Di samping mengurusi Dilans Indonesia, Farhan Helmy juga masih aktif bekerja sesuai bidang profesinya sebagai pakar perubahan iklim. Desember lalu, dia membagikan 100 kursi roda untuk aktivis difabel di 10 kota.
Oleh
IGNATIUS NAWA TUNGGAL
·5 menit baca
KOMPAS/NAWA TUNGGAL
Farhan Helmy
Hidup Farhan Helmy (60) berubah ketika ia mengalami kecelakaan lalu lintas pada 2015 yang membuatnya lumpuh. Ketika sudah bisa menerima keadaannya, Farhan mengabdikan hidupnya untuk memperjuangkan kepentingan kaum difabel.
Farhan ditemui Kompas dalam Dengar Pendapat dan Diskusi Terpumpun Open Arms (Lengan Terkembang) di Selasar Sunaryo, Bandung, Jawa Barat, Kamis (9/3/2023). Ia sebagai Presiden Pergerakan Disabilitas dan Lanjut Usia (Dilans Indonesia) periode 2022-2024, ditunjuk menjadi salah seorang narasumber program kepedulian terhadap kaum difabel oleh Yayasan Selasar Sunaryo.
Farhan bercerita tentang beragam jenis disabilitas yang mencakup mental, intelektual, fisik, dan sensorik. Di Indonesia jumlah difabel itu mencapai 23 juta orang. Ia tidak merinci secara spesifik, tetapi khusus bagi difabel fisik seperti dirinya masih menghadapi kekurangan sekitar 6 juta kursi roda.
Ia menyadari bahwa tidak terlalu banyak yang bisa diharapkan dari pemerintah yang hanya fokus pada pemberian pelatihan bagi kaum difabel. Senyatanya kaum difabel harus bergerak sendiri untuk menyuarakan kebutuhan-kebutuhan mereka.
Seperti pada Desember 2022, Dilans Indonesia memulai program 10/100, yakni program membagikan 100 kursi roda elektrik untuk para aktivis difabel yang ada di 10 kota di Indonesia, yakni Bandung, Jakarta, Bogor, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Denpasar, Banda Aceh, Samarinda, dan Palu.
Lingkungan hidup
Farhan lahir dan tumbuh di Kota Bandung sebagai anak pertama dari empat bersaudara. Ayahnya, Hamid Rukana, seorang tentara di masa revolusi fisik kemerdekaan yang juga terlibat dalam penyelenggaraan Konferensi Asia Afrika pada 1955 di Bandung.
Setelah ayahnya meninggal pada 1970, Farhan baru menginjak usia delapan tahun dan tiga adik kandungnya diasuh sang ibu. Ibunya menikah kembali dan Farhan memiliki empat adik lagi dari ayah yang berbeda.
Selepas SMA, Farhan melanjutkan kuliah di ITB dan lulus pada 1988. Setelah itu, ia bekerja di sebuah kantor yang bergerak di bidang lingkungan hidup di bawah naungan Emil Salim. Ketika itu, Emil menjabat sebagai Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup selama periode 1983–1993. Pada 1992, Farhan dikirim ke Jerman untuk mendalami pengetahuan penginderaan jarak jauh untuk kepentingan adaptasi dan mitigasi dampak perubahan iklim global.
Ketika Emil Salim digantikan Sarwono Kusumaatmadja sebagai Menteri Negara Lingkungan Hidup (1993-1998), Farhan masih bekerja di bidang mitigasi terhadap dampak perubahan iklim global. Ia menjadi salah satu negosiator Dewan Perubahan Iklim Nasional hingga pada 2015, kantor yang didirikan Emil Salim itu dilebur ke dalam kelembagaan internal kementerian.
