Agustinus Dayo Mahuze Mempertahankan Hutan untuk Kehidupan
Bagi Agustinus Dayo Mahuze, mempertahankan hutan adalah untuk kehidupan masa kini dan masa depan anak-cucu.

Kepala Marga Mahuze Besar di Muting, Agustinus Dayo Mahuze, di Kampung Mbilanggo, Distrik Muting, Kabupaten Merauke, Papua, Selasa (15/11/2022).
Segala bujuk rayu hingga tekanan dan ancaman bersenjata tak menggoyahkan Agustinus Dayo Mahuze (39) agar memberikan tanah ulayat marga Mahuze ke perusahaan sawit, sekalipun marga lain sudah menyerah. Kepala Marga Mahuze Besar di Muting, Kabupaten Merauke, di Papua Selatan itu kukuh bertahan demi masa depan anak cucu.
”Tanah yang kami sudah ambil ini bukan untuk kasih ke orang. Ini untuk anak cucu kamu orang untuk mereka bisa makan di atas tanah mereka sendiri,” Agus menerjemahkan pesan leluhurmya, saat kami temui di rumahnya, Kampung Mbilanggo, Distrik Muting, sekitar 250 kilometer pusat kota Merauke. Di kampung ini Agus tinggal bersama 184 keluarga besarnya.
Sebelumnya, Alfons Pali Mahuze (69), tokoh adat Mahuze Besar, menyampaikan pesan itu dalam bahasa Marind Anim. Wasiat dari leluhur itulah yang memberi kekuatan Agus Dayo, demikian dia biasa dipanggil, untuk menolak menyerahkan tanah ulayat mereka ke perusahaan.

Alfons Fali Mahuze (69) tengah bersama warga di Kampung Mbilanggo, Distrik Muting, Kabupaten Merauke, Papua, Selasa (15/11/2022). Warga dari Marga Mahuze di Kampung Mbilango menolak hutan dibuka karena hutan menjadi tempat mencari makan dan warisan untuk anak cucunya nanti.
”Selama saya masih hidup akan tetap menolak sawit. Kami tidak mau musnah. Tanah ini untuk makan kami sehari-hari,” ujar Agus Dayo.
Menurut dia, tanah ulayat marga ini didapatkan melalui pertumpahan darah dan kesepakatan dengan marga-marga lain di masa lalu. ”Kami tidak mau seperti marga lain yang menyerahkan tanah ulayat ke perusahaan. Bukan kami menolak pembangunan, melainkan tidak harus semuanya jadi kebun sawit,” katanya.
Menolak sawit
Ujian terbesar marga Mahuze terjadi pada 2012, salah satu perusahaan sawit, PT Agriprima Cipta Persada (ACP), datang ke Muting. Perusahaan ini merupakan satu dari puluhan perusahaan yang mendapatkan konsesi di Merauke seiring dengan proyek raksasa Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE), yang menargetkan untuk mengonversi 1,2 juta hektar lahan dan hutan di Merauke sebagai agroindustri pertanian dan energi.
Sungai jadi dangkal dan tercemar. Hutan sagu hilang. Dorang (mereka) kesulitan cari makan, ada yang jadi buruh di tanah sendiri. Kami tidak mau itu.
Sebagai salah satu pemegang hak ulayat di Muting, marga Ndiken sepakat untuk menyerahkan tanah mereka ditanami sawit. Namun, marga Mahuze, menolak. Menurut Agus, penolakan marganya itu karena mereka telah melihat dampak buruk industri sawit ini di distrik tetangga, Ulilin.

