Marianto Melestarikan Seni Dongkrek Madiun
Seni dongkrek diyakini mulai ada di Madiun, Jawa Timur, sejak 1,5 abad silam. Dalam perjalanannya, dia mengalami pasang surut cukup lama dan bersemi lagi di tahun 2000-an.

Marianto, perajin topeng dan alat-alat kesenian dongkrek dari Madiun.
Seni dongkrek diyakini mulai ada di Madiun, Jawa Timur, sejak 1,5 abad silam. Dalam perjalanannya dia mengalami pasang surut cukup lama dan bersemi lagi di tahun 2000-an. Dari sekian orang yang berkecimpung dengan kesenian ini, ada Marianto (51) yang disebut sebagai satu-satunya pembuat atribut kesenian itu.
Marianto tersentak dari tempat duduknya, lalu beranjak menuju ruang tamu. Kesibukan mengukir kayu menjadi figur buto atau raksasa di ruang belakang rumah, Jumat (26/11/2022), dia tinggalkan sejenak.
”Monggo,” ucapnya mempersilakan tamunya masuk.
Ruang tamu Marianto cukup luas. Di satu sisi terdapat seperangkat gamelan, sedangkan di sisi lain sebuah dadak merak (gunungan) kesenian reog berukuran tidak terlalu besar tersandar di dinding. Sebuah lemari kaca berisi setumpuk kostum seni tradisi berdiri di salah satu sudut.
”Dadak merak itu bukan punya saya. Itu milik sekolah dasar di daerah sini yang sedang diservis,” katanya, sembari menjelaskan bagaimana perangkat kesenian asal Ponorogo itu ada di rumahnya, di Dusun Gonalan, Desa Kebonagung, Kecamatan Mejayan, Kabupaten Madiun.

Marianto, perajin topeng dan alat-alat kesenian dongkrek dari Madiun.
Tak hanya memperbaiki dadak merak, ada dua sekolah dasar tidak jauh dari tempat tinggalnya yang kini memesan atribut kesenian dongkrek.
Atribut yang dimaksud terdiri atas empat topeng buto atau gandarwo (genderuwo), seorang lelaki tua, serta dua perempuan bersanggul Roro Ayu dan Roro Perot. Saat ini pesanan itu tengah dikerjakan oleh Marianto dan tinggal membutuhkan sentuhan akhir. ”Tinggal dicat saja,” ucapnya.
Seni dongkrek dikenal di kalangan masyarakat Madiun, khususnya Kecamatan Mejayan. Mereka memercayai seni ini sebagai ritual untuk mengusir wabah. Ketika pandemi Covid-19 merebak, dongkrek cukup marak dimainkan meski dengan tetap menerapkan protokol kesehatan.
Diiringi tetabuhan, seperti kentongan, kempul, ketuk, kenong, kendang, dan korek, dongkrek biasa dimainkan berkeliling desa. Nama dongkrek sendiri diambil dari bunyi dominan instrument pengiring, yakni kendang ”dung…” dan korek ”krek…”.
Berdasarkan beberapa referensi, dongkrek lahir tahun 1866 di Desa Mejayan. Pencetusnya ialah Raden Bei Lo Prawirodipuro III (R Sosro Widjojo) yang merupakan Palang (membawahkan beberapa lurah) Mejayan. Kala itu, Raden Prawirodipuro berupaya mencari cara untuk mengusir pagebluk yang melanda wilayahnya.

Marianto mengenakan topeng seni dongkrek yang dibuatnya.
”Kala itu, pageblug lebih mematikan dibadingkan pandemi sekarang. Banyak korban meninggal. Istilahnya pagi mereka sakit, sore mati. Begitu pula sebaliknya,” katanya.
Dalam perkembanganya, dongkrek mengalami pasang surut, mulai dari masa Kolonial, Orde Lama, hingga Reformasi. Saat masa Kolonial, kesenian ini sempat dikawatirkan mejadi media untuk menggalang perlawanan terhadap penjajah. Pun pada masa Orde Lama yang disangkutpautkan dengan politik. Pada masa Orde Baru dan Reformasi, seni ini harus beradu dengan kesenian lain dan pengaruh budaya asing.
Namun, beberapa tahun belakangan, dongkrek disebut-sebut bergeliat kembali. Dia tak lagi dimainkan untuk ritual, tetapi juga dipadu dengan kesenian lain, seperti dangdut dan campursari.
Para seniman berinovasi. Dengan begitu dongkrek bisa lebih fleksibel dinikmati semua golongan. Bagaimanapun juga awalnya seni ini kan untuk ritual, bukan untuk pertunjukan. Pemerintah Kabupaten Madiun sendiri telah memasukkan kesenian ini sebagai muatan lokal di sekolah sejak 2016.
”Seperti reog yang telah berinovasi dengan menambah jumlah penari kuda lumping, begitu pula dongkrek. Ada inovasi menyesuaikan dengan keadaan. Agar lebih bisa dikenal oleh masyarakat. Teman-teman seniman berupaya agar seni itu lestari,” ucapnya.

