Farhan Siki Mendobrak Stigma Seni Jalanan
Farhan Siki anak petani Lamongan mendunia lewat seni jalanan.
Farhan Siki menyebut dirinya sebagai anak anomali keluarga petani di Lamongan, Jawa Timur ketika memilih seni jalanan untuk mewarnai kehidupannya. Ia menjamah sudut-sudut "terlarang" di tengah Kota Surabaya, Bandung, Jakarta, Yogyakarta, bahkan sampai kota mode dunia Milan, Italia, demi memuntahkan cat semprotnya menjadi seni grafiti atau mural di jalanan.
Pencapaian Farhan (51) sebagai pemenang utama penghargaan Painting of the Year 2022 UOB mendobrak stigma “street art” atau seni jalanan yang selama ini dilabeli hanya mengotori dinding-dinding kota. Pelakunya sering dicap berandal dan ilegal. Karya seninya dinilai mandek, tidak beranjak ke mana-mana.
Dari kompetisi tahunan itu, ia mendapat hadiah Rp 250 juta dan berhak residensi selama sebulan di Fukuoka Asian Art Museum, Jepang. Pada Painting of the Year 2022 UOB, ia menampilkan karya stensilan menjadi lukisan di atas kanvas yang diberi judul ”Build, Destroy, Rebuild (The Modern Sisyphus)”. Ini karya satire bagi kemanusiaan yang suka membangun, menghancurkan, dan membangun kembali sebagai kesia-siaan seperti mitologi Sisyphus dari Yunani.
Farhan bercerita, butuh energi besar setiap kali menorehkan gagasan seni di jalanan, termasuk keberanian dihujat warga atau ditangkap petugas ketertiban. Pilihan yang harus diambil yaitu mengerjakan karya dengan cepat. Untuk itu, sejak awal ia memilih media cat semprot dan teknik stensil yang menggunakan cetakan. Tinggal semprot cat dan jadi. Biasanya cetakan semprotan cat membentuk kata dengan huruf-huruf yang digayakan secara artistik.
“Energi untuk menciptakan seni di jalanan itu sangat besar, sehingga ketika diajak untuk memindahkan karya di kanvas menjadi lebih ringan,” ujar Farhan, Kamis (8/12/2022). Saat itu ia berada di Singapura untuk mempersiapkan pameran tunggal bertajuk ”Without Beginning/Without End” di Linda Gallery, 9 Desember 2022 hingga 25 Januari 2023.
Di lembar pengumuman elektronik pameran itu, Farhan disebut sebagai “The Asian Banksy” atau Banksy-nya Asia. Banksy sebutan untuk tokoh seniman grafiti asal Inggris, yang pernah menciptakan banyak grafiti ilegal sejak 1990-an di Bristol, Inggris, dan meluas hingga rumah-rumah pelelangan karya seni di Inggris dan Amerika Serikat.
Karya seni grafiti di jalanan, apalagi di ruang publik yang terlarang, biasanya menyembunyikan identitas pembuatnya. Itu karena karyanya bersifat melawan hukum.
Mengikuti geng Farhan tidak pernah menyebut dirinya sebagai seniman jalanan, tetapi label itu akhirnya melekat juga. Ia mengisahkan, beberapa waktu setelah lulus SMA Negeri 2 Lamongan pada 1991, ia sering pergi ke Surabaya. Di sana ia ikut geng Accept Society dan mulai garang menorehkan seni grafiti di jalanan di wilayah Surabaya utara sampai sekitar 1995.
Di tengah pergaulannya di Surabaya, pada 1992 ia mendaftar dan diterima kuliah di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember, Jawa Timur. Di situ, ia bergabung dengan kelompok studi melukis hingga lulus pada 2000. Selama kuliah, Farhan masih menyambangi kawan-kawan Accept Society di Surabaya hingga tahun 1995. Seperti biasa, mereka nongkrong dan sesekali membuat seni jalanan di kota itu.
Selepas kuliah di Jember, Farhan mulai beralih kota. Ia menjelajahi kota Bandung, Jakarta, dan akhirnya menetap di Yogyakarta sejak lebih dari 11 tahun silam sampai sekarang. Ia juga beberapa kali berkunjung ke kota-kota penting di Eropa untuk pameran dan bergabung dengan jejaring pertemanan seni jalanan di sana. Ketika di Bandung (2000-2001), Farhan ikut membuat mural di jalanan. Setelah itu ia ke Jakarta. Ia sempat bergabung dengan komunitas Ruang Rupa pada 2001.
Baca juga :Meliantha Melampaui Keindahan
Salah satu proyek bersama Ruang Rupa adalah Jakarta Habitus Publik. Hampir bersamaan dengan itu, ia mulai sering bermain ke Yogyakarta. Ia pun bergabung dengan kelompok Apotik Komik dan banyak membuat mural di sana. Salah satunya, mural di jembatan layang Lempuyangan, Yogyakarta. Dari situlah Farhan mulai jatuh hati dengan iklim berkesenian di Yoyakarta. Setelah berpindah-pindah kota, ia akhirnya menjatuhkan pilihan untuk menetap di Yogyakarta.