Hunian warga di Kampung Mbilanggo, Distrik Muting, Kabupaten Merauke, Papua, Selasa (15/11/2022). Warga dari marga Mahuze di Kampung Mbilango menolak hutan dibuka karena hutan menjadi tempat mencari makan dan warisan untuk anak cucunya nanti.
”Sungai jadi dangkal dan tercemar. Hutan sagu hilang. Dorang (mereka) kesulitan cari makan, ada yang jadi buruh di tanah sendiri. Kami tidak mau itu,” kata Agus Dayo.
Bahkan, dampak buruk itu sebenarnya juga telah dirasakan marga Mahuze di Muting. Sungai Bian, yang mengelilingi wilayah mereka semakin dangkal dan tercemar karena banyak perkebunan sawit telah dibangun di hulu.
Namun, perusahaan ternyata berhasil mendapatkan tanda tangan dari Linus Mahuze, kepala marga sebelum Agus. Linus juga disebut telah menerima uang tali asih dari perusahaan sebesar sekitar Rp 300 juta, dan itu dijadikan dasar penyerahan tanah sekitar 9.000 hektar.
Baca Juga: Laorensius Wadam Gebze, Pemburu yang Menjadi Petani
Menurut Agus Dayo, yang dikuatkan oleh Agus Omben Mahuze (45), Sekretaris Marga Mahuze Besar di Muting, penandatangan itu tidak dilakukan di kampung. Saat itu, Linus kerap dibawa ke Jakarta oleh perusahaan.
Keputusan Linus ini menuai protes warga, termasuk Agus. Keputusan itu tidak pernah dimusyawarahkan. Di tengah gejolak ini, Linus meninggal.

Pabrik pengolahan kelapa sawit di Distrik Muting, Kabupaten Merauke, Papua, Selasa (15/11/2022). Setelah pemerintah pusat melirik Merauke sebagai lumbung pangan baru di Indonesia, berbagai proyek berkembang pesat yang berdampak ke masyarakat, hutan, dan sungai-sungainya.
Namun, sekitar 2015, berbekal ”tanda tangan” Linus, perusahaan kemudian mulai mengerahkan alat berat untuk membongkar hutan milik marga Mahuze Besar. Agus Dayo, yang baru terpilih sebagai Kepala Marga Mahuze Besar menggantikan alrmahum Linus kemudian menggelar ritual adat untuk menolak pembukaan hutannya.
Marga Mahuze memasang patok ”sasi”, tanda larangan di batas tanah ulayat mereka, agar perusahaan menghentikan upaya pembukaan hutan. Namun, patok sasi itu dicabut, yang kemudian dipasang lagi oleh orang-orang Mahuze. Demikian berulang kali terjadi.
Marga Mahuze marah besar. Sesuai dengan kepercayaan, pencabutan patok sasi yang ditanam dengan upacara adat, telah melecehkan marwah suku. Hal itu karena pemasangan patok tak hanya dilakukan mereka, tetapi menurut mereka juga disaksikan oleh roh nenek moyang. Warga juga melaporkan tindakan perusahaan kepada Kepolisian Sektor Muting.
Baca Juga: Marind Anim yang Dipaksa Meninggalkan Sistem Pangan Lokal
Namun, sengketa itu tak berhenti. Marga Mahuze juga telah menyepakati untuk mengembalikan uang yang pernah diterima mantan ketua marga mereka ke perusahaan. Negosiasi panjang dan alot pun dilakukan. Ancaman juga datang berulang kali, bahkan pernah datang aparat keamanan mencari Agus hingga ke rumahnya.
Agus dan keluarga besarnya masih bertahan. Hingga saat ini, marga Mahuze Besar di Muting masih menguasai 127.000 hektar lahan ulayat mereka. Lebih dari separuhnya masih berupa hutan belantara dan rawa-rawa. ”Sebagian tanah kami sebelumnya sudah kami relakan untuk ditempati transmigran. Kami tetap menolak kalau diambil untuk sawit,” katanya.

