Kahi Ata Ratu, Main Jungga sampai Akhir Hayat
Setelah sekian lama bermain jungga, harapan Ata Ratu sederhana saja. Dia ingin jungga terus lestari di tangan anak-anak muda Sumba.
![Ata Ratu Seniman alat musik jungga](https://cdn-assetd.kompas.id/u940JOY2glaJmO5XExP_2X3amMw=/1024x683/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F03%2F27%2F98a5cda0-947a-4d87-a4a6-2398a40bfe18_jpg.jpg)
Ata Ratu Seniman alat musik jungga
Sudah lebih dari 50 tahun Kahi Ata Ratu (60) bergelut dengan jungga. Meski banyak rintangan, perempuan berjuluk Queen of Jungga atau Ratu Jungga ini tak pernah menyerah. Kahi Ata Ratu berteguh akan terus bermain jungga sampai akhir hayatnya kelak.
Kahi Ata Ratu adalah perempuan maestro jungga asal Sumba Timur, Nusa Tengga Timur. Sejak umur delapan tahun, saat masih duduk di kelas 3 Sekolah Dasar, Ata Ratu sudah jatuh cinta pada jungga dan terus mendedikasikan hidupnya untuk jungga hingga saat ini.
Jungga adalah alat musik tradisional khas Sumba yang dimainkan dengan cara dipetik serupa kecapi atau ukulele. Banyak orang menyebutnya gitar tradisional Sumba. “Saya tertarik karena saya melihat orang lain memainkannya. Lalu saya ingin ikut belajar,” ujar Ata Ratu, saat ditemui Jumat siang (17/3/2023) di Bali.
Hari itu Ata Ratu tampil di Festival Musik Joyland Bali 2023 yang digelar Promotor Plainsong Live hingga Minggu (19/3) di Peninsula Island, Nusa Dua, Bali. Penampilan Ata Ratu di festival tersebut menggenapi beragamnya genre musisi yang ditampilkan Joyland Bali.
Di panggung Lily Pad yang terletak di pinggir pantai di kawasan Peninsula Island, Ata Ratu membawakan empat lagu. Keempat lagu itu adalah “Himbu Pamanyarang Nduma Lurinda” yang berkisah tentang perjuangan hidup Ata Ratu sebagai seniman jungga; “Mai La Humba” yang artinya Mari datang ke Sumba, tentang ajakan untuk berkunjung ke Sumba; “Mayilla ‘da Lurima” yang artinya Sengsara Hidup Kami, berkisah tentang yatim piatu; dan “Ludu Pahiawa” yang merupakan lagu perpisahan dengan para audiens.
Baca juga: Luddy Wullur, Kumandang Kolintang dari Lembean
Di antara debur ombak, vokal Ata Ratu saat menyanyi terdengar kuat dan lantang. Ini adalah buah dari usahanya selama ini, sama sekali tak menjamah makanan pedas dan berminyak. Begitu pula dengan petikan jungga yang dimainkannya, lantang dan percaya diri.
Agar bisa menghasilkan nada yang tepat, senarnya yang terbuat dari tali rem motor, harus dikencangkan menggunakan tang. Itulah mengapa ke manapun Ata Ratu pergi dengan jungga-nya, tang-nya selalu ikut serta. “Kemarin sempat ditahan di bandara,” ujar Nency Dwi Ratna, manager yang kini setia menemani Ata Ratu setelah suami Ata Ratu tutup usia tahun 2017. Sebelumnya, setiap kali tampil memainkan jungga, Ata Ratu selalu ditemani suaminya yang seorang penari.
Keterlibatan suami Ata Ratu tersebut, dapat dikatakan sebagai wujud dukungannya atau izin untuk Ata Ratu. Dalam tradisi Sumba, jungga umumnya hanya dimainkan oleh laki-laki. Perempuan tidak lazim bermain jungga karena secara kultural dianggap lebih bertanggung jawab mengurus rumah tangga.
Toh hal itu tak menghentikan semangat Ata Ratu. Bersama dua orang teman perempuannya, Ata Ratu kecil berguru pada Retang Laki Djawa, salah seorang pemain jungga di kampungnya, Kampung Payeti, Desa Tambori, Sumba Timur. “Belajarnya tidak lama. Langsung bisa,” kata Ata Ratu. Ata Ratu adalah nama sang nenek yang disematkan kepadanya sebagai bentuk penghormatan. Namanya sendiri adalah Kahi.
Kala itu tahun 1971, Ata Ratu belajar menggunakan jungga senar empat yang diadaptasi dari daerah Sabu. Orang Sabu yang banyak bermigrasi ke Sumba, konon juga membawa jungga dan biasa memainkannya saat menyadap due (nira) di atas pohon. Lagu-lagu yang dimainkan bertempo cepat atau bercorak pop seperti lagu-lagu cinta atau nyanyian kepada alam, dalam lokal bahasa Kambera.
![Penonton menyaksikan penampilan Ata Ratu di festival musik Joyland Bali 2023 yang berlangsung di Peninsula Island, Nusa Dua, Bali, Jumat (17/3/2023). Ata Ratu adalah seorang seniman musik tradisional serta pencipta lagu-lagu Sumba.](https://cdn-assetd.kompas.id/2MwxSdUInwoTaWwiQ1yCx2mHIFE=/1024x664/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F03%2F17%2F82974556-9ee4-425a-ac09-d0ab2776cd59_jpg.jpg)
Penonton menyaksikan penampilan Ata Ratu di festival musik Joyland Bali 2023 yang berlangsung di Peninsula Island, Nusa Dua, Bali, Jumat (17/3/2023). Ata Ratu adalah seorang seniman musik tradisional serta pencipta lagu-lagu Sumba.