KOMPAS/NAWA TUNGGAL
Farhan Helmy
Tidak berselang lama, antara 2017 dan 2018, Farhan memutuskan untuk mundur dari kelembagaan tersebut dan bergerak sebagai profesional independen di bidang isu perubahan iklim. Pada 2002, Farhan melanjutkan studi jenjang S-2 di Tokyo Institute of Technology (TITech), School of Decision Science and Technology pada Departemen Rekayasa Sosial. Ia lulus dengan meraih keahlian di bidang Kebijakan Publik dan Desain Sistem Publik pada 2004.
Selama sekitar empat tahun, Farhan bekerja di Jepang sambil melanjutkan studi jenjang S-3 meski kandas. Pada 2008, ia kembali ke Tanah Air dan bekerja kembali sebagai profesional independen di bidang lingkungan hidup, sumber daya alam, tata kelola dan penilaian kebijakan, serta isu perubahan iklim global. Keahlian dan pengalaman Farhan membuat dia mempunyai peran penting di berbagai jaringan global ataupun nasional untuk isu-isu perubahan iklim.
Pengubah jalan
Hingga suatu ketika pada 2015, Farhan mengalami kecelakaan yang membuatnya kini menjadi bagian dari difabel berkursi roda. Saat itu, dia menumpang ojek yang ketika melintasi rel kereta api di kawasan Kiara Condong, Bandung, ojek yang ia tumpangi terpeleset. Tubuh Farhan terpelanting dan mengenai besi rel hingga mengakibatkan luka serius pada bagian tulang belakangnya. Akibat kecelakaan itu, Farhan mengalami kelumpuhan.
Sampai di tahun 2021, Farhan terus berusaha memahami keadaan dirinya yang berubah menjadi difabel. Hingga pada tahun itu terserang virus Covid-19 varian Delta yang paling ganas dan mematikan.
”Di saat menjalani perawatan karena Covid-19, saya berdoa, kalau bisa lolos untuk kedua kali dari yang pertama karena kecelakaan, saya ingin mendedikasikan separuh waktu saya untuk memberi perhatian kepada kaum difabel. Ini juga karena sejak 2015 saya merasakan sendiri bagaimana menjadi seorang difabel yang selalu terpinggirkan,” ujar Farhan.
Tidak mudah menjalani perawatan sebagai paraplegia. Tidak semua pengeluaran bisa diganti asuransi atau BPJS. Uang yang tidak sedikit tetap harus dikeluarkan. Beban Farhan sempat memuncak ketika pada 2018 istrinya meminta berpisah. Ia terus melanjutkan kehidupannya dengan penuh ketegaran meski masalahnya bertumpuk-tumpuk.
Pada 2021, Farhan pulih dari Covid-19. Hingga suatu ketika bertepatan di Hari Disabilitas Internasional 3 Desember 2021, bersama 19 rekan difabel dan orang lansia dari sejumlah kota Farhan mendeklarasikan berdirinya Pergerakan Disabilitas dan Lansia Indonesia, disingkat Dilans Indonesia. Farhan jadi Presiden Dilans Indonesia periode 2022–2024.
Untuk menopang kebutuhan anggaran, Dilans Indonesia saat ini memiliki sedikitnya 80 Sahabat Dilans. Sebanyak 80 orang itu dihimpun melalui Program 500 Sahabat Dilans yang menyumbangkan masing-masing uang senilai Rp 5 juta. Dari sejumlah itu, sebesar Rp 1,5 juta dikembalikan dalam wujud suvenir khas Dilans Indonesia, sisanya untuk menunjang berbagai program Dilans Indonesia.
Di samping mengurusi Dilans Indonesia, Farhan juga masih aktif bekerja sesuai bidang profesinya semula. Tahun 2023 ini, Farhan menerbitkan beberapa buku, di antaranya Inklusi Sosial dan Ruang Publik: Sketsa Persoalan dan Imajinasi untuk Keberlanjutan Perkotaan.
Inilah sebagian perjuangan Farhan sebagai difabel paraplegia. Kata kuncinya sederhana: tidak menyerah.
Farhan Helmy
Lahir: Bandung, 27 Desember 1962
Kegiatan: Presiden Pergerakan Disabilitas dan Lansia Indonesia (2022–2024)