Hunian warga di Kampung Mbilanggo, Distrik Muting, Kabupaten Merauke, Papua, Selasa (15/11/2022). Warga dari marga Mahuze di Kampung Mbilanggo menolak hutan dibuka karena hutan menjadi tempat mencari makan dan warisan untuk anak cucunya nanti.
Hutan, menurut Agus Dayo, ibarat swalayan. Namun, bedanya hutan memberikan kepada mereka secara gratis, tinggal ambil. ”Dari makanan sampai obat tersedia di hutan. Lihat sekarang marga lain yang tanahnya telah jadi sawit untuk masuk ke tanah leluhurnya sendiri harus minta-minta izin,” katanya.
Selain menjadi sumber hidup tempat mereka mencari sagu dan binatang, menurut Agus, di dalam hutan yang tersisa ini juga ada lokasi-lokasi keramat. Tempat sakral ini dipercaya menjadi tempat roh nenek moyang mereka sehingga harus tetap dijaga.
Perubahan
Agus mengatakan, sekalipun masih bisa bertahan menjaga hutan ulayat, kehidupan warganya tidaklah mudah saat ini. Di wilayahnya terjadi perubahan lingkungan besar-besaran, yang terjadi terutama sejak 2012 atau setelah banyak perkebunan sawit di sekitar lingkungan mereka.
Hutan yang dulu menghampar luas telah menyusut dan rawa-rawa dan sungai yang saling terhubung itu mulai tercemar. ”Rawa-rawa kami saat musim hujan jadi merah. Air tanah turun. Di rumput-rumput yang bekas kebanjir tanahnya lengket. Kalau dulu air bersih,” katanya.

Jalan kampung di Kampung Andaito, Distrik Muting, Kabupaten Merauke, Papua, Selasa (15/11/2022). Bau busuk rutin tercium saat pabrik yang berjarak kurang dari satu kilometer beroperasi.
Agus sadar betul, marga Mahuze tidak bisa bertahan sendirian. ”Dulu cari makanan gampang. Kalau mau cari daging. Semua serba ada. Tinggal ambil saja. Sekarang masih ada hewan buruan, tapi harus jalan jauh. Harus bermalam baru bisa dapat. Kadang tidak dapat juga,” katanya.
Tantangan berat berikutnya, yaitu terjadinya perubahan pola makan, seiring dengan banyaknya pendatang, termasuk dari perusahaan dan transmigran. ”Waktu saya masih SD sampai SMP masih makan sagu sehari-hari. Tahun 2003 mulai terjadi perubahan. Akses jalan mulai ada, banyak pendatang dan penjual. Lalu ada bantuan raskin (beras miskin), anak-anak mulai mengenal beras,” katanya.
Perlahan namun pasti, sagu dan aneka sumber pangan tradisional lain seperti petatas dan keladi mulai ditinggalkan. ”Sekarang, anak-anak sudah terbiasa dengan beras. Tapi, kami harus beli dan itu butuh uang,” katanya.
Baca Juga: Kedaulatan Pangan Papua
Menurut Agus Dayo, warga memang masih menokok sagu, tetapi bahan pangan ini hanya dimakan jika ada lauk pauk dari hasil buruan atau ikan. ”Sagu tidak bisa dimakan kosong, kalau nasi kosong anak-anak mau,” katanya.
Menurut dia, perubahan memang tak bisa dihindarkan dan mempertahankan kehidupan sebagai pemburu dan peramu tidak akan mudah. Oleh karena itu, warga Mahuze pun mulai menanam aneka tanaman. Seperti terlihat di sekitar rumahnya, aneka tanaman buah tumbuh subur, mulai dari rambutan hingga durian.
Sebagian warga juga tanaman komoditas seperti vanili dan kopi. ”Bantulah kami, pendidikan anak-anak, tetapi bukan dengan mengambil tanah kami,” kata Agus.
Biodata:
Nama: Agustinus Dayo Mahuze (39)
Jabatan: Kepala Marga Mahuze Besar di Muting
Sekolah: Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) di Merauke 2004.
Tulisan ini didukung Rainforest Journalims Fund-Pulitzer Center