Jasmine Okubo, Biar Sunyi Tak Kesepian
”Malam ini saya percaya, teman tuli mampu dan bisa lebih baik daripada orang normal. Dan saya dapatkan itu dalam pertunjukan ini. Saya mendapatkan kepercayaan diri,” katanya, seperti diceritakan Jasmine.

Penari Jasmine Okubo
Jasmine punya cara jitu membunuh kesepian. Ia bekerja dengan orang-orang berkebutuhan khusus sebagai teman tuli, agar benar-benar mampu menghayati sepi sebagai kesunyian paling subtil dalam hidupnya. Resepnya sederhana, berdirilah di samping teman tuli agar cara pandangmu selaras dengan semesta ketulian, katanya.
Kebahagiaan tertinggi perempuan bernama lengkap Mireki Jasmine Okubo (35) ini, bisa ia reguk sedalam-dalamnya justru ketika mendampingi para teman tuli. Salah satu dari misinya sebagai penari, mengajarkan tarian kepada teman tuli. Tidak sekadar sebagai karya artistik, tetapi menyusup ke dalam inti dari keindahan hidup. Dan itu tak lain berupa ketulusikhlasan sebagai pendamping teman tuli secara lahir dan batin.
Jasmine bercerita, ia sedang mendampingi teman tuli bernama Wahyu, yang pernah mencoba bunuh diri dari atas jembatan. “Ia melompat! Tetapi mukjizat itu benar-benar bekerja. Wahyu tidak cedera sedikit pun,” kata Jasmine berapi-api, awal pekan lalu dari Denpasar.
Kami bercakap-cakap lagi lewat perantaraan dunia virtual setelah bertemu beberapa kali di Bali. Ia tetap gadis yang bersemangat, bahkan saat-saat harus merebahkan tubuhnya di atas karpet, di sela-sela padatnya jadwal latihan dan pentas.

Penari Jasmine Okubo
Kisah hidup Wahyu, kata Jasmine, sangat tragis. Ia lahir di tengah-tengah keluarga yang tidak menghendaki kehadirannya. Hampir setiap saat mendapatkan perlakuan diskriminatif, justru dari orangtuanya sendiri. Titik terendah dalam hidup Wahyu, tambah Jasmine, terjadi ketika orangtuanya memutuskan untuk bercerai.
Kisah hidup Wahyu yang tragis itu kemudian diabadikan Jasmine dalam tarian berjudul ”Nungkalik” (Terbalik), yang telah dipentaskan dalam perhelatan Artjog awal Agustus 2022 lalu. Kemudian dipentaskan kembali secara virtual bersama Obama Foundation beberapa waktu lalu.
Pengalaman meriset kisah hidup Wahyu melahirkan kesadaran bahwa jika benar-benar ingin menjadi sahabat teman tuli, kata Jasmine, hilangkan segala prasangka dan letakkan diri secara setara.
Saya ingin memosisikan mereka secara profesional, tidak lagi mengajak mereka karena dirundung rasa kasihan.
Tak bakalan ada yang menyangka bahwa keempat penari dalam ”Nungkalik” adalah para teman tuli. ”Saya ingin memosisikan mereka secara profesional, tidak lagi mengajak mereka karena dirundung rasa kasihan,” ujar koreografer kelahiran Turki ini.
Rasa kasihan, menurut Jasmine, justru akan menjerumuskan para teman tuli lebih jauh ke dalam jurang diskriminasi. Ada kata-kata seorang penonton teman tuli yang diingat Jasmine seusai pementasan ”Nungkalik” di Yogyakarta.
“Malam ini saya percaya, teman tuli mampu dan bisa lebih baik daripada orang normal. Dan saya dapatkan itu dalam pertunjukan ini. Saya mendapatkan kepercayaan diri,” kata teman tuli itu, seperti diceritakan Jasmine.
Baca juga: Mariska "Advokat" Musik Sastra
Jasmine tak hanya menjadi guru bagi teman tuli untuk urusan tari, ia juga telah mendampingi mereka sejak usianya SMP sampai sekarang sudah beranjak dewasa. ”Mereka yang aktif antara 10-12 orang sekarang, dulu jumlahnya lebih banyak lagi,” tutur Jasmine.
Pendampingan itu bisa berupa mengajak mereka terlibat dalam aktivitas Kitapoleng, sebuah yayasan yang didirikan Jasmine bersama seniman visual Dibal Ranuh. ”Bisa urusan administrasi, penyewaan kostum atau urusan lain di Kitapoleng sehingga mereka mendapatkan fee dari sana,” katanya.

Penari Jasmine Okubo
Kosmopolit
Jasmine barangkali termasuk salah satu ”anggota” kosmopolitanisme dunia. Ia lahir di sebuah desa kecil bernama Yalilavak, sekarang lebih dikenal sebagai Desa Bodrum, yang berbatasan dengan negara Yunani. Tentang perbatasan itu, cerita Jasmine, penduduk lokal mengandaikan bagai ayam jago berkokok di pagi hari terdengar di seberang desa. ”Saking dekatnya dengan Yunani,” katanya.
Desa Yalilavak pada 1980-an adalah sebuah desa sederhana, terdapat banyak kandang sapi milik penduduk, dan barisan pohon zaitun yang tumbuh di sana-sini, menyebar ke seluruh penjuru desa. ”Ibu saya ingin melahirkan saya secara natural dengan bidan perempuan dari desa. Jadi, masa kecil saya jalani di Yalilavak sampai usia 3 tahun akhirnya sampai ke Bali,” katanya.
Kunjungan yang singkat ke Bali ternyata berdampak besar dalam hidup Jasmine. Bahkan sebelum benar-benar menginjakkan kaki di Bali, ketika masih dalam kandungan ibunya, ayah Jasmine selalu mengatakan anak keduanya ini akan sangat terhubung dengan Bali. Benar saja, ketika menyaksikan sebuah tarian di Puri Ubud, Gianyar, Jasmine selalu berkata, ”Saya ingin belajar tari Bali.”
Setiap tahun, ketika keluarganya melakukan perjalanan ke negara-negara di Asia, Jasmine selalu mengatakan hal yang sama. ”Saya ingin belajar tari Bali. Itu saya ulang-ulang terus, sampai akhirnya orangtua saya melihat keseriusan saya,” katanya.

