Maria Magdalena Wambekai, Kegigihan Wanita Tani Papua
Maria Magdalena Wambekai membuktikan, wanita tani Papua memiliki keuletan untuk menjadi petani.
Oleh
AHMAD ARIF, SAIFUL RIJAL YUNUS
·5 menit baca
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Maria Magdalena Wambekai di Kampung Bokem, Desa Rimba Raya, Distrik Merauke, Kabupaten Merauke, Papua, Senin (14/11/2022). Maria giat belajar dari mereka yang tahu hingga paham dan berani mencoba untuk bertani.
Dari semula tidak memiliki pengetahuan sama sekali soal bercocok tanam padi, Maria kini menjadi salah satu wanita tani senior di Kampung Bokem, Distrik Merauke. Tak hanya mengurus sawah milik sendiri, ia juga menyediakan jasa tanam dan jasa panen untuk sawah orang lain. Maria juga membimbing perempuan muda di kampungnya menanam padi.
”Saya mulai bertani tahun 2010. Waktu itu terpaksa karena kalau tidak tanam, susah makan,” kata Maria di sore yang teduh, Senin (14/11/2022). Ia bercerita sambil memangku anak bungsunya yang sedang rewel di depan rumahnya di Kampung Bokem, Distrik Merauke, Papua Selatan.
Bokem merupakan kampung baru, yang penduduknya merupakan campuran penduduk asli Papua dan pendatang, umumnya dari Jawa, Nusa Tenggara Timur, dan Sulawesi. Tak hanya Marind-anim sebagai pemilik ulayat di Merauke, di Bokem juga ada suku-suku lain dari Papua, kebanyakan suku Mandobo yang datang dari Kabupaten Boven Digoel.
Dengan situasi itu, Maria masih berusaha melanjutkan pendidikan di sekolah menengah. Namun, ia akhirnya tidak bisa menyelesaikan karena faktor biaya. Ia sempat tinggal di panti asuhan, tetapi memilih keluar.
Maria remaja lalu kembali ke kampung untuk mengurus adik-adiknya, dengan dukungan keluarga besarnya. Namun, kehidupannya yang lebih banyak bergantung kepada keluarga besar membuatnya tak tenang. Di usia yang muda, saat baru ulang tahun ke-17, ia akhirnya menikah.
Namun, pernikahan bukanlah akhir dari tekanan hidup. ”Akhirnya, tahun 2010 itu beranikan diri sama suami olah lahan. (Almarhum) bapak punya 1/4 hektar sawah, tetapi lama tidak diolah. Akhirnya beranikan tanam padi, tetapi hasilnya tidak bagus,” cerita Maria.
Saat itu, ia hanya tahu sedikit-sedikit tentang bertani. Suaminya, Yohanes Kairen, pun sama saja. Satu yang ia pahami, saat melakukan penyemaian bibit, dibutuhkan waktu 21 hari sebelum masa tanam. Ilmu itu ia peroleh dari kerabat yang telah lebih dulu menanam. Namun, setelah ditanam, padi dibiarkan tanpa dirawat sehingga hasilnya sangat kecil.
Padahal, untuk menanam padi dibutuhkan biaya tidak sedikit. Sewa traktor untuk membajak sawah mencapai Rp 500.000. Jika memakai jasa tanam dan semai memerlukan biaya hingga Rp 1 juta. Panen juga membutuhkan biaya. Belum lagi lahannya punya orang lain, harus setor 100 karung beras untuk setiap hektar lahan.
Maria tidak patah arang. Ia belajar langsung dari para petani senior di Bokem, yang mayoritas pendatang. Setahun berselang, ia sudah mahir sistem tanam ”jajar legowo”. Sistem tanam dengan jarak yang direkayasa ini memungkinkan hasil yang lebih baik dengan jarak benih yang diatur.
Satu hal yang dia pelajari kemudian, tanaman padi harus terus dirawat sejak tanam hingga panen. Selain menjaga sistem pengairan, juga harus telaten memastikan tanaman aman dari hama dan gulma pengganggu.
”Kalau dirawat, hasil pasti bagus. Tahun lalu panen bisa sampai 1,2 ton beras,” ceritanya. ”Apalagi kami tanamnya itu jenis pandan wangi dengan sistem organik. Beras jenis ini jualnya lebih bagus, jadi kami terus tanam.”
Maria juga belajar banyak dari penyuluh pertanian lapangan (PPL) yang rutin datang ke Kampung Bokem. Novianti Rantemanik (37), PPL dari Dinas Tanaman Pangan Hortikultura dan Perkebunan Merauke, kebetulan memang aktif ke sana.
