Karya-karya itu adalah hasil ketekunannya menggeluti cerpen sejak tahun 1991. Ketika itu ia masih duduk dibangku SMA dan sering menumpang membaca cerpen di kios-kios koran di Kota Pontianak, ibu kota Kalbar.
Keranjingannya membaca cerpen mendorong Widiantoro untuk menulis cerpennya sendiri. Dari situ lahirnya cerpen “Cemburu” yang bertutur soal "sengketa cinta" remaja. “Cerpen itu tidak saya kirim ke media karena saya belum percaya diri,” ujarnya.
Seiring waktu ia makin menikmati menulis cerpen. Lewat cerpen, ia menumpahkan perasaan, kegelisahan, dan pemikirannya. Hanya dalam waktu dua-tiga tahun ia telah menulis 89 cerpen. Cerpen-cerpen itu belum diterbitkan dalam bentuk buku, melainkan ia jilid sendiri.
Seiring waktu ia memimpikan suatu ketika cerpen-cerpennya akan dibaca banyak orang. Sampailah suatu ketika ada acara Forum Dialog Sastra tahun 1994 di Pontianak yang menghadirkan sastrawan dan akademisi. Ia datang pada acara tersebut.
Baca juga: Mezra E Pellondou, Sastra untuk Menabur Optimisme
“Melihat banyak karya orang dibahas di forum tersebut, tumbuh motivasi saya untuk terus belajar dan menulis cerpen. Saya ingin suatu ketika cerpen saya yang dibahas,” tuturnya.
Sepulang dari cara tersebut, ia pergi ke toko buku membeli sejumlah buku, di antaranya karya sastrawan Putu Wijaya dan kumpulan cerpen Kuntowijoyo yang belakangan ia anggap sebagai "guru imajinernya". Widiantoro membaca karya-karya mereka berulang kali.
Widiantoro yang tidak memiliki latar belakang pendidikan sastra merasa imajinasi dan daya kreativitasnya terlecut setiap membaca karya-karya mereka. Dari sana ia belajar “cita rasa” bahasa, mendeskripsikan peristiwa, dan latar yang asik untuk diikuti dari awal hingga akhir.
Setelah itu mulai ada kesadaran bahwa sebuah karya bisa dikonsumsi orang lain dalam buku. Ia kian serius menulis cerpen.
Pada tahun 1995 ia pulang ke Kabupaten Ketapang (Kalbar) karena adiknya meninggal dunia. Proses menulis cerpen tetap berjalan di Ketapang. Ia mengirim cerpen ke salah satu radio.
Cerpennya dibacakan di radio itu. Lebih dari 10 cerpen yang kala itu ia kirim. Cerpennya lebih pada kritik sosial dan “catatan” peristiwa politik setempat.
Lokalitas
Perjalanan hidup kemudian mengantarkan Widiantoro tinggal di pelosok Kalbar antara lain menjadi guru honor dan staf di kantor pemerintahan. Di sana ia berjumpa dengan sejumlah realitas sosial serta ragam bahasa.
Perjumpaannya dengan beragam realitas sosial dan bahasa tersebut mewarnai karakteristik cerpen-cerpennya.
Widiantoro kerap menyebut cerpan-cerpannya dengan sebutan “kisah kampung”. Baginya kita adalah saksi bagi kisah yang muncul di lingkungan di mana kita berada. Karya tidak lahir dari ruang hampa. Di salah satu daerah ia pernah menyaksikan pernikahan dini. Anak-anak berusia 11-12 tahun sudah menikah. Peristiwa itu menginspirasinya membuat cerpen “Rencana untuk Jelita”.
Dari situ, nuansa lokalitas dalam cerpennya semakin kuat. Ia menyisipkan bahasa lokal atau bahasa ibu pada beberapa bagian cerpen-cerpennya. “Dengan menyisipkan bahasa lokal, saya menitipkan pesan bahwa saya saja yang bukan warga lokal mau menggunakan bahasa lokal, apalagi penduduk asli," katanya.
Dalam cerpan “Tentang Rindu yang Tak Berkurang” selain kisah asmara, juga terdapat ilustrasi latar identitas kota. Kedua tokoh dalam cerita sedang berada di parit Pontianak, kota yang dijuluki “Kota 1.000 Parit”.
Baca juga: Donna Christha Renata Memperjuangkan Inklusi bagi KawanTuli di Bitung
Parit di Pontianak tidak bisa dilepaskan dari sejarah pertumbuhan Kota Pontianak. Di masa kejayaannya parit menjadi jalur transportasi, urat nadi perekonomian, tempat mandi dan mencuci, serta pengendali banjir. Dengan memasukkan aspek identitas kota, ia ingin orang luar mengenal cerita tentang kota-kota itu.
Widiantoro juga menyuarakan pesan lingkungan tentang pentingnya menjaga parit yang semakin tergerus oleh kawasan bisnis dan pertokoan.
Widiantoro ingin cerpennya mendorong dialog di tengah kompleksitas kehidupan bermasyarakat. Ia berharap pembaca mendapatkan nilai, informasi, pengetahuan, berkenalan dengan istilah atau kosa kata lokal, kearifan, dan realitas sosial masyarakat lokal. “Siapapun, lintas etnis, dan agama bisa membaca cerpen saya. Karya kita untuk kemanusiaan,” tuturnya lagi.
Sejak 1992, hingga kini setidaknya ia sudah menulis 205 cerpen. Tahun ini genap 30 tahun ia berkarya dalam menulis cerpen. Untuk menandai momentum tersebut, ia menggagas kegiatan semacam “ruang” belajar yang ia beri tajuk Sastra Minggu Sore (SMS).
SMS dibentuk baru tahun ini, namun embrionya sudah ada sejak 2015. SMS kegiatan ini menjadi ruang dialog dan ruang untuk membedah karya sastra pada akhir pekan di warung kopi Pontianak. Kehadiran aktivitas literasi turut mewarnai geliat warung kopi.
Pada awalnya Widiantoro mempersilakan peserta membedah cerpennya. Seiring waktu, peserta juga membuat cerpen sendiri. Widiantoro dan peserta SMS lainnya boleh memberi masukkan atau kritik. Dengan begitu, penulis-penulis baru bisa terus berkembang, belajar, dan bersikap rendah hati.
E Widiantoro
Lahir: Pontianak, 11 Juli 1973
Istri: Hammaliya (50)
Anak :
- Perdana Tegar Santun (24)
- Nur Subhi Al-Kahfi (21)
- Adewidha Hanifa Safira (18)
- Adhe Sahar Rahman (12)
Pendidikan:
- SDN 01 Sintang 1981-1982.
- SDN 11 Ketapang 1982-1986.
- MTsN Ketapang 1986-1989.
- PGAN Pontianak 1989-1992.
- Diploma II GPAI STAIN Pontianak 2001.
Karya-karya, antara lain:
- Buku “Menuai Badai”, berisi 30 cerpen.
- Buku “Bayang Wajah Kemarin”, berisi 27 cerpen.
- Buku “Mei, Rahasia Hati Perempuan di Balik Jendela”, berisi 20 cerpen.
- Buku “Cinta Seumur Bunga, Cerita Terakhir Perbincangan Setelah Magrib”, berisi 40 cerpen.
Pekerjaan: Penulis cerpen dan Staf Pelaksana KUA Sungai Kakap (2021-Sekarang)