Marianto, perajin topeng dan alat-alat kesenian dongkrek dari Madiun.
Mencari tahu
Keterlibatan Marianto dengan dongkrek berawal 1989 saat ada lomba karnaval antarpedukuhan dalam rangka Perayaan Hari Kemerdekaan RI di desa setempat. Bapak dua anak yang belum pernah memainkan atau menyaksikan dongkrek itu pun berinisiatif membuat topeng untuk kesenian tersebut.
Karena lama tidak dimainkan, Marianto pun berupaya keras mengumpulkan data. Dia ke sana-kemari bertanya kepada orang-orang tua, termasuk kepada keluarga Palang Prawirodipuran selaku pencetus awal seni tersebut. Saat itu, hanya keluar Palang yang masih menyimpan perangkat dongkrek.
”Saya mencari tahu sejarahnya seperti apa, wujudnya seperti apa. Karena seni itu sudah lama mati suri, hanya cerita yang berkembang,” ujar Marianto yang sebelumnya belum pernah bersinggungan dengan seni turun-temurun itu.
Oleh Keluarga Palang Prawirodipuran, Marianto kemudian diberi petunjuk tentang karakter yang mesti dia buat. Selama proses, dia pun mesti bolak-balik ke rumah Palang untuk konsultasi hasilnya. Jika ada yang kurang pas, dia akan membetulkannya.
Seperti diketahui, selain figur orang tua dan dua perempuan, ada empat karakter gandarwo yang mesti dibuat untuk kesenian ini, yakni berwajah merah, hitam, kuning, dan putih. Selain topeng, Marianto juga membuat instrumen musiknya, salah satunya korek—alat musik dari kayu bergerigi yang berbunyi ketika diputar—yang banyak diburu saat pandemi.

Beberapa sosok figur dalam seni dongkrek asal Madiun, Jawa Timur, karya Marianto, 26 November lalu.
Apa yang dilakukan Marianto kemudian sampai ke telinga dinas terkait di jajaran Pemerintah Kabupaten Madiun. Mereka kemudian pesan lima set atribut dongkrek per tahun, selama tiga tahun berturut-turut. Pesanan ini terkait dengan upaya pemerintah daerah untuk mengembangkan lagi kesenian tersebut.
Dibantu seorang kawan, ayah dua anak ini butuh waktu sekitar satu bulan untuk membuat seperangkat topeng dongkrek lengkap dengan atributnya. Di bawah nama ”Karya Agung”, tak ada kesulitan berarti yang dia hadapi. Bahan baku mudah didapat, seperti kayu dadap atau kemiri yang bobotnya cukup ringan.
Sementara untuk pengerjaan mimik, ada figur yang sengaja dikerjakan malam hari dengan maksud agar auranya lebih mengena. ”Sebenarnya kendalanya lebih ke peralatan. Semua masih tradisional karena sejauh ini saya memang mengembangkan sendiri,” katanya.
Baca juga: Tris Sofia Wartina, Betang Batarung, Rumah untuk Penari
Lelaki yang juga mahir membuat kerajinan mebel berbahan akar pohon ini mengaku tak memiliki pendidikan khusus di bidang seni. Kelihaiannya memahat lantaran turunan dari leluhur. Kakek buyut Marianto merupakan pembuat sekaligus dalang wayang krucil (wayang berbahan kayu). ”Kini anak saya yang pertama sepertinya juga memiliki bakat yang sama,” katanya.
Ke depan, Marianto berharap dongkrek tidak hanya lestari, tetapi juga bisa mewakili identitas Kabupaten Madiun. Dia mencontohkan bagaimana reog telah menjadi identitas Ponorogo. Demikian pula gandrung yang menjadi ciri khas Banyuwangi.

Beberapa sosok figur raksasa, buto, atau gandarwo dalam seni dongkrek asal Madiun, Jawa Timur, karya Marianto, 26 November lalu.
”Madiun ini sudah memiliki kuliner khas. Olahraga bela diri juga terkenal dari Madiun. Tinggal seni budayanya saja. Harapan saya dongkrek bisa menjadi kesenian identitas daerah. Saya tidak berharap ada pageblug,tetapi saya juga tidak berharap kesenian ini luntur,” ucapnya.
Di luar dongkrek, Marianto juga berkegelut dengan kesenian lain. Dia biasa membuat rancakan (bingkai) gamelan berbahan kayu dengan ukiran. Bahkan, dulu dia menyuplai rancakan ke seorang pengepul di daerah Madiun utara. Namun, sekarang pemesan lebih banyak datang langsung ke rumahnya. Kegiatan ini mulai dilakukan hampir bersamaan dengan dongkrek.
Marianto
Lahir: Madiun, 17 Juli 1971
Istri: Tutik Hidayah