Sementara itu, jungga senar dua lebih banyak digunakan untuk memainkan lagu-lagu pada ritual adat menggunakan lawiti, serupa pantun atau peribahasa yang memiliki makna dalam. Ata Ratu mahir memainkan keduanya.
Mendobrak
Saat duduk di kelas 6 SD, pada usia 11 tahun, Ata Ratu harus meninggalkan bangku sekolah. Selain faktor ekonomi, juga karena pendidikan kala itu memang tidak menjadi prioritas. Namun, Ata Ratu tetap tekun mempelajari jungga. “Waktu belajar (jungga) suka dimarahi mama karena tidak kerja membantu. Tetap main saja,” kenang Ata.
Pernah suatu ketika, saat diminta mengambil air di tempat yang cukup jauh dari rumah, Ata meninggalkan tempayan airnya begitu saja karena melihat orang sedang memainkan jungga. Dia lalu ikut bermain hingga lupa waktu.
Menjelang magrib seluruh kampung heboh mencarinya karena mengira Ata Ratu jatuh ke dalam sumur. “Pulang-pulang kena marah,” kata Ata Ratu kecut.
Ata Ratu memang nekat. Semua karena ketertarikannya yang kuat pada jungga. “Ini saya suka sekali. Tidak mungkin saya tidak memainkannya. Di telinga saya rasanya seperti menyanyi terus. Tidak tahu ini dari mana,” katanya.
Umur 13 tahun, bermodal jungga pemberian sang guru, Ata Ratu menciptakan lagu pertamanya. Kemampuannya itu terus terasah, tak ada yang bisa membendungnya pun suaminya ketika akhirnya Ata Ratu menikah.
Suaminya memang sempat melarang, tapi akhirnya memberi izin. Syaratnya, setiap kali Ata Ratu tampil bermain jungga, suaminya harus ikut, turut menari. Lambat laun, restu mengalir tanpa paksaan. Suaminya bahkan kemudian membelikan jungga sebagai tanda restu dan izin bagi sang istri.
Baca juga: Lenjau Udau Merawat Desa Budaya Pampang
“Dulu itu dilarang karena orang Sumba rata-rata cemburunya tinggi. Tapi mungkin juga karena tradisi patriarki. Di Sumba, perempuan tidak boleh terlalu menonjol atau melebihi laki-laki,” kata Nency.
Situasi ini berbeda dengan kedua teman perempuan Ata Ratu yang sama-sama belajar jungga. Mereka harus berhenti karena dilarang suami mereka. Praktis Ata Ratu menjadi satu-satunya perempuan pemain jungga di Sumba yang sekaligus mampu menciptakan lagu. Kemampuan ini sangat jarang dimiliki perempuan di Sumba.
Jungga akhirnya menjadi jalan bagi Ata Ratu mendobrak kultur patriarki. Jungga juga memberi kehidupan. Setiap kali orang datang kepadanya untuk membuatkan lagu, mereka biasanya memberikan imbalan dengan membawa kopi, gula atau beras.
“Lagu itu nanti dibawa dengan kaset kosong. Itu dulu, zaman masih menggunakan kaset,” kata Ata Ratu.
Dalam proses penciptaannya, tidak jarang, sebelum menciptakan lawiti di lagu-lagunya, malam hari sebelumnya Ata Ratu sudah lebih dulu mendapatkan penglihatan. Namun ada kalanya, proses penciptaan terjadi sangat spontan berdasar sumber cerita yang lalu dikaitkan dengan lawiti, atau yang menyiratkan dengan itu.
Hingga kini, tak terhitung lagu telah telah diciptakan oleh Ata Ratu. Mungkin ribuan. Dia juga lantas kerap diundang ke berbagai acara. Awalnya di lingkup pemilihan kepala desa atau pemilihan Bupati, lalu merembet ke acara-acara pariwisata.
Namun dia merasa dukungan pemerintah setempat masih minim. Padahal peran dan kontribusinya tak main-main. Karya Ata Ratu misalnya, sempat dirilis oleh Smithsonian/Folkways dalam album kompilasi Music of Indonesia – Vol 20 : Indonesian Guitars (1999). Ia juga tampil di Europalia di Belgia di tahun 2017. Dia juga menggarap proyek “Perempuan Sumba & Musik Tradisionalnya” bekerja sama dengan Ford Foundation & Cipta Media Ekspresi.
Setelah sekian lama, harapannya sederhana. Dia ingin, jungga terus lestari di tangan anak-anak muda Sumba. Hatinya resah. Selama ini, jungga hanya dianggap sebagai bagian dari masa lalu, kuno, dan tak relevan dengan zaman. Di sisi lain, memang ada kendala bahasa yang memperlebar kesenjangan antara jungga dengan generasi penerusnya.
“Saya mau kasih latihan untuk generasi muda. Supaya ada yang meneruskan,” harap Ata Ratu tak gentar. Seperti tato mahang (singa) di lengan kirinya yang melambangkan keperkasaan, Ata Ratu ingin terus memetik jungga hingga akhir hayatnya kelak.
Kahi Ata Ratu
Lahir: Sumba Timur, 16 Maret 1963