disebut kejuruan, karena banyak praktik kerja. Saya diajari membuat puzzle dari kotak kayu, juga membuat kemoceng untuk melatih motorik tangan,” kata Faisal, yang menuntaskan jenjang SMP tahun 1990.
Setelah itu, Faisal tak habis mengerti, mengapa ia tak bisa melanjutkan jenjang pendidikan berikutnya. Para pendidiknya menganjurkan Faisal menempuh les di luar lembaga itu.
Faisal merasa sangsi ketika disarankan agar les elektronika. Akhirnya, ia meminta izin ayahnya untuk les menggambar.

Pelukis difabel Faisal Rusdi
Faisal diterima belajar menggambar di Sanggar Rangga Gempol asuhan seniman Barli Sasmitawinata. Ia belajar di sanggar itu sampai tahun 1993 sebelum kemudian pindah belajar ke Museum Barli.
Faisal mengenal kebesaran Barli. Suatu ketika, Barli pernah membenahi teknik arsiran gelap terang pada sketsa Faisal.
Di situ pula Faisal berkawan akrab dengan peserta lain yang memiliki disabilitas rungu. Temannya itu memiliki saudara sepupu yang menjadi asisten Barli. Sepupu temannya itu, yang dipanggil Kak Dedi, banyak mengajari Faisal secara langsung untuk berlatih menggambar.
Selama belajar di Museum Barli, Faisal menjumpai gedung itu tak memiliki akses bagi difabel seperti dirinya. Ayahnya harus menggendong Faisal untuk menaiki tangga ke lantai atas.
Setelah dua tahun belajar di Museum Barli, Faisal lalu belajar menggambar dan melukis dengan Kak Dedi dari tahun 1995 sampai 1997.
Di stan itulah saya pertama kali mencoba melukis dengan mulut. Akhirnya, stan saya menjadi pemenang nomor satu.
Faisal tak pernah surut. Suatu ketika di awal 1998, Faisal diajak berpameran di SLB/B Cicendo, Bandung. Faisal diajak bergabung bersama untuk mengisi satu stan, tetapi kemudian disarankan membuat stan tersendiri dan mengisinya dengan praktik melukis langsung.
”Di stan itulah saya pertama kali mencoba melukis dengan mulut. Akhirnya, stan saya menjadi pemenang nomor satu,” kata Faisal, yang terpompa semangatnya untuk menjadi seniman.
Pada 2002, Faisal bergabung ke Asosiasi Seniman Lukis Mulut dan Kaki atau Association of Mouth and Foot Painting Artists (AMFPA). Organisasi internasional ini mengantar jejak karya lukisan Faisal dipamerkan di Singapura, Jepang, Myanmar, Australia, dan juga beberapa kota di Indonesia.
Baca juga: Sopia Herawati Mendusin Asa untuk Kaum Papa
Faisal juga dikenal sebagai pendiri Bandung Independent Living Center (BILiC). Ia mendirikan lembaga ini pada 2003 untuk mendorong kemandirian dan mengadvokasi isu disabilitas serta aksesibilitas kaum difabel lewat jalur seni.
Pada 1998, Faisal menikahi Cucu Saidah (47). Pernikahan itu mengantar Faisal mendampingi istrinya menyelesaikan studi S-2 selama 16 bulan di Adelaide, Australia, pada 2016-2017. Di sana Faisal menjumpai fasilitas umum ramah difabel akan mengoptimalkan peran kaum difabel di tengah masyarakat.
Saya naik kursi roda elektronik dan bisa mengendarai sarana transportasi ke mana pun di kota itu.
Faisal berangkat dari Indonesia dengan membawa dua lukisan. Satu di antaranya lukisan yang belum selesai tentang adu domba. Ada dua domba saling beradu kepala. Di Adelaide, lukisan itu kemudian diselesaikan. Satu domba dengan permukaan badan bergambar bendera negara-negara Eropa dan Amerika Serikat, satu domba lainnya dengan bendera negara-negara di Asia Pasifik. Sebuah metafora pertarungan antarbenua.
Akhir 2017, Faisal sempat mewujudkan pameran tunggal di Adelaide. Sebanyak 21 lukisan dipamerkan, termasuk 19 lukisan yang dibuat di Adelaide.
”Fasilitas umum, termasuk sarana transportasi, di Adelaide sudah ramah difabel. Saya naik kursi roda elektronik dan bisa mengendarai sarana transportasi ke mana pun di kota itu,” kata Faisal. Karena fasilitas yang ramah difabel itu, Faisal pun bisa mengikuti klub olahraga.
Hingga kini, selain masih melukis, Faisal juga tergerak bersama komunitasnya terus menggencarkan kampanye kota yang ramah difabel.
Faisal Rusdi
Lahir: Bandung, 2 November 1974
Pendidikan terakhir: Sekolah Luar Biasa (SLB) D/D-1 setingkat SMP di YPAC Bandung (1990)