Cultuurstensil Studio, sebuah studio yang disewa Farhan di sebuah perkampungan di dekat Jalan Kaliurang, Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta, Senin (28/11), cukup unik. Studio ini berjarak lebih dari 20 kilometer dari tempat tinggal Farhan di Banguntapan, Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta.
Ada dua lantai dengan masing-masing lantai berukuran tidak lebih dari 5 meter kali 10 meter persegi. Lantai pertama berisikan karya-karya Farhan dengan medium kanvas dan bebukuan yang sebagian tertata rapi, lainnya berserak di meja. Lantai dua, dipenuhi potongan kertas yang pernah dipergunakan Farhan untuk cetakan stensil. Ada banyak sekali bekas cetakan stensil itu berserakan di atas lantai. “Kalau studio rapi dan bersih, saya justru kesulitan menemukan gagasan kreatif,” ujar Farhan.
Ia menjelaskan, ia menyewa studio yang jauh dari tempat tinggalnya demi memisahkan urusan rumah tangga dan pekerjaan. “Ini soal totalitas,” imbuh Farhan.
Industri menyapa Selama beraktivitas seni grafiti dan mural di Surabaya, Bandung, Jakarta, dan Yogyakarta, Farhan termasuk tekun merawat pertemanan dan jejaringnya. Selain karena pertemanan, industri seni yakni galeri pun sering menyapa dan mengajak Farhan untuk berpameran layaknya seniman arus utama di media konvensional. Pada 2011, Farhan mendapatkan tawaran untuk residensi atau menetap beberapa waktu di South Italy Street Art Community, Lecce, Italia. Dari situ, ia bisa menggelar pameran di Milan “Implosion: Imperfect Signs”.
“Pameran selama dua pekan di Milan, saya manfaatkan untuk tinggal bersama seniman jalanan yang ada di kota itu sampai tiga pekan. Mereka tidak memikirkan industri seni, tetapi akhirnya saya bisa belajar banyak tentang seni grafiti dan mural yang bisa diaplikasikan di gedung-gedung tinggi di Milan,” ujar Farhan.
Di Milan, ia mendapat pengalaman berharga, betapa seni jalanan bisa memberikan manfaat bagi publik. Jejaring yang meluas membuat ia bisa menggelar pameran di Hong Kong (2012), Lugano di Swiss (2013 dan 2015), dan tahun 2016 kembali berpameran di Milan, Italia, di Banca Generali, Piazza Sant’ Alessandro 4. Farhan tumbuh menjadi seniman arus utama dari sebuah anomali anak petani yang melebur ke dunia anak geng seni grafiti, seni yang masih saja berbalut stigma sampai sekarang.
Baca juga: Jasmine Okubo Biar Sunyi Tak Kesepian
Farhan Siki
Lahir : Lamongan, 17 Juli 1971
Pendidikan :
1992 – 2000 : Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Jember, Jawa Timur.
Pameran :
2022 : - “Without Beginning / Without End”, Linda Gallery, Singapura.
“UOB Southeast Asia POY 2022”, Victoria Theatre, Singapore
- “District 14 Art Fair”, Drouot, Paris, Perancis.
- “Bristol Street Art Combo”, Dean Lane Skatepark, Bristol, Inggris. - “Berdikari”, Distrik Seni X Sarinah, Jakarta, Indonesia.
- “Reclaiming the Stolen Scream” with Noam Galai, www.noamgalai.com, New York City, Amerika Serikat.
2021:
-“Plant a Tree, Plant Life",Indonesia – Italy Project 2021, Firenze, Italia.
- “Blindarte Online exhibition & auction”, Blindarte Milano, Italia.
- “Redraw the Voyage, Khakah Studio, Dubai Silicon Oasis, Uni Emirat Arab.
2020:
- “Indonesian Waves”, pameran virtual di www.outletofart.com Primae Noctis Art Gallery, Lugano, Swiss.
- “When the Globe is Home”, Fondazione Imago Mundi Treviso, Italia.
- “Covid 19 Art Challenge”, Amador Arts Projects, Singapura.
- “Abstract vs Optical, Virtual Exhibition, Primo Marella Gallery, Milan, Italia.
- “Bologna Arte Fiera 2020 with Primo Marella Gallery, Bologna Exhibition Center, Italia.
2019 :
- “Asia Now”, 9 Avenue Hoche, Paris, Perancis.
- “MIART”, Fiera Milano City, Milan, Italia.
- “Street Art Jamming with 2501 (Italy)”, Kota Gede, Yogyakarta, Indonesia
- “Arte Fiera Bologna”, Bologna Exhibition Center, Italia.
Penghargaan :
- Pemenang Utama UOB Painting of the Year 2022.
- Pemenang Silver Award UOB Painting of the Year 2020.
- The Nominee of Prudential Eye Awards 2013 (Kategori lukisan), Parallel Contemporary Art, London, Inggris.