Penari Jasmine Okubo
Tahun 1997, saat Jasmine berusia 9 tahun, ia benar-benar datang ke Bali untuk belajar menari. Ia kembali ke Puri Ubud, di mana dulu pernah menyaksikan pertunjukan tari Calonarang. ”Saya kemudian belajar tari penyambutan, tari Panyembrana di Sanggar Tedung Agung milik Puri Ubud,” kenang Jasmine.
Sejak belajar tari Bali, perempuan kelahiran 27 Juli 1987, ini, sudah punya keteguhan hati untuk menetap di Bali. Meski begitu, orangtuanya masih membawanya berkeliling dengan melakukan perjalanan ke sejumlah negara. Pulang, bagi Jasmine, adalah pergi ke desa kelahirannya Yalilavak di Turki. Jepang hanyalah tempat nenek moyangnya berasal, karena ia tidak pernah merasa pulang kalau pergi ke Jepang.
”Orangtua saya tetap tinggal di Yalilavak sampai sekarang, jadi kalau saya pulang kampung itu ke Turki, tidak ke Jepang,” kata Jasmine, yang punya asal-usul dari Pulau Hokkaido, Jepang.
Jepang sebagai tanah leluhurnya, pertama kali ia datangi saat berusia 23 tahun. Itu pun karena ingin menemani masa-masa akhir dari neneknya. Saat dikabari bahwa (mungkin) usia neneknya hanya tinggal setahun lagi, Jasmine bergegas pergi ke Jepang.

Penari Jasmine Okubo
”Maunya setahun saja, tetapi nenek malah berumur panjang sampai akhirnya saya menetap 3,5 tahun. Saya jalani sambil bekerja di sebuah foundation internasional, di mana salah satu aktivitasnya menari,” tutur Jasmine.
Jasmine benar-benar telah menjelma menjadi warga dunia dengan ciri utamanya kosmopolit. Konsep batas-batas negara tidak pernah ada dalam pikirannya. Ia menjalani hidup, di mana selalu bisa terhubung dengan dunia tari. Itulah yang menyebabkan ia mengambil keputusan untuk menetap di Bali sejak tahun 2001. ”Dan saya ingin hidup saya sepenuhnya untuk tari,” katanya.
Ia berguru kepada para guru tari di Ubud, sambil mempelajari pola-pola tarian Nusantara, yang di kemudian hari membuatnya dikenal sebagai koreografer “spesialis” tari daerah. Tentang hal itu, Jasmine merasa lebih beruntung dibandingkan para koreografer dari Eropa. Mereka, ujar Jasmine, terlalu seragam dalam memahami tarian kontemporer, karena dasarnya ”hanya” balet. Orang Indonesia, termasuk dirinya, lebih beruntung karena memiliki keragaman gerak yang berasal dari semaian tari tradisi Nusantara.
Vocabulary geraknya kaya sekali, tidak ada yang sama satu sama lain. Itu kekayaan Indonesia, makanya saya beruntung mempelajarinya.
”Vocabulary geraknya kaya sekali, tidak ada yang sama satu sama lain. Itu kekayaan Indonesia, makanya saya beruntung mempelajarinya,” katanya.
Ketekunannya memperdalam tari memperoleh apresiasi saat meraih predikat sebagai Juara 2 dalam kompetisi tari nasional Indonesia tahun 2006. Ia menyadari bahwa wujud fisiknya sebagai orang Jepang tidak bisa ia sembunyikan ketika harus berkompetisi untuk tari-tari nasional Indonesia. Tetapi kemampuannya dalam tari memperoleh penghargaan puncak ketika meraih Juara 1 dalam kompetisi film tari Eurasia dalam tarian berjudul ”Lukat”.
Film ini ia garap bersama sutradara visual Dibal Ranuh. Film yang sama juga memenangi kompetisi E Motion Festival tahun 2020.
Baca juga : Raisa, Masih Selalu Kasmaran
Karya-karya tari Jasmine kini bertebaran dalam perhelatan nasional dan internasional, terutama yang diselenggarakan di Bali. Semuanya berbasis tari daerah Nusantara, tetapi dalam balutan kekinian yang dinamis. Meski begitu, setiap kali ia bilang, kebahagiaan tertingginya terjadi ketika berproses bersama para teman tuli.
”Saya merasakan hal berbeda. Rasanya bangga membawa mereka bangkit sebagai manusia yang setara,” katanya. Barangkali itulah inti dari pencariannya sejak masih sangat muda lewat dunia tari: bagaimana memasuki kesunyian, tetapi tidak pernah merasa kesepian. Begitu bukan, Jas?

Penari Jasmine Okubo
Mireki Jasmine Okubo
Lahir: Turki, 27 Juli 1987
Kota: Denpasar, Bali
Pendidikan: ISI Denpasar (tidak selesai)
Prestasi:
- Juara 1 kompetisi tari tradisional (2003)
- Juara 2 kompetisi tari nasional Indonesia (2006)
- Juara 1 kompetisi film tari Eurasia (2020)
- Juara 2 kompetisi film tari E Motion Festival (2020)