Saat dikonfirmasi, Novianti mengatakan, Maria termasuk wanita tani yang aktif dan bersemangat. Sejak dia menjadi PPL di Bokem pada 2010, Maria mulai terlibat dalam berbagai program dan kegiatan yang dilakukan.
”Semangat belajarnya tinggi sekali, sampai Ibu Maria dan teman-temannya yang cari kami. Kalau waktu kosong, mereka selalu tanya apa ada kegiatan lagi. Dari situ mereka terus belajar, baik sistem tanam, perawatan, maupun panen,” kata Novianti.
Menurut kesaksian Novianti, Maria juga telaten dan mengikuti setiap petunjuk baru yang diberikan. ”Sekarang beliau menjadi contoh buat teman-temannya yang lain. Jadi, kalau kami bilang, jadi petani perempuan di Bokem itu bisa untuk menjadi mata pencarian utama. Kendalanya hanya modal dan lahan,” tuturnya.
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Mesin pemotong padi digunakan dalam panen di Kampung Bokem, Desa Rimba Jaya, Distrik Merauke, Kabupaten Merauke, Papua, Kamis (17/11/2022). Kampung Bokem menjadi salah satu contoh kawasan yang berhasil mengembangkan tanam hingga panen padi dengan hasil memuaskan di Merauke.
Kelompok perempuan
Tidak hanya menanam padi untuk keperluan sendiri, Maria kemudian tergabung dalam kelompok tani perempuan di Bokem. Dia pun mengajak para perempuan tani lainnya untuk mencari penghasilan tambahan sebagai penyedia jasa semai, cabut, tanam, hingga panen.
Satu tim pekerja jasa semai dan cabut benih bisa mendapat bayaran hingga Rp 1,5 juta per ha. Jika mereka bekerja sebanyak 10 orang, artinya setiap orang mendapatkan Rp 150.000 per hektar. Sementara itu, jasa tanam di kisaran Rp 1,8 juta.
Sebagian anggota kelompok perempuan ini adalah anak-anak muda, yang baru belajar bertani. Maria yang lebih senior menjadi salah satu pembimbingnya. Dengan itu, terjadi regenerasi para petani di Kampung Bokem.
Bagi Maria, pekerjaan sebagai jasa semai hingga panen ini telah memberikan tambahan pendapatan yang signifikan. Ia biasanya menggunakan uang itu untuk kebutuhan harian dan sekolah anak.
Sementara dari hasil sawah miliknya sendiri dikhususkan untuk dijual. Untuk kebutuhan makan sehari-hari, ia juga menanam padi di sepetak lahan di belakang rumahnya. Di ladang itu, dia juga menanam sayuran. Tak hanya itu, dia juga beternak babi dan ayam untuk kebutuhan tak terduga. Sementara itu, suaminya mencari penghasilan tambahan sebagai pekerja bangunan.
Daya tahan petani di Bokem teruji saat pandemi Covid-19 sejak awal 2020. Hasil panen masyarakat termasuk tinggi. Ketika di kota sulit pekerjaan, para petani di Bokem masih bisa bertahan. Bahkan, banyak warga yang merantau di kota kembali pulang untuk bertani.
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Maria Magdalena Wambekai di Kampung Bokem, Desa Rimba Raya, Distrik Merauke, Kabupaten Merauke, Papua, Senin (14/11/2022). Maria giat belajar dari mereka yang tahu hingga paham dan berani mencoba untuk bertani.
Meski pertanian saat ini telah menjadi jalan hidup Maria dan teman-temannya, berbagai kesulitan juga masih kerap datang, terutama ketersediaan lahan. Sayangnya, lahan dari cetak sawah baru yang di Kampung Bokem seluas sekitar 200 ha pada 2018, yang pengerjaannya dilakukan tentara, hanya sekitar 20 ha bisa ditanami. Banyak petani yang sudah mencoba menanami lahan di cetak sawah baru ini, tetapi akhirnya gagal panen dan mengalami kerugian.
Kadar pH di lahan baru itu terlalu asam. Selain itu, saluran irigasinya belum terhubung, antara saluran primer, sekunder, dan tersier. Akibatnya, saat kemarau menjadi sangat kering dan musim hujan kebanjiran.
Selain persoalan lahan, Maria juga berharap ada bantuan alat-alat pertanian, terutama untuk mengolah lahan, yang biaya sewanya dengan alat berat sangat mahal. Jika hal itu dipenuhi, menurut dia, akan lebih banyak orang asli Papua yang menjadi petani, setidaknya di Kampung Bokem.